Pages

Gerakan Zapatista: Teroris atau Belligerent ?

Tuesday, June 7, 2011 | at 1:29 AM

Wacana tororisme begitu marak ketika terjadi peristiwa 11 september 2001, peledakan gedung WTC (World Trade Center), meskipun istilah terorisme sudah berkembang sejak berabad lampau yang ditandai dengan beberapa kasus kejahatan dan pembunuhan serta ancaman untuk tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.
            Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.
            Dari beberapa aksi terorisme yang terjadi dekade terakhir, kebanyakan mereka melakukan untuk mendapat perhatian publik—bentuk ketiga. Rata-rata aksi yang mereka lakukan adalah bentuk ancaman atas ketidak-adilan yang mereka rasakan atas sistem atau pemerintahan yang sedang berkuasa. Hal itu terlihat jelas dari pola dan metode aksi yang mereka lakukan. Yang menjadi sasaran utama dari serangannya adalah tempat atau fasilitas publik yang memungkinkan untuk mendapat perhatian dari masyarkat global melalui liputan media massa.
            Namun, selain dari bentuk aksi terorisme, ada beberapa kelompok yang menyatakan diri sebagai kelompok perjuangan (belligerent) yang melakukan aksi-aksi demi perjuangan kelas atau kepentingan kelompok mereka. Tindakan yang mereka lakukan merupakan perjuangan/perlawanan kepada kelompok tertentu atau pemerintahan demi mendapatkan hak-haknya.
            Sekilas, belligerent nampak seperti gerakan terorisme karena kesamaan pola dan metodenya. Namun secara spesifik, belligerent lebih menekankan pada perjuangan kelompok tertentu atas tanah hidup mereka. Beberapa kelompok yang sering mengklaim diri sebagai belligerent yaitu Euzkadi Ta Azkatazuna (ETA) di Basque Spanyol, Tentara Pembebasan EZLN di Meksiko, dan beberapa kelompok lain yang cenderung mendeklarasikan dirinya.

Sekilas tentang Gerakan Zapatista  
Tentara Pembebasan Nasional Zapatista atau Ejercito Zapatista de Liberacian Nacional (EZLN) adalah kelompok revolusioner bersenjata. Kelompok ini bermarkas di Chiapas, salah satu provinsi termiskin di Meksiko. Basis anggota mereka sebagian besar adalah masyarakat adat. Namun, mereka juga mempunyai pendukung dari wilayah perkotaan seperti halnya dukungan jaringan internasional.
Banyak kalangan menganggap gerakan Zapatista merupakan revolusi pascamodern pertama. Nama Zapatista diambil dari Emiliano Zapata, seorang tokoh revolusi Meksiko. EZLN dibentuk pada 17 November 1983 oleh mantan anggota beberapa kelompok, baik yang berorientasi kekerasan maupun pasif. Mereka mulai dikenal masyarakat nasional maupun internasional pada 1 Januari 1994. Pada hari itu, NAFTA diberlakukan dan ditandai dengan keberhasilan awal menaklukkan pemerintahan Meksiko di kota-kota besar di Chiapas. Konflik bersenjata singkat di Chiapas berakhir dua minggu setelah pemberontakan dan tanpa menimbulkan konfrontasi yang meluas. Pemerintah Meksiko menggantikan kebijakan perang dengan mengerahkan kelompok-kelompok milisi dalam usaha mengendalikan pemberontakan. Secara bersamaan, Zapatista membangun suatu media kampanye melalui berbagai koran komunike. Secara berkala mereka mengeluarkan enam Deklarasi Rimba Raya Lacandon.

Zapatista, sebuah inspirasi
Hal yang unik dari gerakan Zapatista ini adalah serangan yang dilakukan pada 1 januari 1994 yang berhasil menaklukkan pemerintahan Meksiko, ternyata tidak bermaksud untuk merebut kekuasaan. Tapi aksi dan serangan mereka lakukan semata-mata untuk memberi bukti atas ketidak-sepakatan mereka atas serangan neoliberalisme yang ketika itu mulai menancapkan dominasinya di Amerika Latin secara umum dan tentunya Meksiko secara khusus. (hmm...patut dites di Indonesia)
Gerakan Zapatista ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak kelompok di berbagai belahan dunia. Hal yang juga sangat menarik adalah bagaimana Zapatista mengeluarkan seruan-seruannya ke masyarakat dunia melalui tulisan-tulisan yang mereka namakan komunike. Melalui komunike itulah Subcomandante Marcos, humas Zapatista, menuliskan pesan-pesan ke penjuru dunia menyerukan perlawanan atas neoliberalisme. Komunike ini pula yang sering mereka sebut dengan jargon ”kata adalah senjata”.
Meskipun EZLN atau tentara pembebasan zapatista adalah kelompok bersenjata, namun mereka tidak menggunakan senjata untuk membunuh ataupun menyerang fasilitas publik. Senjata yang mereka miliki semata-mata untuk menjaga keamanan kelompok bila sewaktu-waktu ada serangan dari luar. Karena titik tekan dari gerakan Zapatista adalah bagaimana memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Chiapas yang di rebut tanahnya oleh otoritas Meksiko. 
Dari beberapa hal diatas, menjelaskan bahwa gerakan Zapatista bukanlah gerakan teorisme tetapi lebih cenderung ke Belligerent melihat ciri dan aksi-aksi yang mereka lakukan. Karena sejatinya, terorisme adalah sebuah aksi penghilangan nyawa dan pengrusakan atas fasilitas publik, lain halnya dengan Zapatista yang melakukan serangan menggunakan Komunike bukan dengan senjata konvensional. Jadi, klaim bahwa gerakan Zapatista adalah adalah kelompok terorisme adalah salah. Sebab gerakan mereka murni memperjuangkan hak-hak dasar mereka dan tidak disertai ancaman dan teror.

Sistem Politik menurut Harold Lasswell


Menurut Harold Lasswell, politik adalah kegiatan masyarakat yang berkisar pada masalah-masalah “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how). Pengertian cakupan politik seperti itu memang tidak salah. Dalam kenyataan, persoalan politik selalu menyangkut siapa yang sedang mengejar apa. Kemudian juga kapan dan bagaimana yang dikejar itu dapat diperoleh. Sebagai misal, siapa saja yang ingin menjadi ketua partai? Kemudian kapan dan bagaimana kursi ketua partai itu dapat diraih? Dengan cara yang wajar atau tidak? Timing nya tepat atau tidak? Dan sebagainya. Peristiwa politik memang sarat dengan hal-hal seperti di atas. Siapa yang ingin menjadi anggota parlemen, gubernur, bupati, menteri, presiden, dsb., selalu menarik untuk dianalisis. Kemudian kelompok-kelompok politik mana saja yang mendukung siapa tersebut. Lantas masalah kapan dan bagaimana selalu merupakan masalah-masalah menarik yang menyertainya. Harold Lasswell menggunakan paradigma komunikasi dalam menjelaskan mengenai sistem politik. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
  1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)
  2. Pesan (mengatakan apa?)
  3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?)
  4. Komunikan (kepada siapa?)
  5. Efek (dengan dampak/efek apa?).
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu. Seperti halnya politik, yang merupakan suatu alat untuk mempengaruhi orang lain untuk mengikuti apa yang menjadi kemauan kita.

Analisis David Easton mengenai Sistem Politik
David Easton dalam bukunya A System Analisis of Political Life menyatakan bahwa sistem politik adalah keseluruhan interaksiyang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoritatif berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat.
Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Adapun untuk membedakan sistem politik dengan sistem yang lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri. Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang menyangkut publik. Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi sistem yang lain. Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.

Input, Output, dan Lingkungan dalam Sistem Politik
Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input yang berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber-sumber yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai (masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.
Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan. Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan lingkungan luar (extra societal).
Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan nilai-nilai liberal Barat dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang berkembang.

Analisis Sistem Politik mengenai Gabriel Almond
Pendekatan Struktural Fungsional Gabriel Almond
Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik, pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik. Mengenai fungsi politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan output.
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian yang objektif maka kita harus menempatkan sistem politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah pilihan politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas domestik dan internasional.
Analisis Struktural Fungsional dalam Sistem Politik
Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik, kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan.
Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan.

EKSISTENSI INDONESIA DALAM DEWAN KEAMANAN PBB (Penetapan Resolusi 1803 terhadap Iran)

 A. Latar Belakang Masalah
            Indonesia adalah salah satu negara yang menginginkan perdamaian juga dan keharmonisan dalam membina hubungan baik dan kerjasama dengan negara-negara lain di dunia. Begitupula dalam upaya untuk tetap menjaga ketertiban dunia dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bersifat Bebas-Aktif, Indonesia selalu berupaya untuk mengedepankan prinsip-prinsip kerjasama antar negara, dengan penekanan pada prioritas-prioritas kepentingan nasional Indonesia.
Peran sentral Indonesia dalam lahirnya gerakan Non-Blok adalah tinta emas betapa Indonesia pernah menjadi negara penting di kancah internasional. Umar menegaskan keterlibatan Indonesia dalam perdamaian dunia adalah mandat konstitusi. Menurutnya, keterlibatan Indonesia di kancah internasional tidak asal-asalan atau sekeder unjuk muka. Di samping sejarah peranan penting Indonesia pada masa lalu, saat ini Indonesia dilihat sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dengan karakter moderat. Di samping itu, Indonesia juga diakui sebagai salah satu negara paling demokratis ke-3 di dunia. Paling tidak kedua hal ini cukup membantu memberikan citra positif terhadap Indonesia yang bisa mengangkat kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia.[1]
            Dalam kasus nuklir Iran misalnya, posisi Indonesia sebenarnya sangat dilematis. Hal ini disebabkan di satu sisi tingkat ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara barat masih sangat tinggi, sedangkan di sisi yang lainnya, Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Posisi inilah yang membuat Indonesia memberikan dukungan yang bersyarat kepada Iran dalam program nuklirnya. Indonesia hanya mendukung Teheran sejauh program proliferasi nuklir tersebut hanya untuk kepentingan damai yaitu sebagai sumber energi alternatif. Pemerintah Indonesia tidak mendukung Teheran jika teknologi tersebut dikembangkan menjadi bom nuklir.
Dukungan kondisional Indonesia itu adalah untuk mencegah agar tidak teralienasi dari Barat. Sebaliknya, jika Jakarta menolak rencana Iran secara mutlak maka tindakan itu bisa menurunkan dukungan mayoritas umat Islam terhadap pemerintah. Disamping itu, mendukung proliferasi damai Iran juga memiliki dasar strategis karena Indonesia akan melakukan hal yang sama dengan tujuan yang sama. Kemudian, menolak mendukung Teheran akan menyulitkan Indonesia untuk memperoleh dana investasi segar bernilai sekitar 600 juta US dollar di sektor negeri sebagaimana yang disepakati dengan Iran.
Dalam konflik ini, Indonesia juga mengambil sikap menolak opsi atau aksi militer terhadap Iran. Pertama, karena Indonesia masih trauma dengan pretext yang dipakai untuk menyerang dan menduduki Irak yang ternyata tidak menemukan stok senjata pemusnah massal. Belum lagi, gerakan perlawanan global tidak mampu mengubah ambisi Bush menyerang Irak.[2] Indonsia kuatir kasus serupa bisa terulang pada Iran. Kedua, opsi tadi bisa berdampak negatif pada stabilitas domestik Indonesia. Ketiga, aksi tersebut bisa mempersulit upaya Indonesia untuk menjadi penengah dalam berbagai isu global akibat peristiwa 11 September 2001.
Posisi dan sikap di atas barangkali sudah berada pada titik yang optimal dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia. Pragmatisme tadi beresonansi dengan kredo lama kebijakan luar negeri Indonesia yang diperkenalkan oleh Bung Hatta tahun 1948 yang "bebas" dan "aktif". "Bebas" di sini tidak bermakna "netral" atau mengambil "jarak yang sama" dalam berbagi persoalan dunia, tetapi "aktif" dalam kontribusi menemukan solusi terbaik, tentunya dalam rangka kesinambungan dan kesejahteraan Indonesia.
Pada Maret 2008, dunia  dikejutkan ketika rancangan resolusi DK-PBB nomor 1803 untuk sanksi Iran. Resolusi 1803 tahun 2008 itu menambah sanksi terhadap Iran antara lain berupa penambahan larangan bepergian dan pembekuan aset para pejabat Iran yang terkait dengan program pengembangan nuklir serta menerapkan larangan bepergian terhadap mereka yang terlibat banyak dalam aktivitas pengembangan nuklir Iran.Dan untuk pertama kalinya, larangan untuk melakukan perdagangan dengan Iran juga akan diterapkan terhadap produk-produk untuk penggunaan militer maupun sipil. Sanksi juga akan mencakup pemberlakuan pengawasan keuangan terhadap dua bank yang dicurigai terlibat dalam kegiatan pengembangan nuklir sementara semua negara diminta untuk 'berhati-hati' memberikan kredit, jaminan ataupun asuransi kepada mereka. Selain itu, inspeksi juga akan dilakukan terhadap kapal-kapal yang dicurigai membawa barang terlarang baik dari maupun ke Iran.
 Resolusi DK PBB nomor 1803 yang disponsori Prancis dan Inggris itu disahkan dengan suara 14-0-1. Dari 15 anggota DK-PBB, 14 menyetujui, 0 menentang, dan 1 yang abstain, yaitu Indonesia. Indonesia saat ini adalah satu dari 10 anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk dua tahun ke depan. Sikap Indonesia ini tentunya dinilai secara ragam, bergantung pada siapa dan dari sudut mana menilainya. Sikap abstain ini cukup mengecewakan negara-negara besar anggota Dewan Keamanan PBB. Lobi yang mereka lakukan agar Indonesia ikut mendukung resolusi sanksi ketiga kepada Iran ini cukup intens dan mendesak.
Indonesia selalu berpandangan bahwa solusi damai melalui jalur diplomasi adalah penyelesaian atas segala non proliferasi nuklir. Selain itu, Indonesia juga mengakui hak semua negara untuk mengembangkan tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan oleh karenanya Indonesia percaya kepada Badan Enegri Atom Internasional untuk melakukan fungsinya untuk menverifikasi kegiatan-kegiatan pengembangan nuklir negara-negara anggota.
Alasan utama Indonesia untuk memilih "abstain" adalah bahwa resolusi itu mengabaikan laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang mengatakan bahwa Iran telah cenderung kooperatif dengan lembaga itu. Ketua badan tersebut, El-baradei, dalam banyak kesempatan telah menyampaikan hal itu dengan jelas. Indonesia menilai bahwa permasalahan nuklir Iran seharusnya diselesaikan melalui forum IAEA, dan bukan Dewan Keamanan PBB. Indonesia menyadari bahwa dari enam poin yang diprogramkan badan nuklir dunia, lima di antaranya telah dipatuhi Iran. Sehingga keluarnya resolusi tersebut dianggap sangat mengada-ada oleh Indonesia. Pengesahan resolusi DK PBB nomor 1803  maupun yang sebelumnya oleh sejumlah anggota Dewan Keamanan terhadap program nuklir damai Iran, tidak memenuhi standar minimum keabsahan dan ketentuan hukum. Sebagai contoh, ia menyebut bahwa isu program nuklir damai Iran dibawa ke Dewan Keamanan padahal Iran tidak melanggar perjanjian perlindungan komprehensif NPT (Traktat Non-Proliferasi Nuklir).[3]          
Langkah Indonesia yang memutuskan untuk memilih 'abstain', disayangkan oleh sejumlah anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk oleh Rusia seperti yang disampaikan oleh masing-masing duta besarnya, yaitu Vitaly Churkin, yang menyatakan menyayangkan tidak tercapainya konsensus.[4] Namun mereka menghormati posisi Indonesia tersebut. Indonesia menjadi barometer kepentingan mayoritas negara-negara di luar negara maju. Ditambah lagi dengan status sebagai negara muslim terbesar, peran Indonesia bagi dunia Islam sangat menentukan. Di DK PBB sendiri, Indonesia bukanlah satu-satunya negara berkembang dan negara berpenduduk muslim. Selain lima negara pemegang hak veto, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia,dan China, masih ada 10 anggota tidak tetap, yaitu Afrika Selatan, Libya, Vietnam, Belgia, Italia, Kroasia, Panama, Kosta Rika, dan Burkina Faso.
Di DK PBB Negara- negara berkembang,seperti Afsel, Vietnam, Kosta Rika, dan Burkina Faso justru terseret ke lingkaran negara-negara besar (pemegang hak veto) sehingga menyetujui keluarnya Resolusi 1803. Bahkan, Libya negara yang oleh Barat dianggap sama seperti Iran sebagai exis of evil kali ini justru berdiri di belakang AS.Hanya Indonesia yang muncul dengan opini berbeda atas isu nuklir Iran. sikap "non alignment" (ketidak berpihakan) kepada siapa dan atas tekanan siapaun dan sikap independensi dalam Resolusi DK PBB nomor 1803  adalah sikap negara Indonesia sebagai negara berdaulat. Sikap ini akan semakin menjadikan Indonesia sebagai negara besar untuk membangun martabat dan harga diri di mata internasional. sikap tegas dan independen Indonesia ini akan selalu menjadi dasar berpijak bagi siapa saja yang mengambil keputusan kedepan.
Dunia memang mengimpikan sebuah sikap yang tidak larut mengikuti arus kepentingan negara-negara kuat. Indonesia diharapkan mampu mempertahankan semangat Konferensi Bandung yang tidak terombang-ambing ke arah mana kuatnya angin bertiup.
            Berdasarkan pemaparan di atas dan melihat kondisi realitas aktual yang terjadi, maka penulis tertarik untuk mengangkat sebuah penelitian yang berjudul:
“Eksistensi Indonesia Dalam DK PBB: Penetapan Resolusi 1803 Terhadap Iran”

B. Batasan dan Rumusan Masalah
1.    Batasan Masalah
Lahirnya Resolusi DK PBB 1803 (2008) di tengah hasil-hasil positif yang dicapai dalam perundingan Iran-IAEA bukan disebabkan masalah legal dan teknis, tetapi karena tiadanya political trust dan perbedaan kepentingan strategis di Timur Tengah antara Iran dan Barat. Karena itu, abstain adalah sikap terbaik Indonesia terhadap Resolusi DK PBB 1803 (2008). Yang harus digarisbawahi adalah apa pun pilihan kebijakan luar negeri kita, seharusnya semuanya itu didasarkan pada kepentingan nasional. Jangan sampai national interest dikalahkan oleh tekanan pihak luar.Lebih penting dari semua itu, kesamaan pandangan antara pemerintah dan parlemen guna mengefektifkan politik bebas aktif. Presiden Ahmadinejaad dan rakyat Iran tentu tidak menutup mata atas apa yang telah dilakukan Presiden SBY dan masyarakat Indonesia terkait isu nuklir Iran. Buktinya, tak kurang dari 7 memorandum of understanding (MoU) berbagai proyek strategis ditandatangani kedua pemimpin.
2.    Rumusan Masalah
Dari bahasan yang telah penulis uraikan dalam latar belakang masalah, maka penulis merumuskan penelitian ini untuk menjawab pertanyaan:
1.    Bagaimana dunia internasional memandang Indonesia dengan kepentingan nasionalnya dalam masalah nuklir Iran?
2.    Apa tantangan Indonesia ke depan di DK PBB dengan sikap abstainnya pada Resolusi DK PBB nomor 1803 tentang nuklir Iran?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.    Mengetahui pandangan dunia terhadap Indonesia dengan kepentingan nasionalnya.
2.    Mengetahui tantangan Indonesia kedepan di DK PBB dengan sikap abstainnya pada resolusi DK PBB nomor 1803 tentang nuklir Iran.
2.    Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang.
2.    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi bahan kajian para penstudi Hubungan Internasional serta pemerhati masalah-masalah internasional.
3.    Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dan para pengambil kebijakan.

D. Kerangka Konseptual
Secara tradisional, hubungan internasional dikaji dengan memperhatikan aspek politik saja, lebih sempit lagi mengenai hubungan di antara negara-negara yang saling berinteraksi dan dampaknya terhadap mereka sendiri satu sama lainnya. Dalam hal ini, kita akan mencoba untuk mengkaji sebuah analisa mengenai eksistensi sebuah negara dalam sebuah forum yang berbaebntuk lembaga internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Suatu hal atau kajian yang sangat penting mengingat ini menyangkut prospek suatu negara, dalam hal ini Indonesia untuk mencitra positifkan dirinya di mata dunia internasional.
Apa yang kita saksikan bahwa akhir-akhir ini, pemerintah Indonesia nampak semakin meningkatkan keterlibatannya dalam upaya penyelesaian konflik-konflik internasional. Belum lama ini Indonesia bersama beberapa negara Muslim lain menyuarakan protes keras terhadap upaya penggalian komplek masjidil al-Aqsa yang dilakukan Israel. Adalah Indonesia yang mempelopori kerjasama antara Organisasi Koferensi Islam (OKI), negara-negara Liga Arab dan Gerakan Non-Blok (GNB) untuk mengeluarkan pernyataan bersama mengecam penggalian Israel atas pelataran masjid Al-Aqsa. Lebih jauh, Indonesia membawa surat protes tersebut ke meja Sekjen PBB.[5] Begitupula dalam upaya Pemerintah Indonesia mempelopori penyelesaian krisis yang terjadi akibat pengembangan dan pengayaan nuklir Iran.
Indonesia mengakui hak semua negara untuk mengembangkan tenaga nuklir untuk kepentingan damai. Indonesia selalu berpandangan bahwa solusi damai melalui jalur diplomasi, dan bukan penggunaan senjata adalah penyelesaian atas segala non-proliferasi nuklir. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia memilih untuk abstain dalam proses keluarnya resolusi PBB nomor 1803.
Pemerintah Indonesia berusaha untuk menempuh jalan damai mengingat besarnya dampak yang bias muncul akibat perang atau agresi yang mungkin jadi solusi bagi permasalahan ini. Hal ini tentunya senada dengan kekhawatiran mantan Sekretaris Jenderal PBB, Koffi Annan yang pernah menyampaikan bahwa untuk mereka yang merasa bahwa ncaman terbesar masa depan ketertiban internasional adalah penggunaan kekuatan senjata tanpa adanya mandat PBB.[6]
Langkah berbeda yang diambil oleh Pemerintah Indonesia ini tentunya menjadi citra tersendiri atas sikap dan kebijakannya. Apalagi, hampir keseluruhan anggota Dewan Keamanan yang lainnya menyatakan mendukung keluarnya resolusi tersebut. Dari fakta ini, kita dapat melihat bahwa Pemerintah Indonesia menjaga kepentingan nasionalnya di masing-masing pihak, baik itu di Iran maupun di sesame negara-negara anggota DK PBB, khususnya negara-negara pemegang hak veto.

E. Metode Penelitian
1.    Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode eksplanatif. Metode eksplanatif bertujuan untuk menjelaskan fakta-fakta maupun faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dan politik luar negeri Indonesia untuk bisa menampakkan eksistensinya di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti.
3.    Jenis Data
Dalam penulisan ini, peneliti menggunakan data sekunder dari berbagai literatur terkait. Adapun data sekunder yang dibutuhkan adalah data mengenai politik luar negeri indonesia, pengayaan nuklir Iran, dan mengenai resolusi 1803 PBB.

4.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis data kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan.
5.    Metode Penulisan.
Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deduktif, dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.




DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sihbudi, Riza.2007. Menyandera Timur Tengah, Kebijakan AS dan Israel atas Negara-Negara Muslim. Mizan, Jakarta.

Jurnal
Editorial.2008.Dari Indonesia Untuk Perdamaian Dunia, Center fo Religious & Cross-cultural Studies’ Jurnal, Episode 24,21 April 2008

Internet
http://resolusi 1803.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/5/ time/19
http://kapanlagi.com/resolusi/1803/tahun/2008/bulan/4/tgl/1/time/21

Koran
Republika, 3 Desember 2007. Indonesia, Solusi Peradaban Dunia.


[1] Editorial.2008.Dari Indonesia Untuk Perdamaian Dunia, Center fo Religious & Cross-cultural Studies’ Jurnal, Episode 24,21 April 2008
[2] Riza Sihbudi.2007. Menyandera Timur Tengah, Kebijakan AS dan Israel atas Negara-Negara Muslim. Mizan, Jakarta. Hal.148.
[3] Lihat di http://resolusi 1803.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/5/time/19
[4] Lihat di http://kapanlagi.com/resolusi/1803/tahun/2008/bulan/4/tgl/1/time/21
[5] Republika, 3 Desember 2007. Indonesia, Solusi Peradaban Dunia.hal. 8.
[6] http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.dikutip pada tanggal 3 Mei 2008 pukul 20.00 

Yang ini rencana masa depan yang nda jadi kukerja...
semuanya gara-gara intervensi penentuan judul skripsi dari Ketua Jurusan waktu itu.. 

KONFLIK INDONESIA-SINGAPURA MENGENAI REKLAMASI PANTAI


A.  Sekilas Konflik Indonesia-Singapura Mengenai Reklamasi Pantai
            Sebagaimana diketahui bahwa timbulnya persengketaan antara negara-negara tidak saja dipengaruhi oleh isu persilangan kedaulatan antara negara-negara dalam masalah teritorial tetapi juga isu ekonomi, politik, sampai environmentalis. Walaupun Konvensi Hukum Laut PBB telah diratifikasi pada 1982 di Teluk Montego, Jamaica pada 10 Desember 1982, namun pemecahan masalah mengenai perbatasan di lautan di berbagai kawasan selalu menemui jalan buntu. Dapat kita lihat pada contoh kasus Laut Cina Selatan yang dipersengketakan oleh beberapa negara di kawasan Asia Timur, dan yang hangat beberapa waktu lalu adalah sengketa Blok Ambalat di Perairan Sulawesi antara Indonesia dan Malaysia.
Sebagaimana masalah perbatasan di wilayah laut ini, maka kasus reklamasi pantai yang dilakukan Singapura dalam rangka memperluas wilayahnya, adalah merupakan fenomena yang akan mengganggu eksistensi perbatasan dengan negara yang berbatasan langsung, yaitu Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, masalah ini dapat mengganggu integritas teritorial negara sebab akibat perluasan wilayah itu maka perairan yang merupakan jalur internasional di Selat Singapura akan tergeser dan semakin sempit dan otomatis mempersempit pula perairan Indonesia di wilayah itu . 
Singapura merupakan negara dengan jumlah penduduk sekitar 4 juta jiwa yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa, pertumbuhan ekonominya yang sangat cepat menjadikan negara ini melambung diantara negara-negara ASEAN lainnya. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi ini, Singapura yang mengandalkan 63% industri jasa dan 27% barang produksi mengharuskan mencari alternatif dalam menambah wilayahnya yang terbatas untuk perluasan kawasan Bandara Internasional Changi serta kawasan Industri sekitarnya.
Dengan demikian, jalan satu-satunya yang dimiliki Singapura adalah dengan mereklamasi pantai-pantainya. Singapura melihat tanah sebagai salah satu kepentingan nasional yang utama. Negeri ini sudah sejak tahun 1960 memiliki rencana jangka panjang atas tanah ini. Cerainya mereka dari Malaysia di akhir tahun 1950-an dengan tanah yang kecil, membuat mereka menyadari betul keterbatasan dan arti penting tanah.[1]
Rencana tersebut muncul karena adanya pertimbangannya bahwa, jumlah pulau yang kecil. Kedua, antisipasi terhadap jumlah penduduk yang akan berkembang. Ketiga, pertimbangan ekonomi dan bisnis lainnya.[2] Untuk menindaklanjuti rencana tersebut, Singapura pun memulai reklamasi pada 1978. Sejak saat itu luas wilayah Singapura terus bertambah, sampai saat ini saja penambahan wilayahnya telah mencapai 100 km2. Dari data Koran TEMPO menyebutkan pada tahun 1990 luas negara Singapura adalah 580 km2, tapi peta pada tahun 2010 menjadi 760 km2, artinya bertambah 31% dibanding tahun 1990.[3]
Indonesia sebagai negara yang berdaulat, memiliki hak untuk mempertahankan setiap jengkal tanahnya. Hal ini sesuai dengan konsep wawasan nusantara, bahwa terdapat dua objek pandangan yaitu: objek pandangan dari dalam keluar (internal view point) dan objek pandangan dari luar ke dalam (internal view point), dua objek pandangan ini sama pentingnya.[4] Objek pandangan dari dalam keluar adalah objek pandangan terhadap berbagai persoalan yang menyangkut keutuhan wilayah Wawasan Nusantara itu sendiri. Sedangkan objek pandangan dari luar ke dalam yaitu objek pandangan yang khusus melakukan studi terhadap atau wilayah yang langsung berpengaruh terhadap eksistensi Wawasan Nusantara.
Dampak yang diraskan Indonesia sebagai dampak ditimbulkan dari adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh Singapura yaitu :
1.      Berkurangnya batas territorial Indonesia. Pasir yang yang digunakan oleh Singapura untuk mengadakan reklamasi adalah pasir yang diambil dari pulau-pulau kecil yang merupakan batas terluar negara Indonesia. Akibatnya pulau-pulau tersebut menjadi tenggelam, dan batas territorial yang digunakan oleh Indonesia menjadi hilang pula. Perbatasan adalah suatu garis riil atau imajiner yang menandai batas yurisdiksi tertentu suatu negara. Perbatasan teritorial atau sering disebut sebagai perbatasan politik, bersifat tiga dimensi yang mencakup daratan, perairan, dan ruang udara. Perbatasan dapat berbentuk:[5]
a.       Perbatasan alamiah (natural topographical) yang memiliki ciri-ciri fisik khusus seperti sungai-sungai, pegunungan, danau, pantai, pulau atau karang.
b.      Perbatasan buatan/artificial, seperti garis lintang dan garis bujur.
Dari kedua bentuk perbatasan tersebut, perbatasan alamiah dipandang lebih memuaskan dari pada perbatasan buatan. Akan tetapi perbatasan buatan yang dituangkan dalam traktat-traktat lebih menjamin ketepatan lokasi meskipun sering menimbulkan permasalahan lingkungan seperti pemisahan kelompok etnis, pembagian tanah adat, aliran sungai, maupun hak-hak tradisional.[6]
2.      Rusaknya ekosistem laut. Pengambilan pasir laut secara massal akan mengakibatkan tenggelamnya sebuah pulau, sehingga ekosistem laut yang berada di sekitarnya akan pula menjadi hilang.
3.      Hilangnya asset perikanan yang berada disekitar pulau tersebut. Hilangnya  ekosistem laut, otomatis akan menghilangkan potensi perikanan dan sumber laut lainnya yang berada di perairan tersebut.
Dari masalah reklamasi pantai ini, yang menjadi inti keberatan dari Indonesia adalah mengenai luas wilayah dan juga mengenai kedaulatannya sebagai negara kepulauan. Konsep kedaulatan merupakan sebuah langkah yang sangat penting dalam perkembangan negara modern. Munculnya ide kedaulatan memberikan status kesejajaran dan independen bagi setiap negara sebagai aktor dalam hubungan internasional, kedaulatan teritorial menjadi hak negara untuk mengontrol lingkungan domestik dan kepentingan internasional tanpa ada campur tangan dari negara lain. Mengenai kedaulatan teritorial negara, lebih lanjut Pareira mengemukakan:
Pengakuan kedaulatan berfungsi sebagai akta politik yang menjelaskan konsekuenasi legalitas hukum. Oleh karena itu, tema pembicaraan mengenai kedaulatan eksternal sebuah negara atau kedaulatan dari perspektif Hubungan Internasional, selalu harus melalui wilayah pembahasan politik terlebih dahulu sebelum menjadi suatu ketentuan hukum.[7]

            Namun, dalam batas-batas tertentu kedaulatan ini tunduk pada pembatasan-pembatasan jika bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam hukum internasional, sebagaimana yang dikemukakan oleh I Wayan Parthiana:
Pembatasan-pembatasan itu sendiri tidak lain adalah hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara lainnya. Suatu negara yang berdaulat tetap tunduk pada hukum internasional maupun tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lainnya.[8]

Cara penetapan perbatasan dilakukan berdasarkan:[9]
  1. Ketentuan-ketentuan tidak tertulis (kebiasaan)
  2. Ketentuan-ketentuan tertulis (traktat-traktat dan perjanjian)
Ketentuan tidak tertulis umumnya diperoleh berdasarkan petunjuk-petunjuk yang sifatnya praktis seperti ras, bahasa, cara hidup, kebudayaan yang berbeda atau ciri-ciri alamiah yang telah lama diakui sebagai batas tradisional, atau pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pengausa local, atau kepala adat/kepala suku. Perbatasan-perbatasan semacam ini pada dasarnya sulit untuk dijadikan sebagai bukti hukum jika terjadi sengketa, namun metode ini sangat kuat artinya untuk menunjang penetapan yang lebih akurat melalui ketentuan-ketentuan tertulis.
Pada ketentuan tertulis dipakai untuk lebih menjamin keakuratan batas-batas wilayah dan dapat dijadikan bukti hukum jika terjadi sengketa. Ketentuan-ketentuan tertulis umumnya berupa dokumen-dokumen, peta-peta, perjanjian-perjanjian perbatasan yang disusun berdasarkan hasil survey dan pemetaan yang seksama dan disusun dalam waktu cukup lama. Survey dan pemetaan perbatasan ini umumnya melibatkan dua belah pihak, dengan membentuk komite bersama seperti antara Indonesia-Papua New Guini yang dinamakan Join Technical Committee for Survey and Democration of the Boundary and Maping of the Border Areas. Guna menjamin keadilan dan menghindarkan salah penafsiran di kemudian hari.[10]
            Melihat dampak yang dirasakan, maka pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai hal guna mengatasi persoalan tersebut, diantaranya telah melakukan protes kepada pemerintah Singapura akan hal tesebut.

B.  Resolusi Konflik
Konflik yang melanda Indonesia dengan Singapura mengenai masalah reklamasi pantai merupakan konflik yang melanda kedua negara. Namun sejauh ini, masalah kedua negara belum sampai ke tahap mediasi pihak ketiga. Kedua negara masih mampu untuk menyelesaikan masalah ini bersama.
Indonesia telah melakukan kebijakan untuk memperketat ekspor pasir lautnya ke Singapura, sebab diduga banyak kapal Singapura yang melakukan pencurian pasir laut. Selain itu pengawasan kepada setiap kapal yang mengangkut pasir laut dari wilayah Indonesia ke Singapura.
Dari pihak Singapura, mereka tidak mengeluarkan kebijakan yang seketat Indonesia. Hal ini sangat beralasan sebab mereka sangat berkepentingan dalam hal pasir laut ini. Namun pihak Singapura sudah mau menanggapi protes yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia, dan mau bekerjasama dengan pihak Indonesia. Sebab pihak Singapura masih membutuhkan pasir laut dari Indonesia yang akan digunakannya untuk memperluas wilayah pantainya.


[1] Huala Adolf, Tragedi Sipadan-Ligitan Babak Kedua?, Kompas, Senin 14 Februari 2005
[2] Ibid.
[3]  Kronologi Larangan Ekspor Pasir Laut, http://www.geopangea.or.id/kliping/37.shtml, diakses 15 Januari 2005
[4]Sumitro L.S. Danuredjo, Hukum Internasional Laut Indonesia, Bharatara, Jakarta, 1971, hal. 34
[5] H. Mochtar Hasan, Hukum Tertulis Tentang Pengaturan Batas-batas Wilayah Negara, Proyek Pusat Perencanaan Pengembangan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993, hal.16-17)
[6] Ibid
[7]Ibid, hal. 96
[8]I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 60
[9] Ibid
[10] Ibid

Tugasnya orang-orang tua (Cakra Bastian, Rusdin, Andini Eka Putra, dan Aswin Baharuddin...hheheheeh *PEACE!!!) yang sempat nangkring di laptop-Ku...