Hancurnya Liberalisme sejak masa kehancuran Wall Street yang dikenal dengan masa Depresi Hebat atau Great Depression hingga awal 1970-an, wacana negeri industri maju masih “dikuasai” wacana politik social demokrat dengan argument kesejahteraan. Depresi Hebat adalah masa ketika ekonomi Amerika Serikat dan seluruh dunia memburuk. Dimulai dengan Wall Street Crash tahun 1929. Harga-harga di pasar bursa Wall Street jatuh dari 24 Oktober sampai 29 Oktober 1929. Banyak orang yang miskin dan menjadi gelandangan. Di Indonesia sendiri masa Depresi Hebat ini disebut zaman malaise atau zaman meleset. Kaum elit politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga Negara dari bayi sampai meninggal dunia. Rakyat berhak mendapat tinggal layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pengobatan, dan berhak mendapatkan segala fasilitas-fasilitas social lainnya. Kemudian diadakanlah konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada 1944, setelah Perang Dunia II. Konferensi yang dikenal sebagai konferensi Bretton Woods ini bertujuan mencari solusi untuk mencegah terulangnya depresi ekonomi di masa sesudah perang. Pada awal Perang Dunia II ahli-ahli keuangan dari gabungan beberapa Negara menganggap bahwa setelah PD II akan membawa pengaruh akan adanya kebutuhan atas peraturan-peraturan mengenai kerja sama internasional untuk memecahkan masalah dalam hal moneter dan permasalahan keuangan lainnya. Dengan adanya beberapa pertemuan yang diselenggarakan oleh gabungan beberapa Negara, pada bulan Juli 1944 dari 44 negara mendirikan United Nations Monetary and Financial Conference di Hampshire, USA. Pada konferensi ini dicanangkan Anggaran Dasar yaitu dengan terbentuknya dua Lembaga Keuangan Internasional yaitu IMF (International Monetary Fund) dan IBRD ( International Bank for Development) kemudian lebih dikenal dengan World Bank.
1. INTERNATIONAL MONETARY FUND (IMF)
Ketika para negarawan Barat sedang berusaha menciptakan tata perdagangan internasional sesudah Perang Dunia II dalam bentuk GATT, mereka juga menciptakan tata moneter internasional melalui pembentukan International Monetary Fund (IMF) di Bretton Woods, New Hampshire. System perdagangan dan moneter liberal yang mewarnai kedua lembaga yang diprakarsai oleh AS itu sangat erat berkaitan. Tata ekonomi internasional liberal memerlukan arus kapital maupun barang yang bebas. Perdagangan tidak mungkin berkembang kalau arus finansial internasional dibatasi secara ketat. Ketidakstabilan tata moneter internasional dan kurang tersedianya kredit adalah penyebab kemerosotan perdagangan, peningkatan proteksionisme dan depresi selama dasawarsa 1930-an. Kalau Negara-negara yang menghadapi krisis defisit neraca pembayaran betul-betul menerapkan kebijaksanaan penyesuaian eksternal yang ketat, misalnya, maka tata perdagangan internasional liberal yang dirumuskan dalam GATT akan ambruk. Karena itu, para perancang IMF mencoba menciptakan tata moneter internasional yang bisa mencegah nasionalisme yang berlebihan (merkantilisme) dalam hubungan moneter dan perdagangan yang telah menghancurkan ekonomi internasional tahun 1930-an.
IMF memberi pinjaman pada Negara-negara anggotanya agar mereka bisa menangani persoalan defisit neraca pembayaran yang temporer. Dengan kredit itu diharapkan Negara-negara anggota IMF bisa menghindari penerapan kebijaksanaan penyesuaian internal maupun eksternal yang keras, yang bisa mengganggu ekonomi dalam negerinya, memperketat hambatan terhadap perdagangan internasional dan mengundang tindakan pembalasan dari pelaku-pelaku ekonomi di luar negeri yang dirugikan. Untuk Negara-negara anggota yang mengalami persoalan neraca pembayaran struktural, bukan sekedar temporer, IMF menyediakan pinjaman yang hanya bisa diperoleh sesudah Negara peminjam itu berusaha memperbaiki keseimbangan neraca pembayarannya melalui kebijaksanaan penyesuaian internal. Pinjaman ini bisa memperlunak dampak negative dari kebijaksanaan deflasioner dan sekaligus dimaksud agar Negara-negara yang bersangkutan tetap mampu menerapkan kebijaksanaan ekonomi di luar negeri yang liberal.
Dalam pengertian diagram segitiga alternative kebijaksanaan penyesuaian neraca pembayaran, IMF berusaha mendorong agar Negara-negara menjauhi kebijaksanaan penyesuaian ekternal dan menerapkan kebijaksanaan penyesuaian internal, melalui intensitas yang diberikan oleh peminjam IMF. Dana yang diberikan IMF lebih merupakan sarana pemaksa agar peminjam menerapkan tindakan penyesuaian internal yang selalu merepotkan Negara yang menerapkannya daripada sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah deficit neraca pembayaran. Pembatasan pembayaran dari IMF yang sangat ketat dimaksud untuk mencegah agar anggota –anggotanya yang mengalami defisit neraca pembayaran yang kronis tidak terus-menerus menggantungkan diri pada dana IMF itu.
Tata moneter internasional yang sekaraqng berlaku sebenarnya sudah berbeda dari konsep asli yang dirancang dalam konperensi Bretton Woods. Dalam 15 tahun eksistensinya, IMF tidak banyak dimanfaatkan. Negara-negara besar Eropa dan Jepang merasa perlu menerapkan pengendalian mata uang dan perdagangan mereka secara ketat karena keharusan membangun kembali ekonomi mereka yang rusak akibat Perang Dunia II. Sebelum 1958, mereka tidak bersedia membiarkan mata uang mereka dipertukarkan secara bebas ke mata uang negara lain. Dalam system Bretton Woods perubahan kurs ternyata traumatik secara politik maupun ekonomis. Negara-negara memandang devaluasi sebagai indikator kelemahan dan kegagalan, dank arena itu dicegah. Kurs menjadi jauh lebih kaku dari pada yang diperkirakan oleh para pendiri IMF. Kalau toh Negara-negara dipaksa oleh kekuatan pasar untuk mendevaluasi mata uang mereka, devaluasi itu biasanya dilakukan tanpa konsolidasi dengan IMF, karena perundingan dilakukan sebelum devaluasi bisa mengundang spekulasi yang hebat sehingga merugikan mata uang yang melemah itu di pasar uang internasional.
Cheryl Payer menyatakan bahwa fungsi-fungsi IMF dalam system-sistem perdagangan global yang dikuasai oleh Dunia Pertama pada dasarnya merupakan suatu “instrument yang dipilih untuk menerapkan disiplin financial khas imperialis terhadap Negara-negara miskin”. Sehingga menciptakan apa yang disebutnya sebagai “penciptaan pion-pion internasional” atau perbudakan utang dimana masalah-masalah neraca pembayaran yang melilit Negara-negara berkembang justru diperparah, bukannya diatasi seperti yang sering didegung-degungkan. Payer selanjutnya menyatakan bahwa sebenarnya IMF mendorong negara-negara berkembang untuk terus menarik tambahan utang eksternal dari lembaga-lembaga financial internasional dan sekaligus “memeras” mereka (melalui ancaman penolakan atau penghentian arus-arus pinjaman baru) untuk melaksanakan program-program stabilitas yang sebenarnya bersifat anti-pembangunan. Tambahan beban utang ini selanjutnya menjadi sumber masalah neraca pembayaran di masa-masa mendatang sehingga terciptalah suatu lingkaran setan yang tidak habis-habisnya yang mengakibatkan Negara-negara Dunia Ketiga yang memiliki utang luar negeri tersebut tidak akan kunjung mampu mencapai suatu kemajuan yang berarti.
Para pengamat yang tidak seradikal Payer juga menganggap IMF bukan merupakan suatu agen pembangunan, tidak juga tidak bersifat anti-pembangunan seperti yang didakwakan oleh Payer, melainkan sekedar suatu lembaga yang mencoba melaksanakan mandat aslinya, meskipun sampai batas-batas tertentu mandate tersebut sudah kadaluarsa, seperti misi mempertahankan pasar kapitalis global dan menerapkan kebijakan-kebijakan financial internasional yang terlampau berjangka pendek serta terlalu ortodoks. Menurut mereka, tujuan utama IMF adalah memelihara suatu system pertukaran internasional yang secara khusus dirancang untuk mempromosikan aneka kerja sama moneter, mengembangkan perdagangan internasional, mengendalikan inflasi, memupuk stabilitas nilai tukar dan ini paling penting membantu semua Negara untuk mengatasi masalah-masalah neraca pembayarannya dalam jangka pendek melalui penyediaan sumber daya devisa yang sangat langka itu. Celakanya dalam lingkungan perdagangan dunia yang serba tidak adil seperti sekarang ini, masalah-masalah neraca pembayaran yang dihadapi oleh Dunia Ketiga sebenarnya bersifat structural, mendasar, dan berjangka panjang. Itulah sebabnya kebijakan-kebijakan stabilitasi yang berjamgka pendek seperti yang sering dipaksakan oleh IMF tidak akan membuahkan hasil-hasil yang memuaskan, bahkan sebaliknya bisa-bisa mengakibatkan krisis pembangunan berjangka panjang yang lebih parah lagi. Sebagai contoh antara tahun 1982 dan 1988, strategi IMF telah diuji di 28 dari 32 negara berkembang di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Kesimpulannya mudah ditebak, yakni strategi IMF itu gagal mencapai tujuannya. Selama periode tersebut Amerika Latin telah menghabiskan devisa senilai US$145 miliar untuk membayar kembali utang-utangnya, namun perekonomiannya justru mengalami stagnasi, pengangguran melonjak, dan pendapatan perkapitanya merosot hingga 70 %. Negara-negara ini telah melaksanakan upaya penyesuaian dan program-program stabilitas seperti yang disarankan oleh IMF, namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi mereka tidaklah segera berkembang seperti yang diharapkan.
2. BANK DUNIA (WORLD BANK)
Bank dunia didirikan sebagai Lembaga Investasi Internasional jenis baru untuk memberikan atau menjamin kredit-kredit yang ditujukan untuk proyek-proyek rekonstruksi dan pertumbuhan yang produktif. Dana untuk itu berasal dari modal Bank Dunia sendiri, yang terdiri dari kontribusi pemerintah Negara-negara asing dan melalui mobilisasi modal swasta. Modal saham Bank Dunia disusun sedemikian rupa sehingga setiap resiko dalam melaksanakan kegiatannya dibebankan kepada Negara-negara asingnya dengan berdasarkan kekuatan ekonomi mereka masing-masing.
Bank Dunia ini (IBRD) bersama The International Finance corporation (IFC), International Development Asociation (IDA), Multilateral Investment Guarantee Agancy (MIGA), dan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), mereka disebut kelompok Bank Dunia. Kelompok ini memberi pinjaman pada Negara sedang berkembang dengan tujuan memerangi kemiskinan dan mendorong timbulnya investasi internasional
Meskipun terjadi peningkatan secara dramatis dalam luas dan jumlah penanaman modal swasta di Negara-negara berkembang, tetapi ternyata Bank Dunia tetap menjadi pialang paling penting dan merupakan sumber keuangan bagi banyak Negara dan sector. Naiknya penanaman modal swasta itu sendiri semakin menunjukkan kelanjutan peran Bank Dunia sebagai pialang kebijakan informasi dan gagasan. Laporan tahunan Bank Dunia tahun 1995 menyebutkan, “di banyak Negara, peran Bank Dunia mulai bergeser dari penyedia modal utama menjadi sumber penyedia jasa-jasa yang berhubungan dengan jaminan peneneman modal, koordinasi bantuan, bantuan teknis, nasehat makro ekonomi dan sektoral”.
3. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
WTO dibentuk dengan maksud untuk memperbaiki dan memperlebar lingkup GATT terhadap produk, sector, dan kondisi perdagangan yang tidak wajar. WTO adalah badan yang bertugas mengimplementasikan perjanjian bagi berbagai jenis perdagangan atas barang dan jasa serta masalah proteksi hak milik intelektual yang berkaitan dengan perdagangan. WTO hanya tersedia bagi Negara anggota GATT dan yang menyetujui semua perjanjian yang dihasilkan putaran Uruguay yang harus memberikan jadwal serta komitmen akses pasar atas barang-barang industri, hasil pertanian dan jasa. Hal ini dimaksudkan unutk mengatasi kekurangan dari system yang kini berlaku. WTO ini lebih bersifat permanent dengan wewenang yang lebih besar dalam mengawasi perdagangan dunia dan memenuhi friksi dagang. Lembaga WTO ini akan sederajat dengan Bank Dunia World Bank) dan dana Moneter Internasional (IMF).
Dengan terbentuknya WTO menggantikanGATT di Maroko beberapa tahun yang lalu, dunia akan memasuki era baru pada abad 21, yaitu era globalisasi perekonomian dan liberalisasi perdagangan dunia. Artinya bagi semua pengusaha nasional, kecil maupun besar dan disemua sector-sektor ekonomi, persaingan baik di pasar domestic maupun di pasar global akan semakin ketat. Belakangan ini mulai sering terdengar keluhan-keluhan dari banyak lapisan-lapisan masyarakat, termasuk juga dari kalangan pengusaha besar, bahwa Negara berkembang belum siap menghadapi perubahan tersebut. Bahkan banyak orang sangat pesimis mengenai prospek pengusaha kecil/lemah dalam menghadapi era perdagangan bebas dunia.
Persetujuan putaran Uruguay dalam GATT 15 Desember 1993 di Geneva dan terbentuknya WTO di Maroko 1994 dimaksudkan antara lain untuk diadakannya liberalisasi perdagangan dunia yang bebas dan adil. Intinya pangsa pasar suatu komoditi semata-mata ditentukan oleh keunggulan komoditi tersebut secara ekonomi. Tidak ada lagi hambatan tariff atau hambatan “proteksi” lainnya bagi masuknya suatu komoditi ke suatu Negara. Namun persetujuan GATT/WTO saat ini tidak langsung diterapkan sekaligus melainkan ada tenggang waktu dan belum mencakup semua komoditi.
Tujuan yang hendak dicapai melalui GATT/WTO adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat dunia. Hal ini dapat tercapai karena kesepakatan GATT/WTO diharapkan mampu mendorong meningkatkan volume perdagangan internasional yang lebih efisien. Peningkatan volume perdagangan tersebut akan mendorong peningkatan produksi dan investasi yang selanjutnya memperluas lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat, baik secara total di dunia maupun di masing-masing Negara terlibat.
Selain kerugian terhadap ekonomi makro yang akan dialami oleh banyak Negara-negar berkembang seperti yang diduga sebelumnya, pemberlakuan GATT/WTO tersebut hamper pasti dapat menimbulkan dampak negative bagi sector industri manufaktur nasionaldan sector-sektor ekonomi lainnya yang tidak efisien atau yang terutama tidak memiliki keunggulan kompetitif. Kelompok industri kecil merupakan salah satu bagian dari sector industri manufaktur nasional yang akan menerima dampak negative langsung dari pemberlakuan WTO tersebut. Hal ini disebabkan karena pada umumnya industri kecil, terutama dari golongan tradisional yang disebut industri rumah tangga. Di berbagai Negara berkembang mengalami berbagai macam kendala yang semua itu mengakibatkan tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitifnya sangat rendah. Kendala-kendala yang dihadapi banyak pengusaha kecil itu terutama keterbatasan modal; lemah dalam penguasaan teknologi; tingkat SDM (termasuk managerial skills) yang rendah; keterbatasan akses ke informasi mengenai peluang dan perubahan pasar, perubahan teknologi, dan peluang-peluang untuk melakukan kemitraan; jiwa kewiraswastaan yang lemah; dan etos, motivasi dan tingkat disiplin kerja yang rendah.
Dampak positif maupun negative dari persetujuan GATT/WTO terhadap usaha kecil menengah dapat dalam bentuk pengaruh terhadap volume ekspor (persaingan pasar global) dan pengaruh terhadap volume penjualan di pasar dalam negeri (persaingan dari barang impor). Apabila dampak tersebut positif (negative), berarti industri kecil akan mengalami peningkatan (penurunan) volume ekspor atau penjualan di pasar domestic.
Dampak dari semakin terbukanya pasar global itu berarti bahwa semakin ketatnya persaingan di dalam perdagangan internasional. Alasan-alasan setuju terhadap perdagangan bebas sangat bervariasi, tetapi secara garis besar mereka beranggapan bahwa dengan adanya perdagangan bebas maka: pasar ekspor semakin luas atau dapat lebih mudah memasarkan barang-barang produksi Negara berkembang di pasar global, karena persaingan yang lebih ketat maka kualitas dan mutu barang produksi , efisiensi perusahan nasional, dan kualitas SDM dapat meningkat, dan supply bahan baku dan barang modal serta penolong yang dibutuhkan dan masih harus diimpor lebih lancer. Sedangkan alasan-alasan yang tidak setuju secara garis besar adalah pada masalah kurang siap dalam menghadapi persaingan yang tentu akan sangat kuat pada saat perdagangan bebas dunia nanti. Dampak dari diberlakukannya perdagangan bebas nanti terhadap industri kecil dan rumah tangga kemungkinan akan lebih kecil dari yang diduga sementara.
4. UTARA-SELATAN
Ketatnya persaingan di dalam perdagangan internasional menyebabkan terbentuk dua kelompok Negara yang biasa diistilakan sebagai kelompok utara dan selatan atau denganh kata lain Negara maju dan Negara berkembang, yang pada akhirnya menyebabkan adanya ketimpangan antara dunia utara dan selatan. Ketimpangan tersebut dapat kita lihat pada beberapa pion-poin berikut:
1. Financial / capital flow
Berangkat dari dasar penguasaan modal tentulah bahwa yang keluar sebagai pemenang adalah kelompok Negara utara/maju sehingga Negara selatan dapat didikte oleh segala kebijakan Negara maju dengan kata lain modal Negara berkembang diatur oleh Negara maju.
2. Alih/transfer teknologi
Dengan modal yang tinggi menyebabkan Negara maju mudah untuk meningkatkan penguasaan teknologi yang mutakhir dan canggih sedangkan Negara berkembang boleh diktakan hanya sebagai pemakai/konsumen dan tidak mampu untuk untuk menguasai teknologi akobat keterbatasan modal.
3. Human Recources
Keterbatasan ekonomi atau karena keterbelakangan ekonomi menyebabkan banyak rakyat dari Negara berkembang berimigrasi ke Negara maju untuk mendapatkan pekerjaan, dan ini akan mendatangakan keuntungan bagi Negara maju karena mereka mendapatkan tenaga kerja yang murah dengan tingkat upah yang rendah, tetapi bagi kaum imigran ini sudah lebih dari cukup dibandingkan standar hidup di Negara asalnya.
4. Natural Recources
Kurangnya tenaga ahli, modal, dan teknologi menyebabkan Negara berkembang tidak mampu mengelolah hasil buminya hingga mau tidak mau dengan adanya tawaran dari Negara maju untuk bersedia mengolahnya kemudian pengolahan SDAnya dipercayakan kepada Negara maju dan Negara hanya menunggu hasil. Dalam hal ini secara tidak langsung Negara maju datang untuk menguras alam di Negara berkembang.
5. TNC/MNC
Munculnya berbagai macam TNC dan MNC di berbagai Negara berkembang merupakan salah satu dampak dari globalisasi ekonomi yang bebas. Hal tersebut dikarenakan mutu dari produk-produk domestic tidak mampu bersaing dengan baranag impor sehingga produk dari TNC dan MNC cenderung diminati oleh masyarakat dan mampu bersaing di pasar dunia.
6. Trade / Market
Actor yang menguasai pasar dalam perdagangan dunia sudah tentu adalah milik para Negara maju, hal tersebut dikarenakan penuasaan strategi pasar, penguasaan modal dan daya saing yang tinggi, sehingga Negara berkembang hanya sebagai tempat pemasaran dari hasil produk-produk Negara maju. Jadi arus pemasaran ditentukan oleh Negara maju yakni dari Negara maju menjual produknya ke Negara berkembang dan keuntungan dari hasil perdagangan kembali lagi ke tangan Negara maju.
*Gara-gara pergi naik gunung, jadi tugas ini dikerja asal-asalan dalam semalam yang melelahkan. Jadi mohon maaf kalau agak ngawur dari segi apapun... hehehehe
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment