(Memperkuat Kedaulatan Negara dan Menantang Intervensi Aktor Lain)
Abstract
This article aims to explain the Venezuelan
Government policy in interpreting and implementing human rights concepts. We
can measure the achievement by the various policy concerning to the basic human
needs issues, such a right for accessing resources, right for education, right
for health, and many others. Beyond those rights, the Venezuelan Government
creates more space to participate in political forum by creating social and
political community to support the governments programs. The government also
initiates many schooling programs for community, such human rights and
political school, ideological school, and more. Those programs aim to secure the
sustainability of social development in Venezuela. All programs, in turn, will
initiate the society to struggle with the government to hold or defend the
achievements. By these hope, the Venezuelan people can raise their pride as a
sovereign nation that able to determinate their will, both in domestic and
international political forums without influence or intervence of the other
actors.
Pendahuluan
Dalam lebih dari satu decade terakhir, terjadi perkembangan
yang sangat mengejutkan dan signifikan dalam pembangunan dan perbaikan kualitas
kehidupan sosial di Venezuela. Di bawah kepemimpinan Presiden Hugo Chavez
dengan Revolusi Bolivarian-nya, terjadi peningkatan yang besar dalam pemenuhan Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM) di Venezuela. Lebih dari pada itu, semakin meluas tidak
hanya untuk hak sipil politik tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Sebagaimana
pernh ditegaskan oleh Duta Besar Venezuela untuk PBB, Jorge Valero, bahwa
Sosialisme dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan dua sisi mata uang dimana
keduanya akan menciptakan peningkatan kualitas dalam segala aspek kehidupan
manusia.
Venezuela telah menempatkan diri sebagai pelopor dalam
praktik penghormatan terhadap HAM. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahan
Hugo Chavez telah merealisasikan berbagai kebijakan terobosan yang begitu
identik dengan promosi penegakan hak-hak sipil masyarakat di negaranya.
Berbagai kebijakan sosial yang dikeluarkan mencerimnkan keberpihakan
pemerintahan Presiden Chavez terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan
penciptaan kebahagiaan bagi rakyatnya, khususnya rakyat miskin yang oleh
rezim-rezm pemerintahan sebelumnya sering diabaikan begitu saja kepentingannya.
Hal itu sesuai dengan filosofi politik dari bapak revolusi Amerika Latin, Simon
Bolivar, bahwa “pemerintahan yang yang paling sempurna adalah yang mampu
menciptakan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin rakyat.”
Isu Hak Asasi Manusia, sebagaimana kita ketahui pernah
menjadi sangat hangat dalam diskusi terkait dengan perkembangan mutakhir di
Venezuela. Hal ini terkait dengan pemerintahan Presiden Hugo Chavez yang oleh
pemerintah negara-negara maju dianggap subversive dan otoriter, sehingga
mengekang hak-hak rakyat sipil untuk terlibat aktif dalam berbagai aktivitas
sosial seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya lainnya. Hal ini terkait
dengan control ketat yang dilakukan oleh negara terkait dengan aktivitas
ekonomi dengan kebijakan nasionalisasinya dan ruang yang tertutup bagi
kesempatan lahirnya kebijakan-kebijakan yang berbau liberal atau neoliberal di
negara tersebut, berikut dibatasinya aktivitas media yang kritis terhadap
pemerintah.
Berangkat dari pandangan tersebut di atas, tulisan ini
bermaksud untuk membuktikan bagaimanakah pemerintah Venezuela memberi makna
terhadap konsepsi Hak-Hak Asasi Manusia yang telah menjadi norma universal dan
bagaimana kita mengukur keberhasilan penegakan Hak-Hak Asasi Manusia tersebut?
Konsepsi
Hak-Hak Asasi Manusia
HAM pada dasarnya telah berkembang sejak
dimulainya modernisasi di Eropa
pada abad ke-18 yang sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran liberal. Meski
demikian, kita tidaklah bisa mengabaikan pentingnya berbagai traktat dan
peristiwa penting di masa sebelum itu yang juga berkontribusi besar bagi
pembangunan Hak Asasi Manusia.
Begitupula dengan tradisi pemikiran ideologi lain dalam memahami konsep Hak Asasi Manusia ini.
Revolusi Industri, Revolusi Perancis, dan Revolusi Kemerdekaan Amerika adalah
peristiwa-peristiwa penting yang menjadi titik tolak kita untuk memahami persoalan
hak azasi ini. Dari ketiga peristiwa ini, kita bisa mengidentifikasi tentang
pentingnya untuk membangun sebuah kondisi di mana manusia mendapatkan
kesempatan yang sama dalam menjalankan hidupnya dan mengakses sumber-sumber
daya penting untuk menjamin kelangungan hidupnya tanpa tertindas dan terintimidasi oleh orang lain yang lebih
kuat.
Lebih dari itu,
kesempatan tersebut haruslah diperjuangkan untuk mencapainya. Revolusi Industri
sebagai contoh, memberi gambaran pencapaian perjuangan bagi tuntutan terhadap
hak dan kebebasan dalam mengakses dan menjalankan aktivitas-aktivitas di bidang ekonomi secara bebas dan tanpa
hambatan bagi setiap orang dan tanpa keistimewaan tertentu bagi bangsawan dan
penguasa. Revolusi Perancis di sisi lain, mewujudkan berbagai kesempatan yang
sama dalam mengakses dan mengelola kekuasaan dan seluruh aktivitas sosial
secara luas. Hal ini kemudian tertuang ke dalam the Declaration of the Rights of Men and of the Citizen pada tahun
1789. Revolusi Kemerdekaan Amerika yang melahirkan the US Bill of Rights pada tahun 1791 mengajarkan bahwa untuk
mencapai seluruh kebebasan dan kesempatan yang sama tersebut, haruslah melalui
perjuangan yang panjang untuk meruntuhkan kekuasaan. Dan tidak ada sebuah
bangsa pun yang berkuasa untuk menindas dan mengintimidasi bangsa lain dalam
menjalankan kehidupan sosialnya. Hingga akhirnya, di zaman modern Perserikatan
Bangsa-Bangsa mencetuskan UN’s Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948.
Bahkan ketika sebuah bangsa telah mencapai kemerdekaannya,
bangsa-bangsa yang baru merdeka tersebut masih melanjutkan perjuangan mereka
dan tuntutan bagi tersedianya kesempatan yang dalam aktivitas dan akses
kebijakan dan sumber daya penting bagi kelanjutan kehidupan mereka. Hal ini
sejalan dengan konsepsi hak tiga generasi yang dijelaskan oleh Chris Brown. Generasi pertama, hak-hak
atau kebebasan untuk berbicara dan berserikat (freedom of speech and assembly), dan hak untuk mengambil bagian
dalam pemerintahan di dalam negara sendiri, secra langsung atau melalui
perwakilan yang representatif (Universal Declaration, Article 21). Generasi
kedua, terkait hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat penting bagi
martabat dan pembangunan kepribadian seeorang (Article 22). Generasi ketiga menekankan
hak-hak yang dibangun dalam dimensi kolektif yang berkaitan dengan hak-hak
masyarakat umum, misalkan hak suatu bangsa untuk menentukan kekayaan dan
sumber-sumber daya alam secara bebas (Banjul Charter di Afrika), sementara
individu bertanggung jawab untuk melayani masyarakatnya dengan menempatkan
kemampuan fisik dan intelektualnya pada pelayanannya.[1]
Dari perjalanan sejarah itu pula dapat dilihat bahwa Human Rights sebagai hukum universal lahir dan
tidak terpisahkan dari konsep dan tradisi hak-hak asasi di Eropa yang kemudian
menyebar luas ke Amerika dimana UDHR disusun dan dibangun diatas fondasi
deklarasi-deklarasi hak asasi yang telah terjadi di Eropa dan Amerika. Konsep
hak asasi yang berawal di Eropa dan Amerika ini kemudian diuniversalisasikan oleh
PBB yang kemudian diratifikasi oleh puluhan negara. Dua ide utama yang secara garis
besar diatur oleh PBB terkait Human Rights
sebagai hukum universal adalah[2]:
1. Umat
manusia memiliki hak untuk hidup, hak kebebasan, keamanan dan kepastian dalam
memiliki barang, adanya kebebasan dalam mengungkapkan pendapat dan hak-hak lain
yang didapat dan dimiliki oleh manusia tanpa adanya persyaratan (human right as natural law).
2. Bahwa
fungsi utama dari negara adalah melindungi dan memastikan pemenuhan hak-hak
dari warga negaranya tersebut.
Dalam konsepsi HAM ini, sangat jelas bahwa negara
memegang peranan yang sangat penting dan determinan dalam mewujudkan penegakan
hak-hak asasi manusia. Tingkatan paling krusial yang justru sering diabaikan
adalah peran negara dalam pemenuhan hak-hak dasar dan hak partisipasi sosial,
ekonomi, politik warga negaranya. Kita bisa melihat berbagai data yang
disajikan dalam lembaga-lembaga yang concern terhadap isu-isu mengenai
kemiskinan, kesehatan, pangan, pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan
hak-hak dasar manusia. Dengan mengambil garis kemiskinan ekstrem yang
menjadikan penghasilan 1 dolar Amerika Serikat per hari sebagai acuan, pada
tahun 1990-an kurang lebih 33 persen penduduk dunia yang berada di
negara-negara sedang berkembang berada dalam kesengsaraan. Sebagain besar dari
mereka berada Asia Selatan, yaitu sekitar 550 juta jiwa. Angka yang lebih kecil
yaitu 215 juta berada di Sub-Sahara Afrika, dan 150 juta lainnya berada di
Amerika Latin.[3]
Melihat fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penderitaan manusia yang terjadi
justru akibat ketiadaan atau hilangnya fungsi negara dalam memberi jaminan
pemenuhan hak-hak dasar dan perbaikan nasib warganya. Padahal hal tersebutlah
yang menjadi pijakan mereka ketika mereka memutuskan untuk menuntut kemerdekaan
dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan di masa lalu.
Sebagaimana dikatakan bahwa hal tersebut terkait
langsung dengan kedaulatan sebuah negara dalam mengatur dan menentukan nasibnya
sendiri (self determination). Negara
mempunyai hak penuh untuk melakukan apapun terkait dengan kedaulatan dan
jaminan atas kedaulatannya tersebut. oleh sebab itu, penegakan nilai-nilai atau
norma universal termasuk hak asasi
manusia merupakan hal yang mutlak
dilakukan baik didalam negara maupun dalam hubungannya dengan hubungan antar
negara.[4]
Hal ini tentunya untuk menjamin eksistensi sebuah negara dari ancaman dan
intervensi dari aktor dan negara lain akibat melihat berbagai kerapuhan
internal negara tersebut.
Kerapuahn-kerapuhan internal yang terjadi bisa
dijadikan sebagai jalan masuk oleh rezim-rezim hak-hak asasi manusia untuk
memberi tekanan terhadap sebuah negara. Budi Winarno menjelaskan bahwa isu-isu
legal mengenai ratifikasi perjanjian dan interpretasi terhadap klausul-klausul
tertentu biasanya mengemuka untuk dijadikan sebagai dasar tindakan yang umumnya
terkait dengan penderitaan warga sipil domestik yang kemudian mengangkat
persoalan-persoalan legal politik seperti kepatuhan (compliance) ke permukaan.
Pada akhirnya hal ini akan menimbulkan isu-isu politik luar negeri,
apakah hal tersebut akan diimplementasikan atau dirumuskan dalam sebuah bentuk
kebijakan dalam membuat undang-undang terkait hak-hak asasi manusia tersebut.[5]
Pada tahap inilah biasanya sebuah kepentingan aktor lain dipenetrasikan untuk
masuk ke dalamnya, misalnya terkait dengan kepentingan ekonomi dan perdagangan.
Untuk itu, sangat
penting bagi sebuah negara untuk menghindari menguaknya isu hak-hak asasi ini
agar tidak menjadi jalan masuk bagi pengaruh aktor lain di dalam berbagai
kebijakan sebuah negara. Dua hal yang umumnya dilakukan adalah pertama,
menutupi atau melokalisasi berbagai persoalan dan kerapuah sosial yang terjadi
di suatu negara dengan berbagai tindakan yang lebih opresif bagi
peluang-peluang terkuaknya maslaah tersebut. Kedua, secara serius melakukan perbaikan-perbaikan
sosial yang menutup kemungkinan bagi celah pembahasan persoalan hak-hak asasi
manusia di level domestic maupun internasional. Pebaikan-perbaikan ini disertai
kemudian dengan penyebarluasan konsep dan makna hak-hak asasi yang sejati ini
ke seluruh lapisan masyarakat melalui proses edukasi yang sistematis. Hal ini
dimaksudkan agar individu-individu dapat menilai dirinya sendiri, apakah hak-haknya
telah terpenuhi atau tidak. Manusia yang telah menyadari hak asasinya
diharapkan bisa berusaha menjaga sendiri hak asasinya tersebut, sekaligus
menghormati hak asasi manusia lain.
Prestasi
Pemenuhan HAM di Venezuela
Menanggapi konsepsi hak-hak asasi manusia di atas,
penulis mencoba melihat fakta-fakta actual yang terjadi di Venezuela sebagai
sebuah prestasi atau pencapaian tersendiri dalam mewujudkan penegakan dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia yang palig mendasar. Pemerintah Hugo Chavez di
Venezuela berhasil dalam melakukan perbaikan-perbaikan sosial dalam menjamin
kesejahteraan rakyatnya melalui pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, nutrisi, dan sebagainya. Begitupula dengan hak dalam
partisipasi politik dan upaya untuk menjamin kesadaran HAM yang berkelanjutan
melalui sekolah HAM dan Politik. Berikut ini penulis sajikan capaian-capaian
pemerintah Venezuela dalam penegakan HAM di negaranya.
1.
Pemenuhan Hak-Hak Dasar
Melihat
konsepsi tentang Hak-Hak Asasi Manusia, khususnya terkait dengan pemenuhan
hak-hak dasar untuk bertahan hidup, Venezuela telah mencapai suatu prestasi
yang baik. Venezuela, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Ekonomi
Untuk Amerika Latin Dan Karibia (ECLAC), diketahui telah mengalami penurunan angka
kemiskinan dari 48,6% pada tahun 2002 menjadi 27,6% pada tahun 2008.[6]
Selain itu, ECLAC juga menemukan fakta-fakta lain bahwa pada tahun 2010, Venezuela
merupakan negara dengan tingkat ketidakseimbangan distribusi pendapatan paling
kecil di antara negara-negara di kawasan Amerika Latin lainnya.
Capaian
lain pemerintah Venezuela adalah di bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan
Venezuela secara konstitusional diorientasikan untuk membawa para pelajar ke
dalam tiga tahapan, yaitu : bebas buta-huruf (misi Robinson 1), sekolah dasar
dan menengah (misi Robinson 2/misi Ribas), dan pendidikan tinggi (misi Sucre). Hasilnya
bisa dilihat dari laporan UNESCO tentang partisipasi pendidikan di Venezuela
menyatakan bahwa pada tahun 2010, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di
Venezuela adalah 83%.[7]
Hal ini terkait dengan upaya untuk mewujudkan sebuah tujuan besar, yaitu
mencapai pertumbuhan sosial, budaya, pendidikan, lingkungan, dan institusional,
yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai pembangunan negara. Hal tersebut
menunjukkan lompatan Venezuela yang telah beranjak jauh dari pencapaian
negara-negara dunia ketiga lainnya dalam hal partisipasi pendidikan. Saat ini,
Venezuela bahkan telah menempati posisi kelima di dunia dan kedua di antara
negara-negara Amerika Latin setelah Kuba dalam hal pengembangan pendidikan dan kebudayaan.
Sementara
itu, capaian di bidang kesehatan dapat diukur langsung dari sistem kesehatan
publik yang dijalankan langsung di Barrio (setingkat desa/kelurahan di
Indonesia) dengan bantuan dokter dan ahli-ahli kesehatan terlatih dari Kuba
dalam program Mission Barrio Adentro. Dalam satu decade terakhir, pusat-pusat pelayanan
kesehatan gratis untuk rakyat Venezuela sudah mengalami peningkatan drastis dari 4.000 menjadi 13.000 pusat pelayanan. Bahkan
dalam tujuh tahun, setidaknya 11.500 pusat kesehatan berhasil dibangun di
seluruh Venezuela.[8]
Ini juga termasuk pusat diagnose dan berbagai fasilitas yang melebihi klinik
dasar. Pintu layanan kesehatan Barrio Adentro selalu terbuka untuk rakyat
setiap hari dan setiap saat.
Oleh
sebab itu tidaklah mengherankan jika keseriusan pemerintah Venezuela dalam
mengelola dan memenuhi kebutuhan kesehatan rakyatnya kemudian mendapat respon
yang massif. Selama periode 2003 sampai 2010 terdapat sekitar 432 juta
kunjungan dari rakyat ke klinik-klinik yang melayani kesehatan gratis. Lebih
jauh lagi, pemerintah Venezuela juga menyediakan operasi mata gratis kepada
rakyatnya melalui program “Mission Miracle”.
Dalam
hal pemenuhan hak atas pangan dan nutrisi, data dari Istitute Nasional
Venezuela untuk Nutrisi (NIN) menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori rakyat
Venezuela mengalamai peningkatan sebesar 27% dari tahun 1998 sampai 2009, yakni
dari 2,202 menjadi 2,790% per hari. Asupan kalori per kapita di Venezuela
berada jauh di atas target asupan kalori yang ditetapkan FAO, yakni 2,100.
Bahkan jumlah anak-anak yang mengalami kekurangan gizi pun berkurang sebesar
58,5% selama satu dekade terakhir.[9]
2.
Pemenuhan Hak Politik
Terkait
dengan pemenuhan hak politik, rakyat Venezuela memberi dukungan yang sangat
besar bagi demokrasi di negaranya. Hal
ini nampak dari telah diselenggarakannya 16 proses electoral sejak revolusi
pertama kali bergulir pada tahun 1998. Menurut Dewan Pemilihan Nasional
Venezuela, partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden mengalami peningkatan
dari 54% pada tahun 1998 menjadi 74% pada tahun 2006.[10]
Konsitusi Bolivarian, khususnya pasal 67, sangat menghormati partisipasi warga
negara dalam Pemilu. Di dalam pasal tersebut, rakyat dapat terlibat aktif dalam
aktivitas politik dengan mengajukan diri sebagai anggota partai politik. Rakyat
bahkan bisa dicalonkan melalui individu dari organisasi-organisasi sosial.
Hak
untuk berpartisipasi yang lain disediakan bagi warga melalui sejumlah proses
politik seperti pemilu legislative, referendum, pengadilan terbuka, dan dewan
rakyat. Di samping itu, dalam bidang sosial dan ekonomi, rakyat diberi
kesempatan untuk ikut terlibat dalam bentuk kemandirian individu atau pun kerja
sama di bidang koperasi simpan pinjam dan sebagainya sebagai proses kebebasan
dalam mengakses berbagai sumber daya ekonomi untuk bertahan hidup dan
memperbaiki kualitas kehidupan sosialnya.
3.
Sekolah HAM dan Politik untuk Memperkuat
Kekuasaan Rakyat
Dalam
menjamin eksistensi penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia di Venezuela,
peerintah kemudian menginisiasi program sekolah hak asasi manusia secara gratis
bagi para pekerja sosial dan aktivis komunitas yang selama ini mengkampanyekan Hak
Asasi Manusia. Program ini dirancang untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan
hak asasi manusia di masing-masing komunitas. Lebih dari itu, tujuan dari
sekolah HAM ini adalah untuk membongkar visi hak asasi manusia yang berakar
dari tradisi liberal, individualis, dan reduksionis, di samping untuk membangun
budaya sadar HAM yang berkelanjutan bagi rakyat Venezuela sendiri.
Di
samping sekolah HAM tersebut, pemerintah Venezuela juga memperkuat kekuatan dan
kesadaran rakyat melalui pendidikan politik ideologis yang dilakukan oleh INCES,
sebuah institute yang bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan bagi kaum
sosialis. Pelatihan bertujuan untuk membangun kesadaran revolusioner dan
ideologis dalam menerima tanggung jawab sebagai alat pembebasan yang mampu
mentransformasikan sistem produksi tradisional dari kapitalisme menjadi sistem
ekonomi yang humanis, adil, serta egalitarian. Program lain dari INCES adalah pendidikan
politik jangka panjang yang disebut Sekolah untuk Penguatan People Power
yang menyediakan pelatihan bagi unsur-unsur pokok yang mewakili beragam
kelompok seperti para juru bicara dewan komunal, keuangan, dan lembaga-lembaga
kebudayaan bahkan bagi kelompok professional seperti dokter, pengecara,
sebagaimana juga diberikan kepada kelas buruh tradisional, termasuk juga para
pekerja di perusahan negara. Tujuannya untuk menciptakan barisan pekerja
sosialis yang memberikan contoh mengenai konsep kerja yang berakar pada
komitmen pada kebaikan sosial bersama.
Kedaulatan yang Terjamin
Dengan berbagai capaian-capaian terkait penegakan dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia di Venezuela tersebut, pada dasaranya bermakna
banyak hal. Pertama, entitas negara mewujudkan kehadirannya sebagai pelindung dan
penjamin hak-hak sosial rakyatnya sebagaimana umumnya dicita-citakan ketika
menuntut kemerdekaan dan self
determination. Kedua, negara berhasil memperkuat kedaulatan dirinya dari
ancaman intervensi aktor-aktor dan negara lain, khususnya negara hegemon yang
memungkinkan menjadikan isu hak-hak asasi manusia sebagai jalan masuk bagi
pengaruhnya. Ketiga, kekuatan kedaulatan negara menjadi jauh lebih kuat dengan
dukungan dari rakyat di grass root akibat
berbagai pemenuhan hak-hak dasar dan kebutuhan sosial, berikut jaminan akses
bagi sumber-sumber sosial, ekonomi, dan politik yang berhasil diwujudkan oleh
negara. Dengan sendirinya, rakyat akan berjuang bersama pemerintahnya dalam
mempertahankan capaian-capaian dan jaminan tersebut.
[1] Chris Brown, Human Rights, dalam Baylis, John and
Steve Smith (eds.), 2003, The Globalization of World politics; an
Introduction to International Relations oxford University Press. Hal. 600.
[2] Ibid Hal. 604.
[3] Budi
Winarno.2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Media Pressindo, Yogyakarta.
Hal. 73.
[4] Aleksius
Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori
dan Praktek. Penerbit Graha Ilmu
Yogyakarta. Halaman 278.
[5] Budi Winarno,
2008, Isu-Isu Global Kontemporer (Handout). Program Studi Ilmu Politik
Konsentrasi Studi Hubungan Internasional, Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Unpublished.
Hal. 87.
[6] Are De Peskim, Revolusi Bolivarian dan Capaian Penegakan HAM
Di Venezuela, http://berdikarionline.com/opini/20111128/revolusi-bolivarian-dan-capaian-penegakan-ham-di-venezuela.html, diakses
pada tanggal 29 Desember 2011.
[7] Odalys
Troya Flores, Pendidikan di Amerika Selatan: Pararelisme dan Perbedaannya, http://berdikarionline.com/dunia-bergerak/perubahan-di-amerika-latin/20120103/pendidikan-di-amerika-selatan-pararelisme-dan-perbedaannya.html, diakses
tanggal 1 Januari 2012.
[8] Ulfa Ilyas, Dokter Komunitas dan
Revolusi Kesehatan di Venezuela, http://berdikarionline.com/dunia-bergerak/perubahan-di-amerika-latin/20111113/dokter-komunitas-dan-revolusi-kesehatan-di-venezuela.html, diakses tanggal 1 Januari 2012.
[9] Ibid (De Priskim).
[10] Ibid.
#Paper Seminar Isu-Isu Global Kontemporer, Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dimuat juga di Tamalnarea School, Pusat Studi Globalisasi dan Hubungan Internasional.