Pages

Analisa Sistem Politik Indonesia Pasca-Orde Baru

Friday, October 8, 2010 | at 11:46 AM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberi harapan baru kepada seluruh elemen masdyarakat Indonesia akan terciptanya kehidupan yang lebih baik dalam segala hal. Pada zaman Orde Baru, represifitas Pemerintah pada waktu itu menciptakan masalah - masalah seperti diskriminasi rasial terhadap etnis tertentu (dalam beberapa hal), perlakuan tidak adil bagi orang – orang (dan keluarganya) yang diduga terlibat dalam jaringan PKI, intervensi, pengekangan kebebasan dan hak berpolitik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, mengemukakan pendapat, dan sebagainya.

Hadirnya Reformasi kemudian seakan menunjukkan sebuah jalan terang yang meluluhkan semua bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi, pengekangan kebebasan,dan sebagainya yang sempat terjadi selama masa Orde Baru. Reformasi memberikan mimpi dan harapan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih demokratis, di mana kesejahteraan rakyat menjadi spiritnya. Jaminan terhadap adanya kebebasan – kebebasan yang sebelumnya dikekang kemudian memberi peluang – peluang bagi terwujudnya suatu tatanan baru dalam masyarakat Indonesia.

Pergeseran penafsiran makna demokrasi dan kebebasan berpolitik kemudian terjadi di dalam masyarakat Indonesia, begitu pula dalam hal manifestasi dan implementasinya. Kondisi yang terjadi di Indonesia kemudian adalah bertumbuh jamurnya berbagai partai politik dengan berbagai basis ideologi yang berbeda, khususnya pasca jatuhnya Orde Baru. Hal ini tentunya adalah konsekuensi dari adanya jaminan akan kebebasan dan hak berpolitik serta demokrasi yang dijanjikan oleh reformasi.

Yang menjadi masalah kemudian adalah partai – partai politik ini lebih sibuk mengaspirasikan kepentingan mereka sendiri dan melupakan apa yang menjadi aspirasi rakyat. Mereka sibuk berebut dan membagi – bagi kekuasaan kemudian melupakan substansi tujuan dari kekuasaan (politik) yaitu pelayanan dan kesejahteraan rakyat.

Berbagai kekhawatiran kemudian muncul dari kondisi perpolitikan seperti ini di masa yang akan datang. Begitupula dengan dampak yang akan ditimbulkan jika kondisi kondisi seperti ini terus terjadi, baik itu bagi lingkungan domestik Indonesia dengan berbagai bidang di dalamnya, maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran proses demokrasi dan kebebasan berpolitik dalam Sistem Politik Indonesia pasca jatuhnya Rezim Orde Baru (Masa Reformasi) ?

2. Bagaimana analisis proses demokrasi dan kebebasan berpolitik dalam Sistem Politik Indonesia di masa yang akan datang ?

3. Konsekuensi apa yang akan diakibatkan dari kondisi berdasarkan analisis tersebut di masa yang akan datang ?

C. Kerangka Konsep

Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana setiap elemen masyarakat diberi kesempatan untuk turut berperan aktif dalam menentukan dan mengawasi jalannya pemerintahan di suatu negara. Hal ini tidak lepas dari tujuan dari pemerintahan tersebut yakni untuk kesejahteraan rakyat dari elemen manapun di dalam masyarakat negara tersebut. Karena hal tersebut, maka wajar jika setiap pihak merasa memiliki hak untuk beraspirasi kepada pemerintah, bahkan merasa memiliki hak untuk menjadi pemerintah itu sendiri. Karena memang demokrasi memberikan jaminan (kebebasan) berpolitik bagi setiap warga negara.

Di Indonesia, pluralitas masyarakatnya ikut mepengaruhi proses demokrasi ini. Kebebasan berpolitik yang dijamin memberi peluang bagi berkembangnya ratusan partai politik dengan berbagai basis ideologi yang berbeda pula di negara ini. Kondisi ini tentunya bisa melahirkan benturan – benturan kepentingan di antara mereka, akan tetapi kondisi ini bisa juga membantu kita dalam mengatasi berbagai masalah (krisis) multidimensi di negara ini mengingat banyaknya pandangan dan solusi yang bisa ditawarkan oleh setiap kelompok maupun partai.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Demokrasi dan Kebebasan Berpolitik


Suatu negara demokrasi haruslah selalu berusaha dan menetapkan berbagai aturan maupun kebijakan – kebijakan yang dapat menunjang langgengnya proses demokrasi di negara tersebut. Penghapusan segala bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi dan pengekangan kebebasan termasuk hal – hal yang dapat menunjang proses demokrasi di suatu negara. Kondisi seperti ini dapat kita lihat di negara – negara yang sudah mapan dan stabil jalan dan proses demokrasi sistem pemerintahannya, seperti Amerika serikat dan negara – negara Eropa Barat.

Pengekangan terhadap kebebasan, seperti kebebasan berpendapat, berorganisasi, atau bahkan kebebasan berpolitik akan mematikan jalannya proses demokrasi di sebuah negara. Bagaimana tidak, dengan pengekangan tersebut pemerintah (penguasa) dapat dengan seenaknya membuat dan menetapkan aturan maupun kebijakan yang sepihak dengan hanya berdasarkan pada kepentingan pribadi maupun golongan (elit) yang sedang berkuasa. Larangan berpendapat maupun berorganisasi yang anti atau kontra terhadap sistem politik pemerintah yang sedang berkuasa membuat fungsi artikulasi dan agregasi dari suatu sistem politik mengalami kelumpuhan. Dengan sendirinya, kebijakan maupun aturan yang dibuat bisa sangat sepihak tanpa melihat kondisi real masyarakat, apalagi mendengarkan apa yang menjadi aspirasi mereka.

Kondisi seperti yang tergambar di atas pernah terjadi di Indonesia selama tiga puluh dua tahun pemerintahan rezim Orde Baru (1966 - 1998). Matinya demokrasi pada masa itu, dapat dilihat dari bagaimana represifitas pemerintah, khususnya dalam menekan berbagai tuntutan, baik yang datang dari individu maupun kelompok yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Hariman Siregar menggambarkan kondisi tersebut sebagi beikut :

“di dalam sistem ini, negara (melalui birokrasi negara sipil maupun militer) mengendalikan segalanya (bureaucratic authoritarian state). Masyarakat kemudian diatur dalam kelompok – kelompok fungsional yang tak bersaing satu sama lain. Pertentangan kelas dianggap tidak ada. Di sini pernyataan spontan kepentingan ditiadakan. Semuanya harus melalui saluran yang ditentukan. Lalu diciptakan lembaga – lembaga dalam jumlah terbatas, umumnya berupa perhimpunan masyarakat yang menyuarakan suatu jenis fungsi dan kepentingan, tetapi yang pemimpinnya direstui oleh pemerintah.” (Hariman Siregar, Gerakan Mahasiswa: Pilar Ke-5 Demokrasi, Teplok Press, Jakarta, 2003, h. 42.)

Ternyata represifitas suatu pemerintahan seperti apa yang pernah terjadi di Indonesia tidak memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Maka tidak heran jika kemudian muncul tuntutan reformasi terhadap sistem politik yang ada. Intinya adalah tuntutan untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, mengembalikan hak – hak sipil dan politik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat.

Seakan sudah menjadi keharusan bahwa apabila suatu negara ingin menegakkan demokrasi, maka negara tersebut haruslah lebih dahulu mengembalikan basic dari demokrasi itu sendiri, yaitu kebebasan dan hak politik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat sehingga nantinya feed back akan terjadi dan berjalan secara dinamis di dalam sistem politik negara tersebut. Suatu kebijakan ataupun aturan yang dibuat oleh pemerintah akan direspon oleh masyarakat dalam bentuk tekanan dukungan maupun tuntutan. Respon ini kemudian akan dipertimbangkan untuk menjadi input yang akan diproses untuk menghasilkan kebijakan baru yang lebih baik dan lebih memihak.

B. Proses Demokrasi dan Kebebasan Politik Pasca jatuhnya Rezim Orde Baru di Indonesia

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa represifitas suatu pemerintahan akan mendorong lahirnya tuntutan reformasi terhadap sistem politik yang ada. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 1998, represifitas pemerintahan rezim Orde Baru yang dirasakan oleh masyarakat telah mencapai titik klimaksnya. Kondisi ini diperparah oleh ketidakmampuan Pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian negara yang sempat rubuh akibat badai krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, dan berbagai krisis multidimensional lainnya yang kalau dikaji lebih dalam masih merupakan rangkaian akibat dari represifitas pemerintahan rezim Orde Baru.

Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah sehari sebelumnya terjadi gelombang demonstrasi besar – besaran yang menuntutnya mundur. Ini tentunya menandai runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru dan dimulainya suatu masa yang disebut Reformasi. Hadirnya Reformasi kemudian diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik itu yang positif maupun yang negatif. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah represifitas pemerintah sudah dapat dikurangi, hak dan kebebasan politik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat sudah dikembalikan, dan yang lebih penting lagi adalah proses demokrasi yang kembali tumbuh dan berjalan.

Berbagai konsekuensi turunan juga kemudian timbul mengikuti konsekuensi – konsekuensi tadi dalam arus reformasi di Indonesia. Adanya jaminan hak dan kebebasan masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, dan berpendapat kemudian menjadi alat untuk melegitimasi lahirnya berbagai lembaga, buku-buku, aksi-aksi unjuk rasa, dan sebagainya . Partai politik pun tumbuh subur di Indonesia, bahkan dengan berbagai basis ideologi dan varian yang berbeda. Hal yang tentu bertolak belakang dengan asas tunggal yang diterapkan selama masa pemerintahan rezim Orde Baru yang otoriter.

“partai politik, terutama setelah tumbangnya era Orde Baru, tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Pada Pemilu 1999 ratusan partai politik didirikan, tapi yang boleh ikut Pemilu hanya 48 partai. Pada Pemilu 2004 ini, juga bermunculan ratusan partai politik, tapi yang lolos verifikasi hanya 24 partai, separuh dari tahun 1999. Realitas ini menandakan bahwa nafsu dan feeling berpolitik bangsa Indonesia sangat tinggi.”(Idris Thaha, Pergulatan Partai Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2004, h. vi.)

Pengekangan terhadap demokrasi dan kebebasan politik masyarakat Indonesia oleh penguasa selama masa Orde Baru benar – benar membuat masyarakat depresi. Seiring dengan lahirnya Reformasi, rasa depresi itupun dilampiaskan dengan mendirikan berbagai macam partai politik dan lembaga lainnya untuk membawa dan menyampaikan aspirasi dan kepentingan mereka. Perkembangan partai politik ini menunjukkan bahwa kebebasan berpolitik telah kembali mendapatkan jaminan untuk hidup di Indonesia. Ini pulalah yang diharapkan akan mengawal proses demokrasi di Indonesia.

Kembalinya sistem multipartai dalam Pemilu di Indonesia mengingatkan kita pada Pemilu 1955, di mana juga terdapat banyak partai dan melahirkan empat partai besar dengan basis ideologi yang berbeda sebagai pemenang. Akibatnya adalah benturan kepentingan di mana setiap kelompok saling berdebat di DPR hanya untuk bagaimana agar pandangan dan pendapat merekalah yang didengar dan diterapkan. Akibatnya adalah mereka melupakan bahwa mereka ada dan dipilih oleh rakyat untuk duduk di DPR sebagai perwakilan dari rakyat untuk bersama pemerintah mencari solusi terhadap terhadap berbagai masalah bangsa.

Sejarah ternyata kembali berulang. Setelah dua kali Pemilu pasca Orde Baru, yaitu pada tahun 1999 dan 2004, kondisi yang hampir sama dengan kondisi DPR pada tahun 1955 kembali terjadi. Para anggota DPR yang mewakili fraksinya masing–masing disibukkan berdebat dengan membawa kepentingan partai dan golongannya sendiri – sendiri pada setiap sidang tahunan. Nyaris tidak pernah terdengar suatu langkah penyelesaian yang disepakati oleh para wakil rakyat mengenai masalah – masalah bangsa yang paling krusial, seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Perdebatan itupun kemudian tidak melahirkan hasil apapun selain dana miliaran rupiah yang dihabiskan untuk perdebatan tersebut. Maka tidak heran jika mantan Presiden Abdurrahman Wahid sempat menyebut ruang DPR lebih mirip sebagai “Taman Kanak – Kanak” daripada sebuah lembaga perwakilan rakyat.

Fenomena lain yang terjadi adalah kesibukan partai – partai tersebut untuk mencari “kawan” dan membentuk koalisi dalam menghadapi Pemilihan Presiden. Ujung - ujungnya, yang terjadi tentulah bagi – bagi kekuasaan dalam kursi kabinet di antara koalisi tersebut jika pihak mereka menang. Yang pasti adalah perdebatan setiap kelompok atau partai adalah bagaimana mempermudah akses partai dan kelompoknya menuju kekuasaan dan menghambat lawan menuju ke kekuasaaan tersebut. Kita bisa melihat ini pada perdebatan soal masalah persyaratan calon Presiden RI dalam Pemilihan Presiden (Pilpres).

Suatu kemajuan lain dalam proses demokrasi telah terjadi di Indonesia yaitu pelaksanaan pemilihan Kepala Negara dan Wakilnya secara langsung oleh rakyat Indonesia. Setelah Pemilu 2004, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menyusul kemudian pada tahun 2005. Nilai positif yang dapat diambil dari proses ini adalah rakyat Indonesia sudah dilibatkan lebih dalam penentuan tokoh yang tepat untuk mengatur dan mengurusi bangsa, negara, dan berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Dengan demikian, berarti rakyat Indonesia memegang suatu tanggung jawab moral atas apa dan siapa yang telah mereka pilih untuk memimpin, mengatur dan mengurusi negara ini.

Akan tetapi, sebuah sandungan dalam proses demokrasi Indonesia kembali muncul dengan adanya aturan bahwa Presiden yang telah terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat Indonesia tidak dapat dijatuhkan oleh tekanan apapun, kecuali jika masa jabatannya telah berakhir. Kekhawatiran berbagai pihak kemudian muncul dari adanya aturan seperti ini. Kekhawatirannya adalah adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden yang terpilih nantinya. Aturan tersebut seakan menjadi alat legitimasi bahwa semua kebijakan yang diambil oleh Pemerintah adalah benar, walaupun kebijakan itu tidak sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat Indonesia karena ketidakberpihakannya. Jadi, apapun kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sampai pada tahun 2010 nanti harus diterima dan dijalankan, walaupun dalam keadaaan terpaksa. Tuntutan apapun tidak akan mampu menggoyahkan sikap Pemerintah, apalagi tuntutan untuk mundur bagi Presiden.

Kemenangan Susilo Bambang Yudoyono dalam Pemilihan Presiden tahun 2005 kemudian menambah parah kekhawatiran rakyat. Apalagi latar belakang Presiden Yudoyono adalah dari kalangan militer. Ini seakan mengindikasikan akan kembali berkuasanya rezim militer di Indonesia.

Kondisi ini tentunya diperparah oleh tidak befungsinya secara maksimal peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengimbangi peran Pemerintah. Berbagai Rancangan Undang – Undang (RUU) dan aturan yang diusulkan oleh Presiden begitu mudahnya diloloskan di DPR. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya basis dukungan terhadap Pemerintah di DPR. Setidaknya ada lima fraksi besar di DPR yang menjadi penyokong utama Pemerintah. Kondisi ini hampir mirip dengan kondisi di zaman Orde Baru, di mana Pemerintah mencengkeram habis DPR. Pemerintahan Presiden Yudoyono memang tidak serepresif Pemerintah Orde Baru, akan tetapi kuatnya basis dukungan terhadap pemerintahannya di DPR membuatnya sedikit otoriter dalam memerintah.

Kondisi – kondisi seperti ini yang tentulah harus dicarikan solusi jika kita tidak ingin jalan dan proses demokrasi mengalami hambatan di Indonesia. Setidaknya aturan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak tersebut haruslah direvisi dan dibuatkan suatu aturan baru yang lebih menjanjikan kelangsungan dari jalan dan proses demokrasi di Indonesia.

C. Masa Depan Proses Demokrasi dan Kebebasan Politik Dalam Sistem Politik di Indonesia

Kondisi perpolitikan di Indonesia yang sama dengan kondisi yang sekarang terjadi mungkin masih akan berlangsung sampai pada beberapa tahun yang akan datang, setidaknya hingga berlangsungya pesta demokrasi Pemilu 2009. Hal ini mengingat Indonesia masih sangat muda dan baru dalam hal manivestasi demokrasi. Perubahan – perubahan mungkin terjadi, akan tetapi tidak akan terjadi perubahan yang berpengaruh terlalu besar terhadap tatanan sistem politik yang akan dan sedang berlangsung.

Proses demokrasi di Indonesia sampai pada beberapa tahun yang akan datang belum akan menemukan bentuknya yang ideal. Hal ini tentulah disebabkan oleh belum adanya upaya penyatuan pandangan oleh para elit dalam menentukan format demokrasi yang ideal untuk diterapkan di Indonesia di masa sekarang.. Penataan – penataan terhadap sistem politik yang ambruk dan kacau balau pasca runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru juga seakan terabaikan. Berbagai aturan dan kebijakan baru yang dinilai represif dan mengekang kebebasan masyarakat malah dibuat, seiring dengan belum dicabutnya berbagai aturan dan Undang – Undang yang memasung demokrasi di masa lalu. Hal ini tentulah akan berdampak pada tehambatnya proses demokrasi di masa yang akan datang.

Kuatnya budaya pemerintahan yang dibangun salama tiga puluh dua tahun pemerintahan rezim Orde Baru akan sangat sulit untuk dihancurkan mengingat kuatnya basis pendukung tokoh – tokoh didikan Orde Baru di dalam masyarakat Indonesia. Budaya pemerintahan yang represif dan otoriter yang diwarisi dari masa Orde Baru masih akan tetap ada bersamaan dengan masih eksisnya Golkar yang pernah menjadi mesin penopang rezim Orde Baru di masa lalu. Begitupula dalam hal masih eksisnya tokoh – tokoh dan simpatisan Orde baru di masa lalu dalam percaturan politik Indonesia di masa yang akan datang akan memperkuat budaya politik warisan Orde Baru tersebut.

“sistem kekuasaan yang dibangun oleh Soeharto selama bertahun – tahun telah menjadi kultur baru dalam masyarakat yang sulit untuk dihancurkan. Tumbangnya Soeharto, tidak disertai oleh kehancuran total terhadap mesin – mesin penopangnya. Aparatus yang koersif (tentara) peninggalan Soehaerto tidak jatuh bersamaan dengan jatuhnya Soeharto.” (Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Bantul, 2004, h. 95-96.)

Di masa yang akan datang, Golkar yang dulunya adalah kendaraan penopang rezim Orde Baru diprediksi masih akan menjadi partai terbesar dalam parlemen setelah Pemilu 2009. Hal ini jika kita melihat fakta dalam Pemilu 2004 di mana Golkar ternyata masih memiliki taring dan tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara terbesar dalam Pemilu. Golkar diprediksi masih akan hadir dan berkompetisi dengan beberapa partai mapan lainnya, selain beberapa partai baru yang juga diprediksi berpeluang mengganjal langkah politik Golkar di DPR.

DPR dalam beberapa tahun ke depan mungkin masih akan sama dengan yang ada di masa sekarang. Setiap kelompok masih akan disibukkan dengan perdebatan – perdebatan alot di antara mereka yang membawa kepentingan partai semata. Perdebatan yang tentunya tetap tidak melahirkan solusi apapun bagi permasalahan yang sedang melanda bangsa ini.

Kondisi sistem politik yang seperti itu tentu menciptakan kekhawatiran bagi rakyat Indonesia mengenai kemampuan sistem tersebut menghasilkan suatu solusi bagi penyelesaian berbagai masalah di Indonesia. Hanya saja, kemajuan yang terjadi dalam kebebasan berpolitik di Indonesia tentu diharapkan dapat membantu bagi terwujudnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dan demokratis di masa yang akan datang.

Warna baru dalam proses demokrasi di Indonesia masa yang akan datang mungkin akan datang dari meningkatnya peran dari kelompok kepentingan. Perkembangan berbagai kelompok kepentingan, entah itu serikat – serikat pekerja, organisasi non-asosiasi, maupun Non-Governent Organisation (NGO) akan semakin pesat mengingat jaminan yang akan lebih terbuka bagi kebebasan berpolitk di Indonesia pada masa yang akan datang. Kelompok kepentingan inilah yang akan mengawal jalannya proses demokrasi di Indonesia dengan membawa dan mengaspirasikan kebutuhan – kebutuhan rakyat Indonesia akan kondisi demokrasi dan penghapusan ketidakadilan di Indonesia. Suara – suara lantang yang mereka dengungkan, baik dalam bentuk dukungan maupun tuntutan terhadap sistem politik yang ada, tentulah akan berpengaruh cukup besar dalam pembuatan dan perubahan kebijakan di Indonesia.

D. Dampak yang Akan Dirasakan Oleh Indonesia
Jika kondisi seperti yang digambarkan di atas terjadi itu tentulah akan berdampak bagi terhambatnya proses demokratisasi di negeri ini. Begitu pula dalam pembangunan dan perbaikan keadaan di beberapa bidang, khususnya bidang ekonomi akan ikut merasakan imbasnya. Masalah setidaknya muncul sebagai akibat tidak adanya formula kebijakan yang dihasilkan dan mampu memperbaiki kondisi dan tatanan bangunan perekonomian negara yang masih belum bisa bangkit sebagai buah dari krisis ekonomi tahun 1997.

Di bidang politik, khususnya dalam peran DPR yang masih belum mampu mengimbangi kekuatan eksekutif dalam sistem politik. DPR belum mampu untuk menjadi media penyampaian aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia. Sebagai buah dari adanya jaminan kebebasan berpolitik, yang mengembalikan sistem multipartai di Indonesia, maka Indonesia seharusnya mampu membangun demokrasi dengan lebih rapi. Akan tetapi kenyataannya adalah partai – partai yang ada malah lebih sibuk untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri dan melupakan aspirasi dan keinginan rakyat. Kondisi ini diprediksi masih akan berlangsung sampai beberapa tahun yang akan datang. Implikasi dari kondisi seperti ini adalah rakyat merasa diabaikan dan tidak dipedulikan oleh Pemerintah. Akibatnya adalah rakyat kehilangan kepercayaan dan merasa dihianati oleh Pemerintah.

Lalu dampaknya terhadap lingkungan luar negeri adalah kesulitan Pemerintah untuk meyakinkan masyarakat Internasional akan kondusifnya situasi di Indonesia. Kondisi dan proses demokrasi di Indonesia yang masih labil dan belum menemukan bentuknya yang ideal tentu akan membuat nama Indonesia menjadi buruk di hadapan negara lain. Akan tetapi, komitmen Indonesia untuk melaksanakan demokrasi setidaknya mendapat penghargaan tersendiri dari berbagai negara, walaupun belum dalam bentuknya yang ideal.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sejak awal masa Reformasi hingga sekarang, Indonesia masih sedang menata proses dan jalannya demokrasi. Akan tetapi, berbagai masalah dan hambatan untuk menuju ke arah terwujudnya sistem yang demokratis masih belum bisa dipecahkan dan ditemukan solusinya. Para tokoh negara ini masih belum menemukan bentuk ideal demokrasi yang tepat untuk diterapkan. Akibatnya adalah kondisi sistem politik yang tidak menentu dan menyebabkan terhambatnya berbagai proses pembangunan.

Kondisi perpolitikan yang tidak jelas, ditambah budaya politik warisan Orde Baru yang masih kuat mengakar di dalam sistem yang dianut bisa saja membawa negara ini kembali terjebak ke dalam sistem yang sama dengan apa yang pernah berlaku pada masa Orde Baru di masa yang akan datang. Apalagi, mesin – mesin penopang kekuasaan Orde Baru pada masa lalu masih eksis hingga sekarang karena mereka tidak hancur bersama kekuasaan Presiden Soharto ketika Reformasi melindasnya.

Kondisi ini tentu akan berdampak pada tatanan sistem dan lingkungan yang mempengaruhinya, baik itu lingkungan lingkungan domestik Indonesia dengan berbagai bidang di dalamnya, maupun dalam hubungannya dengan dunia dan masyarakat Internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Gregorius Sahdan. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Bantul: Pondok Edukasi.

Hariman Siregar. 2003. Gerakan Mahasiswa :Pilar ke-5 Demokrasi. Jakarta: Teplok Press.

Idris Thaha. 2004. Pergulatan PartaiPolitik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Miriam Budiardjo. 2003. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ronald H. Chilcote. 2004. Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma.
Jakarta: Rajawali Press.

S. Sinansari Ecip. 1998. Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto. Bandung: Mizan.


31 Desember 2006
(Tugas Sistem Politik Indonesia, Semester III)

0 comments: