Pages

Tuesday, May 31, 2011

PERANG VIETNAM (Arena Pertarungan untuk Pembendungan Pengaruh Komunisme)

Setelah berlangsung kurang lebih empat tahun, Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan tentara negara-negara sekutu dan kekalahan Blok Fasis. Hal ini menandai pula berakhirnya era arogansi fasisme di Eropa dan memberi harapan akan adanya sebuah tatanan dunia dan interaksi di dalamnya yang lebih damai. Harapan ini muncul tentunya disebabkan karena negara-negara seperti Jerman, Italia, dan Jepang yang dianggap sebagai penjahat dunia telah diadili dan selanjutnya berada di dalam kungkungan negara-negara sekutu. Negara-negara sekutu ini yang kemudian dicitrakan sebagai “pahlawan” karena telah menyelamatkan dunia dari ancaman fasisme, khususnya NAZI bagi masyarakat dan negara-negara Eropa. Karena sesungguhnya, ancaman Jerman dengan NAZI-nya jauh lebih besar dibandingkan dengan ancaman dua negara lainnya, yaitu Italia dan Jepang.
Blok negara-negara sekutu kemudian mengadakan Pengadilan Internasional di Nuremberg untuk mengadili orang-orang yang menjadi otak dari propaganda NAZI di Jerman dan seluruh Eropa. Pengadilan ini menjadi titik tolak baru mengenai masa depan Jerman di kemudian hari. Awal permasalahan mengenai sistem baru dalam mengatur dan menata interaksi mayarakat dan negara-negara di dunia selanjutnya berawal dari sini, dari perdebatan mengenai masa depan negara Jerman.
Setelah berlangsungnya pengadilan terhadap para otak propaganda NAZI tersebut, di antara negara-negara sekutu pemenang perang, muncul perdebatan mengenai penentuan masa depan Jerman. Dua negara yang bertentangan secara ideology, Amerika Serikat dan Uni Soviet, masing-masing ingin menjadikan Jerman berada di dalam kendali politik luar negerinya. Alasannya sederhana saja bagi kedua negara dengan bermaksud mengendalikan Jerman, mengingat setelah bersatunya kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Bavaria menjadi sebuah negara, telah menjadi sebuah negara yang sangat maju dan kuat. Dalam hampir separuh abad pertama abad kedua puluh, Jerman dua kali tercatat membuat dunia berada dalam dalam kondisi ketakutan karena perang dan arogansinya, dalam The Great War atau Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Kedua negara ini, AS dan Uni Soviet, walaupun telah berhasil menaklukkan Jerman, menyadari betul akan potensi dan kekuatan Jerman. Perbedaan ideology di antara keduanya menciptakan rasa saling mencurigai bahwa negara yang berhasil mengendalikan Jerman akan memanfaatkannya untuk menaklukkan musuh ideologisnya. Hal itulah yang kemudian menjadi alasan keduanya untuk bersikeras dalam tuntutan masing-masing. Hingga d kemudian hari, melalui sebuah perundingan di Perancis, negara-negara pemenang Perang Dunia II sepakat untuk membagi wilayah Jerman menjadi dua bagian di Barat dan Timur yang dipisahkan oleh tembok Berlin. Jerman Barat dikuasai oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Sedangkan Jerman Timur berada dalam kendali Uni Soviet.
Keinginan untuk mendominasi Jerman ini kemudian memicu kedua kekuatan ini untuk bersaing satu sama lain sehingga di kemudian melahirkan perimbangan kekuatan (balance of power) baru. Perimbangan kekuatan yang terjadi ini antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dengan masing-masing negara mencari dukungan untuk berkoalisi dengan negara lainnya di seluruh dunia.
Setelah Perang Dunia kedua, sempat tercipta blok-blok kekuatan. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang merasa diri telah membebaskan kaum Yahudi dari kekejaman NAZI Jerman sampai menyelenggarakan pengadilan internasional di Nuremberg terhadap Goebbels yang merupakan otak propaganda NAZI—menciptakan blok-nya sendiri yakni blok Barat. Dan untuk memperkuat posisinya Amerika Serikat pun bersama-sama dengan negara-negara Eropa lainnya mensiasati pembentukan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Uni Sovyet pun tidak kalah cekatan, untuk membendung pengaruh dari Amerika Serikat dan sekutunya Uni Sovyet bersama negara-negara Eropa Timor lainnya menandatangani Pakta Warsawa, di Polandia pasca Perang Dunia ke-dua.[1]
Hal yang terjadi selanjutnya adalah dimulainya persaingan ideology antara liberalisme kapitalisme dengan komunisme. Persaingan ini berimbas ke segala bidang kehidupan masyarakat negara bersangkutan yang bersaing ideology, baik itu politik, ekonomi, pertahanan, sosial budaya, dan teknologi persenjataan. Semua ahli dikerahkan demi menjaga keberlangsungan pengembangan instrument kenegaraan kedua kubu. Setiap elemen masyarakat yang dianggap berpengaruh kemudian dilibatkan total dalam persaingan kedua negara superpower ini. Amerika Serikat dengan mengembangkan teknik intelijen melalui CIA, sedangkan Uni Soviet memanfaatkan jasa KGBnya. Begitupula dengan berbagai lembaga yang sengaja didirikan untuk dilibatkan dalam aktivitas anti komunisme Amerika Serikat. Dengan dana yang besar, sejumlah lembaga didirikan untuk tujuan ini. RAND (Research And Development) Corporation yang dikendalikan oleh CIA menempati kedudukan terdepan dalam usaha ini. Di samping itu terdapat Ford Foundation, Carnegie Corporation, MIT Center for International Study, Princeton Center for International Study yang menjalin kerjasama dengan berbagai universitas terkemuka, mengerahkan cendekiawan ilmu sosial untuk menyusun dan menerbitkan karya-karya yang ditujukan untuk melawan Marxisme. Mereka melakukan penelitian lapangan di berbagai negera guna mematahkan gerakan revolusioner yang tumbuh di negara yang bersangkutan. Mereka mengeluarkan dana untuk membantu lembaga-lembaga penelitian di berbagai universitas luar negeri, merekrut mahasiswa-mahasiswa yang berbakat untuk diberi beasiswa pada berbagai universitas di Amerika Serikat.[2] Akan tetapi, hal yang paling pesat perkembangannya adalah teknologi persenjataan, di mana kedua negara saling berlomba mengembangkan senjata nuklir untuk saling menakut-nakuti satu dengan yang lainnya.
Begitupula dengan upaya-upaya penyebaran pengaruh di antara kedua kekuatan negara adikuasa ini ke seluruh belahan dunia mulai dilakukan. Kedua negara saling berebut pengaruh dan dominasi terhadap negara-negara berkembang yang baru memperoleh kemerdekaannya. Upaya-upaya yang ditempuh tentunya dengan berbagai metodologi yang sangat khas menggambarkan karakter negara yang sedang berebut pengaruh. Jika Amerika Serikat terus-menerus memberikan dukungan baik secara finansial maupun moral kepada rezim-rezim dictator di Negara Dunia Ketiga dan negara berkembang dengan tujuan membasmi gerakan kiri radikal. Maka pada saat yang bersamaan, Uni Sovyet meneruskan peranananya dengan memberikan dukungan kepada Negara-negara Dunia Ketiga yang menempuh jalan sosialis dalam perjuangan kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan atau melalui propaganda-propaganda yang dapat memicu subversif dari kelompok-kelompok marjinal di negara  berkembang tersebut. Maka tidaklah mengherankan kalau gerakan pembebasan nasional di negara manapun selalu dikaitkan dengan Uni Sovyet. Untuk mengambarkan peranan dari ke dua negara super ini sempat muncul sebuah pepatah “kalau anda melemparkan batu di wilayah mana saja terutama di Benua Afrika, Asia dan Amerika Latin pasti mengenai kepala dari salah seorang soldadu Rusia atau Amerika Serikat.” Tercatat, beberapa wilayah sempat menjadi arena tarung kedua ideologi, walaupun kedua negara tidak terlibat secara langsung demi menjaga eksistensi perdamaian dunia dalam balance of power, akan tetapi konflik atau perang berlangsung dengan memanfaatkan pemerintah ataupun kelompok masyarakat negara tertentu sebagai “petarung-petarung” demi memuluskan langkah untuk mencapai tujuan mendapatkan pengaruh dan dominan di seluruh dunia. Konflik dan gejolak di Kuba, Mozambique, Kongo, Korea, hingga Indonesia pernah diasumsikan sebagai arena pertarungan kedua ideologi tersebut.
Kondisi tak terkecualikan terjadi di Vietnam. Mirip dengan apa yang terjadi di sebagian besar negara-negara baru pada dekade 1940 dan 1950, Vietnam membuat pemerintah Amerika Serikat khawatir akan ancaman kelompok komunis dalam penentuan kebijakan plitik negara tersebut. Apalagi Vietnam, sebagai negara yang baru merdekamasih sedang mencari bentuk pemerintahannya yang ideal. Negara ini, sama dengan kebanyakan negara-negara lainnya yang baru merdeka, menjadi focus kawalan CIA.
Sebenarnya kalau kita bisa mengikuti dengan intens setiap kebijakan luar negeri Amerika Serikat maka bisa dipastikan bahwa kita tidak akan kehilangan jejak terlalu jauh. Terutama kebijakan-kebijakan politik yang dicanangkan oleh Presiden Harry S. Truman dan Sekertaris Negaranya Jhon Foster Dulles dan Direktur CIA Allen Dulles. Pasca Perang Dunia Ke-II Amerika Serikat lebih memfokuskan perhatiannya pada negeri-negeri jajahan di Asia, Afrika dan Amerika Latin—negeri-negeri di ke tiga kawasan ini masih dalam tahap perjuangan pembebasan dari kolonialisme ketika Amerika Serikat dan sekutunya sibuk menganyang NAZI di Jerman dan perang pembalasan terhadap tentara Jepang dengan menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Gelombang pasang emansipasi yang melanda Afrika dan daratan Asia mengakibatkan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat. Karena itu negara Paman Sam ini tidak ingin lambat dalam bergerak.[3]
Perang Kemerdekaan Vietnam
Sejarah keterlibatan negara-negara besar di wilayah Vietnam telah dimulai ketika pada tahun 110 SM, China menaklukkan wilayah tersebut dan menguasainya hingga tahun 903 M. Kemudian di abad ke-19, Perancis datang dan menguasai wilayah tersebut setelah melalui penaklukan wilayah Indocina yang merupakan upayanya menyaingi kemajuan dan dominasi tentara kerajaan Negara Inggris Raya. Maksudnya adalah bahwa Vitnam jatuh ke dalam kekuasaan Perancis bersamaan dengan jatuhnya Laos dan Kamboja.
Semasa pemerintahan Perancis, segolongan rakyat Vietnam terlecut semangat nasionalismenya dan menuntut kemerdekaan dari penjajahan Perancis. Beberapa pemberontakan dan perlawanan dibuat oleh banyak kumpulan-kumpulan nasionalis, tetapi usaha mereka gagal. Di tahun 1919, di dalam Perjanjian Versailles yang sedang berlangsung, tokoh kelompok nasionalis Vietnam, Ho Chi Minh menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah kolonial Perancis agar hasil perundingan menyepakati untuk segera memberikan kemerdekaan bagi rakyat Vietnam. Permintaannya kemudian ditolak dan Vietnam beserta seluruh wilayah taklukan Perancis di Indochina tetap sebagai tanah jajahan Perancis.
