Pages

Sistem Pengelolaan Hutan Finlandia untuk Menjaga Eropa dan Dunia (Sebuah Rekomendasi Bagi Indonesia)

Tuesday, May 31, 2011 | at 7:22 PM

Finlandia merupakan salah satu negara dengan kawasan hutan produktif terbesar di dunia. Pada dasarnya dari segi peradaban kehutanan, Finlandia tidak jauh berbeda dengan Indonesia memiliki kesamaan sejarah sebagai peladang berpindah untuk keperluan pertanian. Namun, di Finlandia, semua persoalan menyangkut kehutanan dan pertanian dapat diatasi melalui kebijakan yang tepat, sehingga kedua sektor berbasis sumber daya alam itu maju dan berkembang. Di Indonesia, peladangan berpindah masih ada hingga sekarang, pertanian tidak berkembang dengan baik, dan hutan juga makin gundul.
Kawasan hutan Finlandia luasnya 70 persen dari luas daratan dan porsinya sama dengan Indonesia. Namun, akan  tetapi, di Indonesia luas hutannya terus berkurang, produksi berkurang, dan nilai devisa yang juga terus menyusut. Sedangkan dii Finlandia, luas hutan relatif stabil, dengan nilai tetapi produksi terus meningkat. Hebatnya, biaya produksi bisa turun, sesuatu yang mustahil terjadi di Indonesia.
Mengapa pemerintah Finlandia berhasil mengelola hutan secara berkesinambungan. Ada beberapa kunci utama, antara lain soal kepemilikan. Di sini 62 persen hutan dimiliki kelompok-kelompok keluarga (privat family owner), Perusahaan kehutanan 9 persen, negara 25 persen, yang lainnya 5 persen. Hal yang berbada tentuna kita saksikan di Indonesia, di mana seluruh kawasan hutan adalah milik negara. Negara menguasai begitu besar, tetapi tidak mampu mengurus, akhirnya keadaan hutan makin rusak.
Catatan Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), bahwa kerusakan hutan sudah mencapai 3,5 juta hektar per tahun. Konsep hutan“milik negara” yang diterapkan di Indonesia berarti pula bahwa tidak ada yang bertanggung jawab mengurusnya. Semua pihak "merasa berhak" mengeksploitasinya dan meninggalkan begitu saja ketika hutan sudah hancur. Hutan yang rusak hingga kini diperkirakan sudah mencapai 40 juta hektar.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 99 tentang Kehutanan, mengatur hutan, termasuk hutan adat. Akan tetapi, detailnya belum diatur peraturan pemerintah. Artinya, negara juga tidak mengatur. Di Indonesia, seperti apa yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa pemilik hutan adalah negara, akant tetapi sebagai pemilik, negara tidak bertanggung jawab merehabilitasi atau menanam kembali. Misalnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH), statusnya milik negara dan pengusaha memiliki hak memanfaatkan dan tidak diberi tanggung jawab merehabilitasi. Di Finlandia, pemilik bertanggung jawab secara penuh terhadap penanamankembali hutan yang telah dimanfaatkan.
Siapa yang memiliki hutan?
Di Finlandia, hutan milik masyarakat, kayunya dijual ke perusahaan-perusahaan pengelola hasil hutan dan masyarakat bertanggung jawab untuk menanaminya kembali. Jadi, penanggung jawab mengenai rehabilitasi, penanaman, dan pemeliharaan adalah pemilik. Di Indonesia hutan milik negara dikerjakan oleh orang lain, lalu pemerintah mendapatkan nilai berupa pajak. Nilai itu dipakai untuk merehabilitasi hutannya. Anehnya bahwa di Indonesia HPH memanfaatkan, membayar pajak, dana reboisasi, dan iuran hasil hutan, tetapi HPH juga bertanggung jawab terhadap pemeliharaannya. Kalau rumah sewa rusak, apakah yang memperbaiki itu pemilik atau penyewa? Sudah lazim tanggung jawab itu si pemilik. Mana mungkin bukan pemilik merasa bertanggung jawab. Namun, dalam konteks hutan, pemerintah menerima uangnya tetapi tidak mau bertanggung jawab menanami kembali. Di Finlandia, yang menerima uang bertanggung jawab terhadap pelestarian hutan. Di sini masyarakat yang menerima dari hasil hutan bertanggung jawab penuh terhadap pemeliharaan hutannya.
Di Indonesia, HPH menyetor segala macam pungutan kepada pemerintah, tetapi uang yang disetor itu tidak digunakan untuk merehabilitasi hutan, tetapi dipakai macam-macam. Misalnya dipakai untuk pengembangan industri pesawat terbang, sementara di saat yang bersamaan hutannya terbengkalai. Jadi, pemilik HPH Indonesia selalu melihat kondisi hutan di Indonesia terlalu berat dan secara ekologis juga tidak pernah merasa bertanggung jawab. Menurut mereka, hal tersebut sangat tidak realistis karena hutan bukan miliknya, mengapa harus repot-repot mengeluarkan biaya untuk membangun hutan kembali. Artinya bukan pemilik, tetapi harus bertanggung jawab melestarikan hutan. Apakah pemilik HPH harus ditekan sebagai tidak nasionalis?
Di Finlandia, masalah seperti ini bisa selesai dan terlihat lebih realistis. Sebagai pemilik, dia harus bertanggung jawab terhadap kesinambungan hutan. Sebagai pemilik hutan, dia menerima sesuatu. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, penerimaan itu digunakan kembali untuk membangun dan memelihara hutan selanjutnya. Di Indonesia, sebagai pengelola dan bukan pemilik hutan diwajibkan membayar dana reboisasi (DR) 16 dollar AS per kubik, provisi sumber daya hutan (PSDH) Rp 60.000, PBB per kubiknya sekitar Rp 5.000, belum pajak perusahaan1. Selain pungutan pusat pengelola hutan juga dibebani pungutan-pungutan daerah kurang lebih Rp 300.000, di luar pajak keuntungan. Kalau sekarang harga kayu Rp 700.000-Rp 800.000, artinya minimal 40 persennya pungutan. Sedangkan di Finlandia, pajaknya hanya satu, yakni pajak penghasilan 29 persen. Karena sistem pajaknya satu kali, semua data transparan, baik di Departemen Kehutanan, Asosiasi Kehutanan atau Industri kehutanan, datanya sama. Data kehutanan 100 tahun lalu ada dan di tiap instansi sama semua. Karena itu, hasil terus meningkat dan efisiensi bisa diterapkan.
Di Indonesia, data-data tidak sama antarsatu departemen dengan departemen lain sehingga ketika menerapkan satu kebijakan biasanya selalu tidak tepat. Contohnya soal Rencana Kerja Tahunan (RKT). Data produksi ditekan semakin kecil, tetapi hutan justru makin rusak. Kegiatan riset juga tidak bisa berkembang karena datanya tidak sama.Tidak adanya data yang sama berimplikasi sangat luas. Misalnya, luas HPH, dalam lima tahun terakhir, lebih dari separuh berkurang, tetapi tingkat kerusakan hutan makin meningkat dari 1,6 juta hingga 3,5 juta per tahun. Data produksi makin kecil. Kalau data RKT dari HPH ditentukan hanya 6,8 juta meter kubik per tahun, berdasarkan angka ini tidak mungkin ada kerusakan hutan.2  Hal ini menunjukkan bahwa ada masalah serius yang harus segera ditangani dari kondisi ini.
Kenyataannya hutan makin rusak. Hutan produksi bisa menghasilkan 50 juta meter kubik. Dengan 0,7 meter kubik per hektar per tahun, berarti 35 juta meter kubik, berarti tidak aka nada kerusakan hutan yang akan terjadi. RKT sekarang 6,8 juta meter kubik, mengapa hutan makin rusak? Sebab di Indonesia tidak ada data yang transparan. Kalau datanya transparan, tidak akan bisa dimanipulasi.
Di Finlandia tidak menerapkan adanya pungutan macam-macam. Begitu kayu keluar dari hutan, maka kayu sudah bebas dari pungutan. Jadi kondisi ini sangat kondusif untuk berusaha. Kalau di Indonesia, setiap kayu keluar dari hutan dicegat sana-sini dan harus bayar macam-macam. Kayu harus ada dokumennya sehingga kelengkapan administratif ini yang akan menjadi tempat korupsi atau kolusi antara petugas dan pengusaha hutan. Jadi perjalanan kayu makin panjang, dokumennya makin banyak.
Otonomi daerah yang bergulir sejak empat tahun lalu juga ikut memperparah kerusakan hutan. Sekarang Anda kerja di lokasi ini, begitu sudah tiba di lokasi ada masyarakat mengklaim, ini punya saya, bayar dulu ke saya. Sekarang pengusaha hutan menghadapi dua pemilik, yakni pemerintah dan masyarakat, penyetorannya selain ke pemerintah, juga ke masyarakat. Pemerintah pun ada pemerintah pusat dan daerah. Lucunya, si pengelola ini, walaupun sudah bayar macam-macam, harus membangun kembali hutannya. Padahal, pengelola sudah membayar dana reboisasi, yaitu dana jaminan reboisasi. Artinya, kalau pengusaha tidak mampu melakukan rehabilitasi, maka uang itu dipakai untuk merehabilitasi hutannya. Artinya, uangnya diambil oleh pemerintah, tetapi tidak bertanggung jawab terhadap pembangunan hutan.
PERSAKI melihat kalau landasan hukumnya dalam pembangunan kehutanan sudah tidak benar, maka kelanjutannya juga tidak akan berhasil karena fondasinya tidak kokoh. Kalau pengusaha diharuskan membangun hutan, dia membangun dengan ala kadarnya dan tidak dilakukan dengan sungguh- sungguh sebab itu bukan miliknya. Pembangunan kehutanan sifatnya jangka panjang, sementara kepastian hukum perizinan tidak jelas. Secara logika, pengelola hutan akan berpikir, mengapa penghutanan kembali harus dikerjakan benar-benar, hutannya bukan milik saya. Kalau ditanam benar-benar lalu setelah 35 tahun hutan itu jatuh ke orang lain, maka yang menanam benar itu akan merugi.
Apa yang harus kita ubah ?
Sistem itu tidak memiliki insentif untuk bekerja dan membangun hutan secara benar. Di Finlandia, karena kepemilikannya jelas kalau saya tidak tanam sekarang, tahun depan tidak dapat uang. Hal-hal fundamental seperti inilah yang diharapkan dari Pemerintah baru untuk segera dilakukan melalui perbaikan-perbaikan di bidang hukum yang akan memperjelas masing-masing status. Hal ini sekaligus untuk mengevaluais kekeliruan kebijakan yang terjadi dan berdampak sangat luas, mulai dari kerusakan hutan, penebangan liar atau perdagangan kayu gelap (illegal logging-illegal trading). Sebagai contoh di Jawa, kebutuhan kayu berdasarkan keperluan pembangunan rumah bagi penduduk adalah 25 juta meter kubik kayu. Sementara produksi kayu, sebagian besar jenis jati, tidak sampai 2 juta meter kubik per tahun. Pertanyaannya, siapa yang menjual kayu untuk kebutuhan penduduk Jawa itu? Pasalnya, pengusaha HPH tidak akan mau menjual kayu dengan harga yang sangat murah (di bawah Rp 1,5 juta per kubik) itu. HPH lebih baik menjualnya ke industri plywood untuk ekspor. Jadi, yang memasok kayu ke Pulau Jawa hampir semuanya dari illegal logging.Berapa pemerintah kehilangan pendapatan? Kalau 50 juta kubik (termasuk yang diselundupkan ke luar negeri) x Rp 300.000, berarti Rp 15 triliun per tahun pemerintah kehilangan pendapatan. Sementara nilai kayunya sendiri, kalau harganya Rp 1 juta saja, berarti kali 50 juta sama dengan Rp 50 triliun. Ibarat membuat rumah, kalau fondasinya rapuh, mau dibikin apa saja tetap saja akan ambruk. Di Finlandia, fondasi aturan dan sistemnya sudah bagus, jadi mau diarahkan ke industri apa pun sangat kondusif.
Begitupula dengan pengelola hutannya, Para pemilik/pengusaha hutan di Finlandia sangat mematuhi peraturan kehutanan di negaranya karena sanksi tegas yang bisa saja menjeratnya. Pada tahun 1997, terlihat bahwa 96 persen pemilik hutan mematuhi Undang-undang Kehutanan Negara tahun 1996. Sejak diberlakukannya undang-undang tersebut pemerintah belum menemukan adanya satupun pelanggaran yang mengakibatkan sanksi dan penahanan. Hasil hutan menyediakan sebanyak 30% bagi eksportnya dan meskipun tedadi penebangan secara besar-besaran dan pertumbuhan kayu yang sangat perlahan, namun volum tegakan kayunya secara tetap meningkat.3 Tidak ada salahnya menjadikan Finlandia sebagai kiblat dalam sistem pengelolaan hutan Indonesia.


Catatan akhir
1)Harian KOMPAS, 3 November 2004, hal.17.
2)Harian KOMPAS, 27 November 2004,hal.45
3)Cara Finlandia Membuat para pemilik/pengusaha hutan mematuhi peraturan kehutanan. CIFOR JOURNAL, 3 Agustus 2000,hal.2



Semuanya diolah dari satu sumber bacaan saja..
Cara mengutip, bahkan mungkin kutipannya sangat kacau..
Jadi mohon koreksinya. Materinya sangat bagus soalnya.*
hehehehehe




*narciss

0 comments: