Hampir sepuluh tahun lebih peristiwa kerusuhan rasial Mei 1998 di Indonesia masih juga belum ada titik terangnya, jangankan menghukum pelakunya, itikad penguasa untuk mengusut kasus ini bahkan tidak pernah terlihat. Tahun 2002 lalu, Committee for Human Rights in Indonesia beserta LSM lainnya yang berkedudukan di Amerika Utara telah melakukan peringatan dengan berkesinambungan atas kejadian tragis yang telah merengut nyawa, harta, mencoreng nama Indonesia di mata dunia, dan membawa krisis di Indonesia yang seakan tidak kunjung selesai itu.
Tragedy mana yang pada masa itu terjadi penjarahan dan pembakaran serta situasi destruksi yang sulit dipercaya oleh nalar sehat. Terlalu banyak pengalaman yang menunjukkan stigma bahwa kaum Tionghoa harus diperlakukan diskriminatif, dan diperas. Wajar saja jika kemudian banyak pihak, termasuk LSM yang berjuang untuk menuntut pertanggung jawaban pemerintah Indonesia terhadap tragedy tersebut. Setidaknya menuntut pemerintah mengakui bahwa pemerintah telah bersalah dan tidak sanggup melindungi rakyatnya dan diharuskan meminta maaf kepada keluarga korban.
Sementara itu, dua orang mantan presiden RI membuat reaksi yang kurang bijaksana antara lain; sewaktu mantan Presiden Habibie ditanya oleh Senator Mc Connell, di istana negara tentang bagaimana tindakan pemerintah terhadap kerusuhan rasial Mei’98 yang banyak menelan korban etnis Tionghoa, dan juga perkosaan terhadap wanita Tionghoa? Habibie malah marah dan menyangkal kejadian itu. Episode lainnya yaitu ketika Rebecca, dari Human Rights International menuntut pemerintah RI, dihadapan Presiden Gus Dur, ketika itu di Salt Lake City, untuk minta maaf kepada para korban dan keluarganya atas kegagalannya melindungi keselamatan rakyatnya. Gus Dur hanya bilang , “yah sudah lupakan saja”. Kalau presiden saja sudah takut, bagaimana lagi rakyatnya?
Ini adalah sebuah masalah besar bagi kita ketika tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada, apalagi menunjuk hidung orang-orang yang benar-benar bersalah. Telah banyak bukti dan saksi bahwa kerusuhan Mei 98 itu adalah perbuatan Elite politik. Tanpa keterlibatan ABRI, Soeharto dan pejabat Orba, tidak mungkin terjadi kerusuhan seperti itu, yang dampaknya sangat besar hingga masih terasa sampai sekarang.
Sementara itu, bagi Perempuan yang menjadi korban perkosaan pada tragedi Mei 98 lalu, semakin lama bukannya semakin mendapat titik terang untuk mendapatkan keadilan. Para korban ini justru semakin mendapatkan awan pekat karena kasus perkosaan yang mereka terima semakin gelap. Persoalannya ternyata bukannya kasus ini tidak bisa diungkapkan, namun komitmen untuk membongkar persoalan ini yang tidak ada, sehingga keadilan untuk para korban perkosaan ini memang benar-benar buram. Sementara itu pada satu sisi Kejaksaan pihak yang mempunyai kewenangan semakin tidak mampu dan tidak mempunyai komitmen untuk terus mengusut kasus ini.
Kemudian, siapakah yang mesti berperan dan bertanggungjawab dalam upaya mengungkap tragedi Mei 98 ini? Sangat tegas bahwa pengungkapan tragedi tersebut tidak terlepas dari peran negara. Negara adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas tragedi Mei 98 tersebut. Namun demikian tidak terungkapnya sejumlah kasus dalam tragedi Mei 98 hingga saat ini, dikarenakan negara memang tidak mempunyai komitmen untuk mengungkap kasus ini.
Kenyataan yang terjadi sekarang adalah ketakutan secara politik pemerintah sekarang untuk membongkar kasus-kasus tersebut. Kalau kasus tragedi Mei 98 diungkap maka akan membongkar konspirasi politik elit waktu itu dan akan menimbulkan resistensi kepada pemerintahan sekarang. Sementara itu, pemerintahan sekarang kebutuhannya adalah sebuah status quo tidak mau pemerintahannya yang baru berjalan akan digoyang secara politik. Dari kondisi ini maka yang terjadi adalah sebuah pertukaran kepentingan. Pemerintah yang baru tidak ingin tidak diganggu dalam menjalankan aktivitasnya, sedangkan pemerintahan yang lama tidak ingin kasusnya dibongkar kembali.
Saya lupa tugas ini dulu buat persyaratan apa..
Nda ada korelasinya sama HI (secara langsung) sama sekali..
lagi pula dikerja sembarangan saja waktu itu..

0 comments:
Post a Comment