Terminologi Negara Dunia Ketiga atau Negara – Negara Berkembang merupakan suatu efek dari bentuk stratifikasi kelas dalam hubungan internasional. Hal ini sekaligus bentuk pemilahan yang akhirnya dapat membedakan suatu negara yang berada pada level tersebut dengan negara lain yang lebih maju atau berada pada level yang lebih tinggi. Pengkategorian atau pemilahan ini diukur dengan menggunakan standarisasi kemajuan negara – negara barat yang maju dengan menggunakan berbagai indikator semisal tingkat pertumbuhan ekonomi makro, income perkapita, tingkat pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan, dan demokratisasi roda pemerintahan.
Dengan melihat berbagai indikasi tersebut di atas, maka kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa negara – negara yang dimaksud adalah negara - negara yang kebanyakan terletak di benua Afrika, Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa Timur, dan Amerika latin yang saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan dan peningkatan di bidang ekonomi. Ada fenomena menarik yang serupa yang dapat kita saksikan kondisi di setiap negara dunia ketiga, yaitu menyangkut masalah demokrasi.
Wajah demokrasi dari negara – negara dunia ketiga atau negara berkembang umumnya sangat suram. Kalaupun membaik, tidak ada orientasi yang jelas mengenai pemahaman makna demokrasi itu sendiri bagi masing – masing negara, baik itu di kalangan pemerintahnya maupun rakyatnya. Negara – negara dunia ketiga bahkan seringkali dilanda persoalan domestik berkepanjangan, seperti konflik, masalah pengangguran dan kemiskinan, dan sebagainya yang menimbulkan ketidakstabilan politik. Faktor keamanan yang tidak terjamin bagi warga juga sering berefek pada timbulnya guncangan pada pembangunan ekonomi yang tengah diupayakan oleh pemerintah yang berkuasa di negara tersebut.
Kondisi demokrasi di negara – negara dunia ketiga dapat kita saksikan seperti apa yang terjadi dan pernah terjadi di Indonesia sendiri, Filiphina, Myanmar, Thailand, dan beberapa negara di kawasan Amerika Latin. Indonesia contohnya, selama tiga puluh dua tahun rezim militer yang otoriter berkuasa, seluruh negeri dibungkam. Media massa, Ornop, partai – partai, serikat pekerja, kelompok pergerakan mahasiswa, dan seluruh elemen penopang negara dilarang menyuarakan suara – suara yang dianggap resistance terhadap penguasa. Dalam partai politik, malah diberlakukan asas tunggal yang kemudian mengarah pada suatu bentuk penyeragaman identitas sebagai suatu bangsa.
Kondisi yang sama, atau mungkin lebih parah tentu saja dapat kita jumpai di negara – negara dunia ketiga lainnya. Thailand misalnya, setelah beberapa dekade sempat mengklaim dirinya sebagai negara dan bangsa yang demokratis, akan tetapi kenyataannya bahwa Thailand sampai hari ini tetap merupakan negara di mana rakyatnya selalu berada di bawah tekanan pemerintah dan tidak pernah didengarkan asprasinya. Thailand bahkan selalu diwarnai dengan tindakan subversif pihak militer yang selalu ikut campur dalam urusan politik kenegaraan, bahkan berani melakukan coup d’etat jika dia merasa tidak senang dengan pemerintah yang berkuasa. Dengan berdalih mendapat restu atau legitimasi raja, militer Thailand telah lebih dari dua puluh kali melakukan coup terhadap pemerintah.
Kondisi yang jauh lebih parah terjadi di Myanmar, di mana represi militer yang sangat kuat dan otoriter menjadikan negara tersebut tidak dapat berkembang dan tetap terbelakang selama beberapa dekade sejak pemerintah militer mengambil alih kekuasaan sipil yang diperoleh sejak kemerdekaannya dari Pemerintah kolonial Inggris. Kondisi yang sangat parah ini kemudian semakin memburuk akibat pembungkaman media yang dilakukan Pemerintah Militer Myanmar yang kemudian lebih populer disebut sebagai Junta. Jika di Thailand maupun Indonesia masih memberikan ruang bagi demokrasi untuk setidaknya merasakan “napas”nya lewat Pemilihan Umum, walaupun manipulatif, maka represi Junta Militer Myanmar membungkam habis elemen vital tersebut.
Pemerintah Myanmar, walaupun sempat mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang demokratis pada tahun 1992, akan tetapi kemenangan tokoh pro-demokrasi Aung Sang Suu Kyi membuat Junta Militer, dengan komando Jenderal Than Shwee membatalkan keputusan kemengan hasil Pemilu demokratis tersebut dan kembali mengambil alih tongkat kepemimpinan negara Myanmar. Maka kran demokrasipun kembali tertutup.
Wajah demokrasi yang sama bisa kita jumpai di amerika Latin dan Afrika. Sejumlah negara di kedua wilayah tersebut sampai hari ini masih diperintah oleh rezim diktator militer. Kalaupun ada yang berbenah, itu ternyata hanya terfokus di bidang ekonomi saja, di mana beberapa negara kemudian membangun sarana untuk investasi untuk berbagai proyek neoliberalisme yang digadang – gadangkan oleh negara – negara barat dan beberapa organisasi dan lembaga donor internasional semacam IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut. Yang pertama, masalah kondisi perekonomian negara dan rakyatnya yang sangat parah, sehingga mereka tidak pernah atau belum berpikir untuk merasakan kebebasan politik sebelum mendapatkan kemapanan ekonomi yang dapat menjamin hidupnya. Yang kedua adalah plutokratisme. Seperti yang kita ketahuio bersama, bahwa pasca dekolonisasi barat, sebagian besar negara - negara di seluruh dunia kemudian diserahkan kepada atau diambil alih oleh sekelompok elit masyarakat di negeri yang bersangkutan. Di Indonesia, diserahkan kepada ningrat – ningrat Jawa, di Amerika Latin diserahkan kepada tuan tanah keturunan kulit putih pemilik modal, di Afrika diserahkan kepada kelompok militer, dan sebagainya. Hal yang kemudian membentuk frame berpikir bahwa negara tersebut diserahkan kepada mereka dan keturunan mereka. Kondisi yang berakibat pada kembalinya sistem feodalisme di setiap negara – negara baru tersebut. Sialnya, karena kondisi in berlanjut sampai beberapa dekade selanjutnya.
Akan tetapi, kita juga tidak bisa menafikkan kepentingan negara – negara besar atas kelanggengan rezim di negara – negara dunia ketiga tersebut. Kita tentu ingat bagaimana rezim – rezim di Amerika Latin menjadi “bebek” peliharaan Washington yang siap melakukan apapun demi kesenangan tuannya di Gedung Putih. Amerika Latin pada dasawarsa 1980 – 1990-an bahkan dijadikan sebagai kawasan percobaan proyek neoliberalisasi. Oleh sebab itulah kawasan tersebut menjadi sangat terkenal dengan berbagai rezim yang sempat menguasainya.
Itulah mungkin gambaran mengenai kondisi demokrasi yang hampir seragam di seluruh negara – negara dunia ketiga yang sampai saat ini terus membuat kita prihatin. Kita tidak dapat berbuat hal yang besar, sama seperti tidak berdayanya organisasi – organisasi internasional yang seharusnya mampu untuk itu, apalagi yang berada dibaliknya bisa saja sebuah kepentingan yang sangat besar.
No comments:
Post a Comment