Indonesia adalah sebuah negara dengan pluralitas masyarakat dan kompleksitas permasalahan besar yang selalu dihadapinya. Sejak dahulu, Indonesia seolah tidak pernah lepas dari berbagai permasaahan. Sejak zaman colonial, zaman perjuangan kemerdekaan, masa perang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, sampai sekarang di masa Reformasi masih saja terus dihadapi oleh rakyat negeri ini. Sejak negeri ini merdeka, masalah yang sudah sangat klasik dan tidak pernah menemukan penyelesaiannya adalah masalah model dan stategi pembangunan yang selalu tidak tepat, tidak menyeluruh menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tidak berkesinambungan, dan terlalu banyak pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika kita menatap kembali pada masa – masa awal kemerdekaan, ketika Hatta dengan mudahnya mengusulkan untuk memberlakukan sistem demokrasi liberal di negara yang sangat plural, patriarkis parochial, dan sebagainya. Hal yang terjadi adalah perdebatan panjang setiap faksi yang tidak kunjung menemukan ujung solusi tentang dasar negara (konstitusi) baru yang akan diberlakukan di negara baru ini. Di saat para tokoh nasional waktu itu (founding father) berada dalam kondisi perdebatan, mereka melupakan rakyat dan partisipasi penting mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Sedangkan rakyat Indonesia masih orang – orang yang sama seperti ketika zaman colonial dengan sikap dan mental yang sama. rakyat Indonesia pada masa itu cenderung “nrimo” dengan segala kondisi yang terjadi tanpa usaha untuk menekan tokoh - tokoh nasional pada masa itu agar segera merubah keadaan. Mereka masih lebih mempercayai penyelesaian masalah negeri ini kepada para tokoh pergerakan nasional. Sikap parochial dan patriarkis inilah yang menjadi batu sandungan bagi pembangunan di masa itu. Merek menerima kondisi tersebut (kemiskinan, penyakit, busung lapar, tunawisma, dan sebagainya) sebagai suatu takdir sama seperti mereka penjajahan di masa lalu.
Strategi pembangunan yang cukup baik sebenarnya sempat dilaksanakan oleh Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin dengan mengacu pada kondisi bangssa Indonesia yang miskin pada saat itu. Melihat kondisi itu, ditambah dengan kondisi lain seperti instabilitas politik, inflasi, kekurangan tenaga ahli, Indonesia tidak mungkin membangun di bidang ekonomi. Pada masa itu, strategi pembangunan difokuskan pada bidang pendidikan dan stabilitas politik. Presiden Soekarno dengan brilian merencanakan sepuluh tahun pertama demokrasi terpimpin sebagai masa untuk pembinaan generasi dengan mengirim mahasiswa – mahasiswa berprestasi ke Eropa untuk belajar berbagai ilmu dan teknologi. Hasilnya, Indonesia memiliki tenaga – tenaga ahli di beberapa bidang strategis seperti nuklir, komunikasi dan transportasi. Hanya saja pada masa Orde Baru, mereka (kecuali Habibie dan beberapa orang lainnya) enggan kembali karena takut dicap sebagai komunis oleh rezim penguasa pada masa itu, apalagi bagi mereka yang menimba ilmu di negara – negara komunis anggota Blok Timur.
Pada sepuluh tahun kedua (tidak sempat terealisasikan karena telah terjadi peralihan kekuasaan sebelumnya, 1967), para mahasiswa tersebut akan dipanggil kembali untuk merekonstruksi negaranya di segala bidang. Dan akhirnya setelah sepuluh tahun kedua tersebut, bangsa Indonesia diharapkan sudah bisa berdiri sejajar dengan negara–negara lain yang sudah lebih dahulu maju. Akan tetapi program pembangunan ini tidak dapat berlangsung secara berkeninambungan karena berbagai kendala politik.
Di masa Orde Baru, pembangunan ekonomi difokuskan dengan alasan stabilitas politik sudah bisa dikendalikan dengan menggunakan militer sebagai alat penekan. Konsep Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) kemudian dicanangkan dengan bantuan (utang) dari beberapa negara donor yang tergabung dalam CGI. Pembangunan pada masa ini, sebelum krisis ekonomi sudah berlangung secara berkesinambungan dengan target memasuki Pelita VII Indonesia sudah siap lepas landas menjadi negara industri dan sejajar dengan negara – negara barat kiblatnya.
Pembangunan pun mulai tertata dari segi infrastruktur dengan pesatnya pembangunan ibukota, dan seluruh Jawa pada umumnya. Akan tetapi yang disayangkan adalah pembangunan itu tidak menyeluruh menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan kesenjangan kemajuan. Hal lain yang perlu dicatat adalah tidak kuatnya fondasi pembangunan ekonomi Indonesia pada masa ini. Hal ini dibuktikan dengan begitu mudahnya perekonomian kita runtuh ketika badai krisis ekonomi menerpa Asia pada 1997. Model dan strategi pembangunan yang mengadopsi konsep Rostow ini pada akhirnya dinilai kurang tepat karena tidak memperhatikan aspek geografis lahan yang subur dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang pada umumnya adalah petani. Model ini terlalu berorientasi ke industri. Hal lain yang menghambat pembangunan pada masa ini adalah banyaknya pelanggaran dalam implementasi model dan strategi pembangunan ini.masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga menjadi penghambat pembangunan pada masa ini.
Hal yang paling penting untut dicatat adalah bahwa pada masa inilah Indonesia mulai terjerat oleh retorika negara – negara barat untuk mengembangkan industrialisasi dengan memanfaatkan berbagai lembaga donor internasional melalui peminjaman utang. Utang yang diberikan biasanya disertai dengan kesepakatan – kesepakatan mengenai deregulasi, pemudahan izin eksploitasi kekayaan alam negara dan pengurangan campur tangan negara dalam perekonomian. Hal inilah yang membuat negara ini terikat dengan negara – negara barat dan berbagai lembaga donor sampai sekarang. Kondisi yang tidak pernah menguntungan negara dan rakyat negeri ini sama sekali.
Sekarang, harusnya sejarah ini menjadi pelajaran bagi kita dalam merencanakan pembangunan ke depan. Kesalahan pemerintah Orde baru adalah keterikatannya dengan negara barat. Oleh sebab itu, jika kita ingin membangun negara ini ke depannya, maka kita harus mulai dengan melepaskan diri dari negara – negara barat serta lembaga – lembaga donor dan mulai mengelola kekayaan alam kita sendiri. Hal yang sama harus kita lakukan di bidang politik. Pemerintah harus mempunyai sikap yang jelas dan menolak intervensi. Soekarno pernah melakukannya, mengapa pemerintah sekarang menjadi “pecundang” dan tidak bisa bersikap yang sama?
Selanjutnya, pembangunan itu haruslah secara menyeluruh menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan daerah di Indonesia. Pembangunan pun harus berjalan secara berkesinambungan dengan meminimalisir berbagai hambatan yang mungkin saja terjadi. Sama seperti di zaman Soekarno, seyogianya pembangunan dimulai dengan focus pada bidang pendidikan dengan perluasan akses untuk mendapatkan pendidikan (kalau bisa gratis) dan pengembangan skill. Jika hal ini dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
catatan ini mungkin sudah benar-benar usang dan tidak relevan lagi. Tapi tetap saya upload sebagai bahan referensi saja siapa tahu ada yang membutuhkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

0 comments:
Post a Comment