Pages

Polemik Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)

Friday, October 8, 2010 | at 11:27 AM

Visi pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 tahun 2003 berbunyi “mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Sebuah tindak lanjut dari semangat reformasi bidang pendidikan dalam pasal 31 UUD 1945. Undang-undang No 20 tahun 2003 juga menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan harus berjalan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, kultur dan keberagaman. Prinsip lain yakni memberdayakan semua komponen masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Olehnya pasal 53 UU Sisdiknas mengamanatkan manajemen pendidikan dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Setelah melalui penggodokan yang panjang (sejak 2003), revisi demi revisi serta pro-kontra dari berbagai kalangan, maka pada tanggal 17 desember 2008 DPR RI mengesahkan Undang-undang BHP. Seperti apa sistem pendidikan BHP dan kekhawatiran apa yang ditakutkan oleh berbagai kalangan sebelum dan sesudah UU ini ditetapkan.

Seperti dikatakan diatas, bahwa Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum yang dibentuk dalam rangka menjalankan prinsip pendidikan sesuai Undang-undang No 20 tahun 2003. Prinsip yang dimaksud adalah penyelenggaraan pendidikan harus berjalan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, kultur, keberagaman serta memberdayakan semua komponen masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

BHP mengatur sistem pendidikan formal ditingkat dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Terdapat berbagai macam jenis BHP sesuai pasal 1 UU BHP, diantaranya Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) didirikan oleh pemerintah, Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) didirikan oleh pemrintah daerah, Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) didirikan oleh masyarakat serta Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara, didirikan oleh yayasan atau perkumpulan.

Secara kelembagaan BHP terdiri dari struktur-struktur yang kemudian disebut organ. Organ ini memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing sesuai pasal 14 s/d pasal 36 dan pasal 15. Organ dan fungsi yang dimaksud adalah Organ representasi pemangku kepentingan (penentuan kebijakan umum), Organ pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikan), Organ Audit non akademik (audit bidang non akademik) serta Organ representasi pendidik (pengawasan akademik).

Dalam pasal 10 UU BHP disebutkan semua satuan pendidikan formal harus berbentuk BHP. Oleh pemerintah dan sebagian kalangan, BHP dianggap sebagai bentuk pemberdayaan semua komponen masyarakat dalam menyelenggarakan dan mengendalikan mutu layanan pendidikan tanpa bermaksud mengurangi atau menghindar dari tanggung jawab konstitusi negara.

Sebaliknya,dalam draf terakhir, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya kekayaan BHP pemerintah dan pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakan kekayaan pendiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37).
Modal awal ini akan diinvestasikan dalam bentuk usaha pendanaan, semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan.

Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, Pemerintah menanggung seluruh biaya operasional pada satuan pendidikan tingkat dasar., pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6). Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.

Terlepas dari argument pemerintah, sejak awal penggodokannya tahun 2003, Undang-Undang BHP telah menuai berbagai kekhawatiran dan kecaman. Aksi demo mahasiswa dan penolakan dari beberapa pengamat pendidikan mewarnai perjalanan UU ini. Bahkan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengaku siap membatalkan UU yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai bentuk lepas tangan pemerintah dalam dunia pendidikan. UU ini menyalahi aturan, dan ada warga negara yang dilanggar hak konstitusinya. Sudah menjadi tugas Mahkamah Konstitusi untuk membatalkanya.

Dari aksi penolakan berbagai kalangan dapat ditarik 3 kekhawatiran mendasar dampak penerapan UU ini.

1. Pelepasan tanggung jawab oleh Pemerintah terhadap pendidikan Nasional

Meski peran pemerintah masih ada dalam BHP, namun sebagian kalangan masih menilai beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut melemahkan peran pemerintah. Hal ini kemudian dikhawatirkan akan melemahkan kontrol pemerintah dalam sektor pendidikan. Ditambah lagi dampak naiknya biaya pendidikan sebagai konsekuensi persaingan dan peningkatan mutu tiap-tiap satuan pendidikan BHP akan mempersulit sebagian masyarakat untuk mengakses pendidikan.

Pasal 2 menyebutkan BHP berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik. Sebagian kalangan sangat menyesalkan bahwa di pasal 10 diatur bahwa semua satuan pendidikan wajib menjadi BHP, sedangkan dalam BHP sendiri tidak ada pengaturan tentang pendidikan non formal, paket A, B atau C yang masih dibutuhkan masyarakat.

Dalam pasal 56 dan 57 dijelaskan bahwa BHP dapat dibubarkan oleh putusan pengadilan karena: (1) Melanggar ketertiban umum, kesusilaan atau UU. (2) Dinyatakan Pailit (bangkrut). (3) Asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut. Pembubaran dikuti dengan likuiditas (pengimpasan utang).

Jika satuan pendidikan dapat dibubarkan karena pailit atau bangkrut, berarti tidak ada jaminan pendidikan yang aman bagi masyarakat dan hal ini membuktikan lemahnya peran pemerintah dalam mengontrol Badan Hukum Pendidikan. Padahal pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan kepada seluruh putra-putri negeri ini. Akan bertambah lagi kelemahan pemerintah dalam mengontrol sektor-sektor strategis di negeri ini setelah sektor pangan dan perdagangan.

Setelah pembubaran, pendidik dan tenaga kependidikan akan dikembalikan ke instansi induk, hak-hak seperti dalam perjanjian kerja akan dipenuhi dan bagi peserta didik akan dipindahkan ke BHP lain (Pasal 59).

2. Komersialisasi pendidikan

Dampak negative dari komersialisasi pendidikan adalah pemenfaatan institusi pendidikan untuk mencari keuntungan sepihak. Meskipun BHP berprinsip nirlaba, namun sebagian kalangan masih melihat adanya peluang untuk komersialisasi pendidikan dalam undang-undang yang sudah disahkan tersebut.

Salah satu tuntutan adalah kejelasan komponen dalam organ pemangku kepentingan sebagai pengambil kebijakan tertinggi, sebab dalam pasal 5 tercantum komponen yang sudah ada dapat ditambahkan komponen lain tergantung Anggaran Dasar yang disusun nantinya.

Hal ini menjadi penting karena Pasal 4 ayat 2 huruf e dan g menyatakan salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal adalah memberikan layanan prima demi kepuasan pemangku kepentingan dan sikap akomodatif terhadap keberagaman pemangku kepentingan.
Dalam pasal 12 ayat 4 tercantum bahwa Anggaran Dasar (AD) BHP yang akan disusun sedikitnya memuat jangka waktu pendirian, tata cara penggabungan dan pembubaran, serta ketentuan untuk mencegah kepailitan. Beberapa muatan AD tersebut mengisyaratkan kemungkinan sebuah satuan pendidikan akan dibubarkan, hal ini akan memicu persaingan.

Dampak persaingan bisa menjadi baik karena peningkatan pelayanan, penguatan kelembagaan dan evaluasi pasti akan terjadi, namun dapat dipastikan pula bahwa peningkatan biaya pendidikan juga akan tinggi. Inilah salah satu hal yang dikhawatirkan sebagian kalangan bahwa akan terjadi komersialisasi pendidikan.

3. Liberalisasi pendidikan

Tak bisa dihindari, jika pemerintah menuntut satuan pendidikan agar bisa mandiri dalam mengelola dananya maka akan terjadi usaha untuk memperbesar aktiva (pendapatan). Persaingan pun akan terjadi apalagi ada ancaman pembubaran.

Jika komponen-komponen pemilik modal sudah berperan besar secara langsung atau tidak dalam pendanaan BHP, maka bisa dipastikan posisi pemerintah dalam mengontrol pendidikan akan lemah. Dalam kondisi seperti ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dalam membiayai pendidikan yang akan dipertanyakan, namun kemampuan pemerintah dalam mengontrol arah pendidikan nasional juga akan dipertanyakan.

Pengambilan keputusan dalam BHP tidak atur secara tegas dalam UU BHP, sesuai pasal 23 bahwa pengambilan keputusan dalam organ representasi pemangku kepentingan dilakukan secara musyawarah mufakat kecuali ada ketetapan lain dalam Anggaran Dasar. Sedangkan pasal 28 menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam organ representasi pendidik dilakukan secara musyawarah mufakat kecuali ada ketetapan lain oleh organ representasi pemangku kepentingan.

Anggota organ representasi pendidik paling sedikit terdiri atas wakil profesor dan wakil pendidik dan AD dapat menetapkan wakil unsur lain sebagai anggota organ ini (pasal 24 ayat 2 dan 3). Kriteria penambahan wakil unsur lain harus diperjelas mengingat tugas organ ini adalah pengawasan akademik hingga pada pemberian dan pencabutan gelar akademik, pengawasan kebebasan akademik, mimbar akademik dan otonomi keilmuan (pasal 27), olehnya organ ini harus steril dari kepentingan lain selain kepentingan akademik. Seperti dijelaskan sebelumnya tata cara pengambilan keputusan dalam organ ini belum jelas.

BHP pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio, perusahaan yang dikuasai BHP melalui investasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk sarana pembelajaran peserta didik (Pasal 42 ayat 1 dan 7). Semua pihak akan setuju bahwa pendidikan itu harus fokus pada keilmuan dan steril dari pengaruh dari luar, aturan seperti pada pasal 42 diatas dapat membuka peluang kapitalisme dalam tubuh pendidikan, bahkan bisa berpengaruh pada penyusunan kurikulum jika tidak dikontrol dengan ketat.

Kesimpulan

Sisi positif otonomi adalah sistem pengawasan dan evaluasi yang lebih efektif serta kemandirian sebuah lembaga dalam memperbaiki manajemen birokrasinya. Namun kontrol kebijakan secara umum dari pemerintah harus tetap ada, karena jika hal ini tidak terjadi, maka peluang liberalisasi yang dapat mendorong terciptanya komersialisasi akan semakin besar. Seperti yang terjadi di sektor-sektor lain di negeri ini, pemerintah akan kehilangan kemampuan untuk mencegah hal tersebut.

Manajemen pembiayaan peserta didik seperti pada pasal 44, 45, 46 sangat baik, karena biaya pendidikan yang mahal akan ditanggung oleh masyarakat yang mampu sedangkan 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, yakni warga yang tidak mampu akan ditanggung oleh negara.

Namun yang jadi masalah kemudian jika biaya pendidikan melambung tinggi, maka jumlah warga yang tidak mampu juga akan bertambah. Nah apakah 20% dari peserta didik yang diterima setiap tahunnya sudah dapat mewakili warga yang tidak mampu, sedangkan kekayaan dan penghasilan dari BHP tidak diperuntukan untuk itu.

16 Mei 2006
(Tugas Sistem Hukum Indonesia. Sudah lupa dapat dari mana idenya. Tapi bagus juga)

0 comments: