Pages

Thursday, May 19, 2011

PERMASALAHAN LINGKUNGAN DI NEGARA – NEGARA BERKEMBANG

Permasalahan ekologis negara – negara berkembang jika dikaitkan dengan model pembangunan ekonomi yang diterapkan di negara – negara tersebut yang mengacu pada model pembangunan ekonomi yang dipakai dan dianggap berhasil oleh negara – negara maju menjadi hal yang unik untuk dipelajari dan dibahas bersama. Seperti yang telah kita ketahui bersama, kerusakan ekologis atau lingkungan yang melanda dunia telah menjadi perhatian serius negara – negara di seluruh dunia akibat dampak parah yang mungkin untuk ditimbulkannya. Bahkan lembaga – lembaga internasional seperti PBBpun terpaksa harus mengeluarkan reaksi mengingat pentingnya menangani masalah lingkungan demi kelangsungan hidup umat manusia di bumi.

Mari kita telusuri sejak kapan awal mula kerusakan ekologis dunia, khusunya yang melibatkan manusia. Di awal Revolusi Industri pada abad ke-18 di Inggris, berbagai kota seperti Manchester, Liverpool, dan Bristol menjelma menjadi kawasan – kawasan industri yang menyuplai berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa dan dunia. Kerajaan Inggris kemudian mengalami kemajuan ekonomi yang sangat drastis, khusunya di bidang industri yang memicu munculnya orang – orang yang membuka berbagai usaha dan pabrik baru yang beroperasi dengan volume output yang tentunya lebih besar, apalagi dengan dukungan penuh pihak kerajaan. Inilah awal mula industrialisasi masyarakat Eropa yang kemudian menjadi spirit bagi berkembangnya liberalisme. Meningkatnya standar kesejahteraan masyarakat Eropa kemudian memancing mereka untuk berharap lebih pada kebebasan dalam bidang ekonomi. Pengekangan bagi kaum non-bangsawan di Inggris dan seluruh Eropa dalam hal ekonomi memicu imigrasi besar-besaran ke Amerika dan mulailah berkembang sebuah kawasan yang selanjutnya menjadi negara pengusung utama liberalisme sampai saat ini.

Perkembangan industri kemudian juga terjadi di negara baru tersebut di mana perusahaan – perusahaan dengan industri raksasa muncul dan implikasinya adalah perkembangan negara tersebut menjadi superpower. Akan tetapi, industrialisasi tersebut yang sedari awalnya mengabaikan lingkungan kemudia berdampak pada kerusakan – kerusakan ekosistem seperti istilah “Black Country” bagi Bristol akibat tidak ditemukannya lagi dedaunan hijau akibat asap pabrik, walaupun pada saat itu masih dalam skala kecil dan dianggap tidak terlalu signifikan pengaruhnya terhadap kondisi masyarakat dibanding apa yang telah dihasilkan oleh industrialisasi. Logika ini terus berlanjut, dan seiring dengan modernisasi dunia semakin majunya industri negara – negara Eropa dan Amerika, maka volume kerusakan ekologispun semakin parah dan meluas. Seluruh duniapun, termasuk negara – negara yang bukan negara industri kemudian ikut merasakan imbasnya dan baru disadari oleh masyarakat global dalam dua tahun terakhir setelah berada pada stadium yang parah. Lebih parahnya lagi, kerusakan tersebut telah merambah dan meningkat ke berbagai aspek dalam bentuk pencemaran atau polusi baik itu udara, air, dan tanah.

Dari penelusuran tersebut di atas, dapat kita tarik kesimpulan akar permasalahan sebenarnya, yaitu negara – negara industri dengan segala proyek modernisasinya, baik itu pembangunan “hutan beton” gedung pencakar langit, ekksploitasi sumber – sumber kekayaan alam negara – negara dunia ketiga, pembuangan limbah industri yang berat, masalah sampah non-organik sisa industri, dan sebagainya.

Modernisasi seperti yang terjadi di negara – negara maju juga ternyata dipaksakan untuk diterapkan di negara – negara berkembang yang belum siap untuk menerima kondisi tersebut. Hasilnya kemudian adalah modernisasi dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan akibatnya ternyata jauh lebih parah. Kerusakan lingkungan di negara – negara berkembang berimbas pada kondisi sosial masyarakatnya. Negara – negara berkembang, seperti yang kita ketahui bersama memiliki standar kehidupan yang masih sangat rendah. Dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara – negara tersebut dan belum siapnya rakyat mereka untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut, ditambah lagi dengan ketidakmampuan pemerintahnya dalam mengelola negaranya, maka jadilah mereka sebagai pihak yang paling menderita sebagai akibat kerusakan ekologis.

Permasalahan ekologis yang terjadi di negara – negara berkembang umumnya disebabkan oleh karena pemerintahnya yang salah dalam mengadopsi sistem ataupun model ekonomi dalam membangun negaranya. Konsep industrialisasi dan modernisasi yang selalu disuarakan oleh negara – negara barat sebagai langkah terbaik dalam membangun masyarakat dan negara – negara dunia ketiga kemudian “ditelan” mentah – mentah oleh pemerintah negara berkembang tanpa mempertimbangkan berbagai faktor kekuatan nasionalnya. Maka berlakulah teori pembangunan bertahap Rostow yang mengejar tahap indusri, hampir di seluruh negara berkembang. Masalah – masalah turunan yang kemudian muncul, termasuk masalah ekologis karena setiap negara berlomba – lomba untuk membangun fasilitas dan kawasan industri dan mengabaikan lingkungan. Berbagai fasilitas dan kawasan industri kemudian dibangun dengan membuka hutan, menimbun sawah dan mencemari sungai. Begitupula halnya, berbagai lokasi tambang mulai dicari dengan memangkas gunung, mengebor perut bumi, dan kembali lagi membabat hutan. Kondisi seperti ini terjadi hampir di semua negara – negara dunia ketiga atau berkembang. Padahal jika kita mau melihat realitas siapa sebenarnya yang berada di balik semua kegiatan tersebut, maka jari telunjuk kita akan terarah langsung ke negara – negara maju dan berbagai nama korporasi multinasional yang berbasis di sana.

Ini tentu bukan hal yang tidak terduga mengingat model ekonomi yang diterapkan adalah model ekonomi yang juga berlaku di barat. Kemudian korporasi multinasional yang mengelola industri dan menjalankan misi modernisasi negara – negara dunia ketiga menjadi aktor tunggal eksploitasi kekayaan alam negara – negara berkembang. Yang pasti bahwa di setiap kerusakan lingkungan di negara – negara berkembang adalah tanggung jawab model perekonomian global yang dikampanyekan oleh negara – negara maju di barat.

2 comments:

  1. Kalo' boleh brpndapat ni yah! Mnurutku, kt tdk bs menyalahkn negara-negara maju. Seharusnya, negara berkembanglah yg hrus pintar-pintar melihat perkembangan model perekonomian yg di kampanyekan untuk diterapkan di negara berkembang tersebut. Dan seharusnya sebelum negara berkembangan menganut sistem dari negara maju, ia harus melihat kesiapan dari masyarakat negara berkembang tersebut. Agar kedepannya akan membawa dampak positif, bukannya dampak negatif.

    ReplyDelete
  2. persoalannya kan kebijakan dan penerapan model pembangunan ekonomi itu tidak serta-merta terlaksana atas pilihan sadar negara-negara berkembang tersebut. intinya, semua tersebut tidak berlangsung dalam keadaan baik-baik saja.
    negara berkembang tentu saja memiliki logika untuk menerapkan kebijakan dan model tsb. mereka tidak menerima begitu saja hal itu. ada faktor intervensi dan ancaman yg bermain di mana hal tersebut dalam beberapa hal memang dipaksakan oleh negara hegemon..

    seandainya bisa memilih sebagaimana dalam kondisi normal, tentu saja setiap aktor akan memilih sikap dan pilihan yg menguntungkan buat mereka..

    ReplyDelete