Kelompok perlawanan nasionalis yang kemudian dikenal sebagai Kelompok Viet Minh ini, akhirnya berjhasil mendapat dukungan penuh rakyat dan berjaya mengusir penjajah Perancis dari bumi Vietnam. Akan tetapi, dalam waktu singkat, ketika Perang Dunia II telah berlangsung, Vietnam kemudian dikuasai dan berada di bawah kendali Tentera Jepang. Pemerintah Kerajaan Perancis waktu itu mempunyai peran besar dalam kesuksesan Jepang menaklukkan Vietnam. Pemerintah Kerajaan Perancis membantu pihak Jepang yang mengirimkan bala tentaranya ke Indocina sebagai pasukan berkuasa di kawasan tersebut. Dalam masa itu, Kolonial Perancis hanya menjadi boneka Jepang, karena kekuasaan sesungguhnya berada di tangan pihak Jepang. Akan tetapi hal ini wajar saja, mengingat Jepang adalah musuh dunia pada masa itu dan Perancis berharap akan bisa mendapatkan kembali kekuasaannya atas Vietnam dan seluruh wilayah Indocina di kemudian hari. Sementara itu, aktivis-aktivis komunis Vietnam yang berada di luar negeri kemudian berdatangan kembali ke tanah leluhurnya untuk melakukan perlawanan terhadap tentara jepang. Kedatangan mereka tidak terlepas dari agenda politik luar negeri Uni Soviet dan Komintern yang menentang fasisme dan melihatnya sebagai ancaman.
Sementara itu, pada tahun 1944, di Perancis Pemerintah terjadi gejolak politik dengan diruntuhkannya sistem kerajaan melalui coup d’etat  pimpinan Jenderal Charles de Gaulle. De Gaulle kemudian diangkat sebagai pemimpin negara tersebut. Perubahan situasi politik domestik ini selanjutnya mempengaruhi kebijakan luar negeri Perancis, khususnya di tanah jajahannya. Di Indocina, Jenderal de Gaulle merencanakan untuk berkhianat kepada Jepang dan mengambil alih kembali kekuasaannya di wilayah tersebut. Rencana yang tersusun kemudian tidak berhasil terlaksana dan segera diketahui oleh pihak Jepang. Para “pembelot” Perancis yang ketahuan kemudian diadili di depan umum di jalan-jalan di Vietnam.
Sikap Perancis tersebut menjadi peringatan bagi Jepang akan banyaknya musuh yang mengincar kedudukannya di Indocina. Apalagi di saat-saat itu, tentara-tentara Jepang juga sudah berada dalam kelelahan akibat pertempuran yang tiada henti. Sementara pemerintah pusatnya di Jepang belum mampu memberi bukti dan menawarkan hal yang lebih baik di setiap wilayah yang ditaklukkannya. Ini kemudian menjadi pertimbangan bagi pemerintah Jepang untuk mencari dan merumuskan kebijakan reaktif guna menenagkan gejolak yang terjadi dan tidak mampu dikendalikan dengan baik oleh para tentaranya.
Kebijakan yang dikeluarkan kemudian oleh Pemerintah pusat Jepang adalah kebijakan yang sama dan berlaku bagi semua wilayah jajahannya. Pemerintah Jepang mengungkapkan janji untuk memberikan kemerdekaan bagi setiap wilayah yang telah didudukinya dalam waktu singkat. Pihak Jepang pada dasarnya menyadari betul bahwa dengan menjanjkan kemerdekaan, mereka telah membangkitkan semangat nasionalisme dan kemudian memicu kebangkitan pergerakan nasionalis di kalangan rakyat negara jajahannya, tak terkecuali Vietnam. Pertimbangannya adalah agar para pemimpin pergerakan dapat mempercayai janji Jepang dan selama Jepang bertempur melawan tentara Blok sekutu, mereka bisa focus di peperangan dan berharap bantuan dari kelompok pro-kemerdekaan itu bagi tentara Jepang selama perang.
Di Vietnam sendiri, di masa-masa akhir Perang Dunia II, Ho Chí Minh kembali ke Vietnam dari pengasingannya untuk membebaskan negaranya dari penjajahan oleh kuasa asing. Dia menumbuhkan pergerakan penentang, dan menerima bantuan kumpulan OSS (yang akan berubah menjadi CIA kelak).[4]Pada penghujung Perang Dunia II, pergerakan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chí Minh berjaya membebaskan Vietnam daripada belenggu penjajahan Jepang. Tanggal 2 September 1945 di Hanoi, Ho Chi Minh secara umum mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam dengan mengadopsi deklarasi kemerdekaan Amerika “We hold the truth that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, among them life, liberty and the pursuit of happiness”.[5] Pihak Tentara Jepang juga telah menawan pemerintah dan pejabat-pejabat Perancis di Vietnam agar mereka tidak berbuat spekulasi politik dan kembali memegang kendali penjajahan di Vietnam. Untuk itu, dalam keadaan terpaksa karena kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang telah menepati janjinya dan memberikan Vietnam satu bentuk “kemerdekaan” sebagai sebahagian daripada rencananya "membebaskan" bumi Asia dari penjajahan bangsa Barat. Asset-aset public kemudian diserahkan kepada kelompok nasionalis. Akan tetapi kejayaan itu hanya berlangsung dalam waktu singkat saja.
Bulan Oktober 1945, Pemerintah Perancis mengirimkan 35.000 orang prajuritnya ke Vietnam dengan alasan untuk menyelamatkan ribuan warga perancis yang tinggal di Vietnam. Agendanya tentu tidak sesederhana itu, Perancis lebih tertarik untuk menancapkan kembali kukunya dan menguasai kembali Vietnam. Setelah Perancis membangun kembali pemerintahan kolonial mereka di Vietnam, para nasionalis setuju untuk meminta dukungan dari pasukan Cina di utara. Hal ini berakibat pada meningkatnya tensi perang. Pasukan Viet Minh semakin meningkatkan intensitas serangan mereka terhadap kekuatan kolonial Perancis di setiap bagian wilayah tersebut, bagian Selatan maupun Utara Vietnam. Akan tetapi, wilayah perkotaan berhasil dikuasai Perancis dan ketika Perancis berhasil dalam menahan kota dibawah kekuasaan mereka, peraturan di daerah pedalaman makin bertambah karena dianggap sebagai tempat persembunyian Viet Minh.
Pembagian wilayah Vietnam Utara dan Selatan
Pada tahun 1949, Perancis membentuk Negara Vietnam Selatan, dengan pimpinannya Raja Bao Dai yang kemudian dianggap sebagai pemimpin boneka, dan menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah Perancis. Inilah awal konflik Perang Vietnam. Sementara itu, pada tahun 1950, RRC dan Uni Soviet mengakui Vietnam Utara dibawah pimpinan Ho Chi Minh, dan mulai mengirimkan peralatan militer dan penasehat militer (termasuk instruktur militer), dan suplai logistic bagi tentara Viet Minh. Sementara pada tahun yang sama Amerika mulai mengirimkan penasehat militernya ke Saigon,Vietnam selatan untuk membantu tentara Perancis. Tindakan pemerintah Amerika Serikat ini untuk mengantisipasi domino effect pengaruh komunisme di Asia Tenggara sperti apa yang ditakutkan oleh Henry Kissinger. Apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat ini kemudian merupakan penerjemahan praktis politik containment policy. Dalam konsepnya mengenai containment policy, George Kennan merekomendasikan supaya AS bersama negara sahabatnya mengekang atau membendung Uni Soviet dan bloknya dengan cara diplomasi, kontra-propaganda bahkan gerakan subversi. Tetapi, ia menandaskan supaya jangan memamerkan atau menerapkan daya mampu militer secara tergesa-gesa.[6]Dalam tahap ini, Amerika belum terlibat begitu jauh dalam konflik di Vietnam karena masih adanya Perancis yang menduduki wilayah tersebut.
Pada tanggal 20 November 1953, kekuatan kolonial Perancis menempatkan sebanyak 16.000 pasukannya di Dien Bien Phu, yaitu sebuah lembah pegunungan di sepanjang perbatasan Vietnam Utara dan Laos Utara. Dari Dien Bien Phu, Perancis bermaksud untuk mengawasi daerah perbatasan di antara kedua negara.[7] Hal ini dianggap perlu karena Viet Minh kemungkinan melakukan pergerakan komunis dilengkapi dengan persenjataan di wilayah Laos mengingat lokasi-lokasi strategis di wilayah Vietnam berada dalam kendali pasukan Perancis. Penempatan pasukan di Dien Bien Phu ini sekaligus untuk memperkuat posisi Perancis dalam mengendalikan wilayah Vietnam. Militer Perancis percaya bahwa Lembah Dien Bien Phu yang memiliki panjang 19 kilometer dan lebar 13 kilometer, aman dari serangan orang-orang Viet Minh.
Pada kenyataannya, perhitungan pasukan Perancis keliru karena pada masa-masa berikutnya, pasukan Vietnam dibawah pimpinan Jenderal Giap, telah menyiapkan rencana penyerangan terorganisir ke Dien Bien Phu. Dengan bantuan lebih dari 200.000 orang kuli pengangkut barang, Viet Minh mengatur pengangkutan artileri berat ke gunung-gunung yang mengelilingi lembah Dien Bien Phu. Hingga pada akhirnya pada bulan Maret 1954, orang-orang Viet Minh memulai penyerangan mereka terhadap pasukan Perancis di Dien Bien Phu. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menaklukan pusat komando kekuatan Perancis dengan menawan 9.500 anggota pasukan kolonial Perancis. Bagi pasukan Perancis, ini merupakan kekalahan paling buruk dalam sejarah pasukan kolonial Perancis. Kekalahan pasukan Perancis ini sekaligus mengakhiri era penjajahan Perancis di Vietnam secara de facto. Pertempuran di Dien Bien Phu ini meminta korban Lebih dari 20.000 orang Viet Minh dan lebih dari 3.000 orang Perancis. Sedangkan total korban selama Sembilan tahun perang antara Viet Minh dengan Perancis adalah lebih dari satu juta warga sipil, 200.000 hingga 300.000 orang Viet Minh dan lebih dari 95.000 anggota pasukan kolonial Perancis yang kehilangan nyawanya.[8]
Pada tahun 1954 di Jenewa, melalui sebuah perundingan di Jenewa, Swiiss, keberadaan Vietnam Utara diakui, termasuk oleh Perancis, yang segera mundur dari Vietnam. Dengan demikian, maka selanjutnya wilayah keberadaan Vietnam Utara diakui, termasuk oleh Perancis, yang segera mundur dari Vietnam. Maka berdasarkan hasil perundingan itu, terdapat dua eksistensi negara, karena sebelumnya Perancis telah lebih dahulu mengakui keberadaaan Vietnam Selatan. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka negosiator Viet Minh dan Perancis setuju membagi Vietnam menjadi dua negara,  yaitu Vietnam Utara yang dikuasai komunis dan Vietnam Selatan yang dipisahkan oleh sebuah garis demilitarized zone.
Setelah damai beberapa saat, tahun 1959, lebih dari 40.000 gerilya Vietnam Utara menerobos masuk ke wilayah selatan, dan memberikan persenjataan dan amunisi kepada komunis Vietnam Selatan, yang dibawa melalui jalan-jalan kecil Ho Chi Minh di wilayah Laos dan Kamboja. Dalam aksinya, mereka memulai kekacauan di sekitar perbatasan. Dua orang penasehat Militer Amerika Serikat menjadi korban pertama dari pihak tentara Amerika Serikat. Setelah gerilya komunis Vietnam Selatan dapat menjatuhkan pemerintahan Diem, pemerintahan komunis Vietnam Utara selnjutnya memegang kendali jalannya konfrontasi militer.
Pada tahun 1961, presiden AS yang baru dipilih, Kennedy, mengirimkan 100 penasihat militernya yang pertama bersama dengan satu unit khusus 400 tentara ke Vietnam dan menambah jumlahnya menjadi 11.000 tentara pada tahun berikutnya. Hal ini dilakukan setelah pada akhir 1961, secara resmi Pemerintah Vietnam Selatan meminta bantuan militer Amerika Serikat, karena semakin banyaknya tentara Vietnam Utara yang menerobos ke perbatasan, dan membuat kantong-kantong pasukan di Vietnam Selatan.
 Akan tetapi, pemerintah Amerika Serikat masih setengah hati untuk memberikan bantuan militer kepada Vietnam Selatan dalam memerangi gerilyawan Vietnam Utara.Hal ini disebabkan karena Presiden Vietnam Selatan Diem, sangat tidak disukai oleh rakyatnya termasuk juga oleh Amerika Serikat. Hingga munculnya rencana Jenderal Vietnam Selatan, Tran Van Don, untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Diem. Niat itu disampaikannya kepada Amerika Serikat. Jenderal Tran Van Don, meminta agar Amerika tetap membantu Vietnam Selatan memerangi “pengacau” dari Vietnam Utara, setelah Presiden Vietnam Selatan Diem, tersingkir. Akhirnya, Presiden Vietnam Selatan, Diem, dibunuh dalam kudeta tersebut, setelah dikhianati oleh orang-orang kepercayaannya.
 Sementara itu, perang di perbatasan semakin memanas, dan dari perang gerilya, berubah menjadi perang terbuka. Takut akan kejatuhan Vietnam Selatan, dan meluasnya komunis, Presiden Lyndan B. Jhonson yang menggantikan Presiden Kennedy menyatakan akan membantu Vietnam Selatan secara langsung. Ketidaksenangan pihak Vietnam Utara atas terlalu ikut campurnya Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah di Vietnam membuat suasana semakin memanas. Hingga pada tanggal 2 Agustus 1964, dua kapal pesiar Amerika di tembaki oleh kapal-kapal patroli Vietnam Utara di Teluk Tonkin.[9] Amerika bersikeras bahwa kapal-kapal pesiar itu berada di perairan internasional. Dan menjadikan peristiwa itu sebagai alasan untuk membom Vietnam Utara untuk pertama kalinya. Peristiwa inilah yang memicu terjadinya Perang Vietnam yang melibatkan tentara Amerika Serikat secara aktif. Walaupun belakangan, pada tahun 1971, diketahui bahwa dua kapal perang Amerika memang telah melanggar daerah perairan Vietnam Utara. Akan tetapi Amerika Serikat memang butuh sebuah “pemicu” untuk menyulut perang, dan momentum penembakan kapal pesiar tersebut sangat tepat untuk memanaskan suasana dan memicu perang.
Jalannya Perang
Pada bulan Maret 1965, pesawat tempur Amerika Serikat memulai Operation Rolling Thunder, pemboman besar-besaran terhadap Vietnam Utara. Serangan ini dilakukan dengan tiga misi, menyapu infiltran Viet Cong di Vietnam Selatan, membangkitkan moril Vietnam Selatan, dan provokasi terhadap Hanoi bahwa infiltrasi akan mengundang bahaya besar. Akan tetapi pada kenyataannya tidak ada respon apa-apa. Operasi itu kemudian dilanjutkan dengan beberapa operasi serupa, seperti Operasi Linebacker dan Operasi Linebacker II. Sekitar tiga setengah tahun kemudian, bom-bom dijatuhkan di sekitar Vietnam Utara yang jumlahnya dua kali lebih banyak dari jumlah bom yang dijatuhkan pada Perang Dunia II.
Sementara itu untuk melindungi warganya, pemerintah Vietnam Utara memberlakukan desentralisasi total ekonomi dan evakuasi sejumlah orang dari kota-kota. Hal ini dengan tujuan untuk mengurangi pembangunan industri dan penduduk negara.
Puncak Perang Vietnam terjadi pada tahun 1968, yaitu saat Amerika Serikat mengirimkan hampir setengah juta tentaranya ke Vietnam dan melibatkan Pasukan Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Filipina dan Thailand sebagai sekutunya dalam jumlah yang besar. Dan saat itu tentara Vietnam Selatan berjumlah 1,5 juta orang. Sedangkan Front Pembebasan Nasional di bawah kepemimpinan komunis, yang diberi nama Viet Chong oleh Amerika Serikat, memiliki kekuatan 400.000 pasukan.
Pada tanggal 1 Februari 1968, kekuatan Tentara Pembebasan Nasional memulai serangan Tet ke 105 kota-kota di Vietnam Selatan.[10] Walaupun Viet Chong berhasil dipukul mundur dan mengalami kekalahan, kecuali di Hué, serangan Tet ini merupakan saat yang menentukan dalam Perang Vietnam. Serangan Tet mengakibatkan perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat. Selain karena kelelahan, mereka juga telah membuang anggaran perang yang sangat besar untuk membiayai perang ini. Hal ini menyebabkan perpecahan di dalam negeri Amerika Serikat sendiri dengan berkurangnya dukungan terhadap Perang Vietnam. Setelah serangan Tet, pemerintahan Amerika Serikat tidak tertarik lagi ingin memenangkan perang. Tapi mereka hanya tidak ingin kehilangan reputasinya sebagai kekuatan militer terhebat. Melalui operasi militer, angkatan udara Amerika Serikat melakukan pengeboman ke wilayah Vietnam Utara, dan berakhir pada Oktober 1968. Setelah itu, pemerintah Amerika Serikat mulai menarik kembali pasukan-pasukannya secara bertahap dari Vietnam.
Tahun 1969 di Paris, pihak Amerika Serikat, Vietnam Selatan, Vietnam Utara dan Viet Chong melakukan negosiasi untuk menarik seluruh pasukan Amerika Serikat dari Vietnam. Sebelum negosiasi Paris membawa hasil, Amerika Serikat telah mengurangi pasukannya secara bertahap sebesar 100.000 orang dari Vietnam.
Tanggal 30 Maret 1972, terjadi seranganterakhir dari pihak komunis Vietnam Utara yang melewati garis demarkasi dan melanggar wilayah Vietnam Selatan. Tindakan ini masih sempat dibalas oleh tentara Amerika Serikat dengan melakukan pengeboman yang dilakukan secara terus-menerus oleh pesawat tempurnya, sehingga menyebabkan mundurnya pasukan Vietnam Utara.
Pada tanggal 27 Januari 1973, persetujuan gencatan senjata ditandatangani di Paris dan mulai diberlakukan sejak hari itu. Pada bulan Maret 1973, pasukan terakhir Amerika, meninggalkan Vietnam. Dua tahun kemudian, Vietnam Utara dan kekuatan komunis Selatan memulai serangan dengan maksud untuk menguasai negara Vietnam Selatan. Beberapa minggu kemudian, tepatnya tanggal 30 April 1975, pasukan Vietnam Utara menduduki Saigon. Peristiwa yang dikenal sebagai The fall of Saigon ini mengakibatkan berakhirnya perang yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Mateus Goncalves, Jurnal LIBERTASAUN/V/2005.Sejarah Kampanye Kotor Pemerintah Amerika Serikat dari A sampai Z.

Suar Suroso.2007. Marxisme Berkembang Maju (Bagian I): Tentang Perjuangan Kelas dan Diktatur Proletariat. Kolom Rumah Kiri.

Surat Kabar
Sabam Siagian,George Kennan dan Paul Wolfowits. Bali Pos, 4 April 2005.

Website
http://paul02583.multiply.com/journal/item/4
http://paul02583.multiply.com/journal/item/4
http://s4.images.proboards.com/tongue.gif




[1] Mateus Goncalves, Jurnal LIBERTASAUN/V/2005.Sejarah Kampanye Kotor Pemerintah Amerika Serikat dari A sampai Z.

[2] Suar Suroso.2007. Marxisme Berkembang Maju (Bagian I): Tentang Perjuangan Kelas dan Diktatur Proletariat. Kolom Rumah Kiri.
[3] Ibid (Goncalves).
[4] http://paul02583.multiply.com/journal/item/4
[5] http://s4.images.proboards.com/tongue.gif
[6] Sabam Siagian,George Kennan dan Paul Wolfowits. Bali Pos, 4 April 2005.
[7] http://paul02583.multiply.com/journal/item/4

No comments:

Post a Comment