Membicarakan Iran setelah Revolusi Islam 1989 adalah membicarakan sebuah negara yang berubah drastis dan radikal, khususnya dalam sistem sosial politiknya. Pasca Revolusi, Iran menjadi negara yang berbeda dengan sebelumnya ketika masih diperintah oleh Rezim Shah. Jika Rezim Shah merupakan “kawan dekat” Washington dengan berbagai proyek investasi dan neoliberalismenya di Iran pada masa lalu, maka Iran pasca Revolusi membaliknya seratus delapan puluh derajat. Iran sejak Revolusi Islam sampai sekarang menjelma menjadi negara yang sangat menakutkan bagi Amerika Serikat dan dunia Barat pada umumnya di Timur Tengah. Sejak runtuhnya Rezim Shah, investor – investor asing dan korporasi – korporasi multinasional Amerika dan Barat yang sempat memetik keuntungan berlipat – lipat akibat eksploitasi sumber kekayaan alam Iran kemudian diusir keluar dengan dispensasi US$ 30 juta. Setelah itu korporasi – korporasi tersebut dinasionalisasi dan dikelola oleh pemerintahan baru untuk kepentingan rakyat Iran sendiri.
Tindakan seperti itu jelas sangat menyinggung Amerika Serikat dan Barat yang sangat menentang intervensi negar dalam perekonomian, yang membuat akses mereka untuk sumber daya alam minyak Iran yang kaya menjadi terhambat. Iranpun kemudian menjadi lebih radikal lagi, khususnya terhadap Amerika Serikat setelah Pemerintah Washington selalu tidak adil terhadap negara – negara Timur Tengah. Kehadiran Israel di tanah Palestina, intervensinya di Mesir, Turki, Kerajaan Saudi Arabia, Kuwait, dan lain – lain membuat Pemerintah Iran tidak senang.
Itulah sekilas gambaran hubungan luar negeri Iran dengan Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, isu baru yang kemudian menjadi sangat sentral dalam kelanjutan hubungan kedua negara adalah isu pengembangan teknologi nuklir Iran. Isu ini menjadi sangat kontroversial karena negara – negara maju, dengan komando Amerika Serikat yang pada kenyataannya juga memiliki dan mengembangkan senjata nuklir menjadi pelopor utama penentang Pemerintah Iran yang tetap pada sikapnya dalam pengembangan teknologi nuklir tersebut.
Iran yang sejak Revolusi Islam, oleh Amerika Serikat dikategorikan sebagai negara “poros setan” bersama Libya dan Korea Utara karena radikalisme-fundamentalisnya berdiri tegak dengan alsan – alasannya yang tegas. Pemerintah Iran berpendirian bahwa pengembangan teknologi, termasuk teknologi nuklir adalah hak setiap negara dan warganya, dengan tujuan apapun. Pemerintah Teheran kemudian mempertegas tujuan pengembangan teknologi nuklir tersebut dengan berkali – klali mengatakan bahwa program nuklirnya untuk tujuan damai (aim to peace), akan tetapi, negara – negara barat, khususnya Amerika tidak bisa percaya begitu saja. Amerika Serikat dengan isu–isu yang dilemparkannya ke forum dan media – media internasional bahwa pengembangan nuklir Iran tersebut mengarah pada pengembangan senjata pemusnah massal yang (mass killer’s weapon) yang dapat menyebabkan security dilemma dan mengancam perdamaian di Timur Tengah. Ini bisa menyulut api perang, di mana kita ketahui bahwa kondisi Timur Tengah sedang labil akibat konflik Arab-Palestina yang masih terus berlanjut.
Iran sejak Revolusi Islam benar – benar menjelma menjadi ancaman yang nyata bagi kepentingan Amerika Serikat dan negara – negara Barat yang telah bertahan hampir seabad di kawasan Timur Tengah. Kita ketahui bersama bahwa negara – negara Timur Tengah menjadi penyuplai utama minyak bumi yang menopang tetap beroperasinya industri – industri di Amerika dan Eropa. Di kawasan itu juga, beroperasi banyak perusahaan – perusahaan Multinasional raksasa yang berbasis di Amerika dan Eropa untuk mengeksploitasi hasil bumi kawasan tersebut. Perusahaan – perusahaan tersebut tentunya memiliki peran penting dan menjadi penopang utama perekonomian negara – negara Barat.
Melihat berbagai kondisi di atas, dengan latar belakang sejarah di mana hubungan Barat-Iran yang tidak terlalu baik mengingat perbedaan ideologi yang sangat mendasar, kepentingan nasional negara – negara barat khususnya Amerika Serikat di Timur Tengah, latar belakang sejarah hubungan kedua negara pacsca-Revolusi Islam 1989 yang tidak pernahharmonis, dan berbagai alasan lain, maka wajar saja jika kemudian kehadiran Republik Islam Iran dan segala aktivitasnya di Timur Tengah kemudian berakibat pada sikap dan antipati Amerika Serikat terhadap “Negara Teuk” tersebut.
Pemerintah Iran kemudian semakin keras akibat berkembangnya kuantitas negara-negara yang menentang Washington. Hadirnya Aliansi Amerika Latin yang beranggotakan negara–negara korban percobaan kawasan neoliberalisasi ekonomi Washington jelas menikam jantung Amerika. Ditambah lagi perkembangan ekonomi China dan India yang mengancam ekspansi ekonomi Amerika Serikat di seluruh dunia. Terakhir, kebijakan Rusia yang mengindikasikan keinginannya untuk mengembalikan kekuatan Uni Soviet dalam persaingan global.
Yang pasti adalah, keberadaan Iran di Timur Tengah menjadi ancaman nyata bagi hegemoni dan kepentingan nasional Amerika Serikat yang bisa mengancam status quo negara adidaya tersebut. Amerika Serikat dan negara – negara barat bisa saja mengambil langkah yang benar, apalagi jika ini menyangkut kepentingan nasional negara mereka. Akan tetapi, Akan tetapi substansi masalahnya adalah benturan kepentingan, di mana upaya atau tindakan suatu negara untuk kepentingan nasionalnya dianggap mengancam kepentingan nasional negara yang lain.
Berbagai upaya diplomasi kedua negara kemudian memnjadi omongan tidak berharga karena ujung pembicaraan sudah dapat diterka bahwa kedua negara tidak akan pernah bersepakat, apalagi dengan perbedaan ideologi dan metodolgi dalam penerapan ideologi mereka masing - masing. Iran juga bukan negara yang lemah dalam power diplomacy-nya sehingga mudah diintervensi oleh negara lain, khususnya negara adidaya Amerika Serikat.
Imbalan untuk tulisan ini adalah sebungkus rokok Sampoerna, secangkir kopi, dan Nasi Kuning tengah malam dari seseorang karena kukerjakan tugasnya. hahahahaah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
maap bgt,, ini masukan yang bae-bae.. :)
saya udah baca, artikelnya cukup menarik,, tapi saya lihat ada kejanggalan..
- Membicarakan Iran setelah Revolusi Islam 1989 (seharusnya 1979 - pemberontakan mahasiswa
- Iran yang sejak Revolusi Islam, oleh Amerika Serikat dikategorikan sebagai negara “poros setan”
(Axis of Evil speech by Bush in 2002 bukan pada saat revolusi Iran 1979).
- Iran, Libya, Korea Utara bukan "Axis of Evil" (member states of Axis of evil are Iran, Iraq and North Korea).
Iran-Libya (called as Rogue States dan Terrorism list).
muftheism - mufti mcarthur
Ooo...iya,mas..
terima kasih atas koreksinya..
Mudah2an data yg salah tidak mengubah substansi tulisannya dan tetap relevan sebagai sebuah gagasan..
Terima kasih
Post a Comment