Pages

Resensi Buku : Hidup di Atas Patahan

Wednesday, January 9, 2013 | at 5:26 AM

Judul Buku   : Hidup di Atas Patahan
Penulis          : Anwar Jimpe Rahman
Penerbit        : Insist Press
Bulan/Tahun : November 2012
ISBN/BAN  : 978-602-8384-55-1
Tebal Buku   : cover + iv + 110 Halaman
                                                            
Merubah dari Bawah; cerita yang diulang[1]
Oleh : S. Idris[2]

Tulisan ini sebenarnya jauh dari “layak” untuk disebut sebagai resensi buku. Alasannya sederhana, saya sama sekali telah melupakan pelajaran sekolah dulu mengenai syarat-syarat sebuah resensi buku. Ketika tulisan ini dibuat, saya memutuskan untuk tidak mencoba mengingat lagi atau sekedar mencari tahu lebih jauh persoalan syarat-syarat tersebut dan memilih melanjutkan saja tulisan singkat ini. Misinya: melanjutkan niat sederhana penulisan buku yang sedang dibahas ini, semoga kita bisa saling belajar.[3]   
Adalah sebuah kehormatan besar bagi saya secara pribadi mendapat kesempatan untuk menuliskan sebuah resensi (kalau bisa disebut begitu) bagi buku pertama Anwar Jimpe Rahman (Kami terbiasa memanggil dengan sapaan akrab, Kak Jimpe). Sms Kak Jimp Selasa siang, 30 Oktober 2012, “Bisako bikin resensi Hidup di Atas Patahan? Mau ditayangkan di http://makassarnolkm.com..:-)”. tanpa pikir panjang langsung kubalas, “Iye’, kak.. Sy usahakan”. Beberapa saat kemudian barulah saya dipusingkan saling sambungnya tulisan Kak Jimpe ini dengan kajian dan bacaanku di mana? Paradigma Ilmu Hubungan Internasional mainstream yang kugeluti, biasanya menempatkan para tokohnya di sebuah tahta di awan untuk mengamati dan menjelaskan berbagaai peristiwa dan kejadian besar di muka bumi (itupun dengan syarat harus lintas batas negara) kemudian dihadapkan pada sebuah cerita berparadigma grassroot yang jarang diperhatikannya padahal secara langsung maupun tidak langsung menjadi implikasi dari aksi dan kebijakan yang lahir dari penjelasannya.
***

Buku ini dengan bahasa ringan menarasikan mengenai pengalaman dan perjuangan penanganan (pencegahan) bencana di tiga lokasi, Bengkulu Utara, Sinjai, dan Maluku Tenggara. Tulisan ini tentu tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai bencana yang disebabkan oleh paradigma, struktur dan mekanisme kerja dunia dan institusinya yang memang kacau balau. Hal itu memang tidak dibahas di buku ini. Buku ini menceritakan heroisme dan perjuangan inspiratif dari orang-orang dan lembaga-lembaga akar rumput yang “bergerilya” tak kenal lelah menemukan solusi pencegahan bencana di daerah basis kegiatan mereka.
Tiga hal menarik (dari perspektif ku) yang wajib untuk dikabarkan dari buku ini adalah heroisme para penggiat basis ini, peran negara dan birokrasinya yang rumit, dan gerakan atau inisiatif rakyat itu sendiri. Pertama, saya ingin memberikan klaim bahwa aktivitas para penggiat dan pemerhati masalah akar rumput ini adalah sebuah bentuk heroisme yang langka. Tidak banyak orang yang mau menghabiskan waktu dan energinya untuk bahkan sekedar besaling-sapa dan mendengar keresahan orang kecil. Tapi mereka, nama-nama yang banyak disebut di buku ini, bersama dengan masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintahan yang peduli mau mengambil tanggung jawab besar dengan merancang sebuah formula bagi pencegahan bencana di lokasi-lokasi basis aktivitas mereka.
Lihat saja apa yang dilakukan Nurkholis Sastro dan Hambali di Bengkulu Utara, salah satu daerah yang paling rentan gampa dan tsunami di Indonesia. Sastro, dalam naungan Warsi –sebuah lembaga pemerhati lingkungan— telah beraktivitas selama tiga tahun dalam mendampingi Desa Pondok Kelapa dan Kecamatan Lais untuk upaya-upaya pencegahan bencana. Bersama dengan Sastro, Hambali dan lembaga Mitra Aksi yang dibentuknya berjuang memasukkan materi kebencanaan sebagai mata ajar muatan lokal di dalam kurikulum pendidikan di Bengkulu Utara.
Cerita dari Sinjai kurang lebih senada. Ada sosok Pak Daming, pembiak tanaman organic dan pengajar di SMP Satap Tassoso, yang menjadi “rekan” lokal tim Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Payo-Payo yaitu Agung, Dedy, dan Imran. Tim tersebut berbasis di Makassar dan butuh waktu tempuh lebih kurang lima jam dan jarak 200-an kilometer untuk mencapai Sinjai, lokasi aktivitas mereka setiap pekannya. Selain soal jarak dan waktu tempuh, persoalan birokrasi juga menjadi tantangan lain bagi usaha tim PRB Payo-Payo ini bersama dengan kepentingan politik yang sangat acak dan momentum Pilgub Sulsel.
Sedangkan di Maluku Tenggara, ada cerita perjuangan Fritz Elmas dan Uly dari Yayasan Nen Mas Il (YNMI), bersama Pak Nor, Edo Rahail, dan Pieter Elmas untuk menjamin kelangsungan bagi tersedianya sumber air pulau-pulau atol (karang) provinsi itu. Kisah suksesnya adalah mereka berhasil menarik simpati lembaga legislatif, DPRD Maluku Tenggara hingga mampu terus mendesak pemerintah daerah untuk memperhitungkan aspek kearifan lokal dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat maupun pemerintah. Meski tetap saja mereka mendapat tantangan dari paradigma proyek pemerintah dan seringnya tidak nyambung dengan kebijakan pemerintah pusat.
Semua cerita-cerita tersebut menjelaskan bahwa ada sekelompok manusia yang memang memiliki niat untuk bekerja dan belajar bersama orang kecil dan membuat perubahan-perubahan sederhana namun bermakna. Kisahnya sangat kecil kemungkinan untuk dikabarkan jika mengharapkan media massa untuk melakukannya. Media cenderung mengangkat berita tentang bencana ketika dia telah terjadi dan membawa korban –istilah buku ini “paradigma keperistiwaan”, bukan menyorot cerita sukses pencegahan dan pembangunan pola pikir baru berdasarkan kearifan masyarakat setempat.
Kedua, mengenai persoalan peran negara dan birokrasinya yang sangat rumit menjadi kendala dan tantangan tersendiri bagi para hero dalam buku ini. Menyoroti peran negara, tiga hal penting yang bisa dicatat dalam buku ini yaitu : kapasitas negara (pemerintah) yang tidak mengenal dan memahami daerah dan wilayahnya bergelut dengan keangkuhan pemerintah pusat, paradigma proyek pemerintah dalam menjaankan tugas kenegaraan dan kesan lepas tangan dari masalah bencana pasca-proyek, dan tentu saja birokrasi yang rumit dan berbelit.
Cerita di Sinjai dan Maluku Tenggara mungkin bisa mewakili catatan pertama. Tahun 1980-an, pemerintah mencanangkan program berlabel “Sejuta Pinus” di daerah Kompang, Sinjai yang memiliki tingkat kemiringan tinggi. Bagi pemerintah, program tersebut bisa berarti sebagai upaya pemberdayaan lahan yang ditinggalkan warga akibat pemindahan paksa pemukiman ke tepi jalan untuk kepentingan strategis pengawasan militer lebih kurang 20 tahun sebelumnya. Selain itu, tentu saja getah pinus merupakan komoditas berharga bagi pengusaha karet nasional kroni Orde Baru masa itu. Namun demikian, dampaknya baru terasa sejalan 20 tahun program tersebut ketika daerah Kompang yang tingkat kemiringannya tinggi tersebut menjadi neraka akibat longsor pada tahun 2006 silam.
Membandingkan ide “Sejuta Pinus” pemerintah dan argumen orang kecil seperti Pak Asikin Pella, nampak tidak fair. Meski demikian, ada logika lain yang terbangun dalam ucapan Pak Asikin, bahwa sesungguhnya pohon pinus merupakan tumbuhan yang bisa merubah siklus air dikarenakan struktur akar tunggangnya yang menancap dalam ke tanah. “Dengan begitu, tanah menyerap air, yang dengan demikian sewaktu-waktu air tertampung banyak sehingga menyebabkan retak/pecahnya tanah” kata Pak Asikin.[4]
Kurang lebih senada, Kepulauan Kei di Maluku Tenggara yang terbentuk dari pulau-pulau atol kini harus menghadapi ancaman kekurangan air bersih akibat pertumbuhan populasi dan pemukiman berikut semakin dibukanya lahan hutan. Sementara itu, pemerintah meresponnya dengan mengirimkan bibit jati putih yang merupakan tanaman penyerap air yang banyak. Padahal, sudah sejak lama Kei dikenal sebagai penghasil kayu besi terbaik. Blunder pemerintah ini bisa saja menspekulasikan berbagai motif, namun tetap perlu pembuktian lebih. Hal terpenting yang bisa dipetik dari cerita ini bahwa pemerintah masih saja angkuh dan merasa lebih mengerti seluruh dunia daripada orang-orang kecil yang bergulat dengan praktik kearifan lokal berbasis pengalaman puluhan hingga ratusan tahun di kesehariannya.
Kedua cerita di atas juga sekaligus ingin menunjukkan paradigma dan pendekatan penyelesaian masalah pemerintah dalam kebencanaan yang berpola proyek. Ketimbang memberdayakan masyarakat lokal dan memberikan dukungan bagi rencananya, pemerintah memilih menjalankan sendiri programnya dengan angkuh. Lelucon lebih parah terjadi di Bengkulu Utara ketika pada tahun 2011, pemerintah daerah Bengkulu membangun sebuah gudang logistik yang kemudian ditolak oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerh (BPBD). Penolakan itu didasarkan pada lokasi bangunan yang hanya berjarak seratus meter dari bibir pantai, pembangunan yang melanggar UU Pokok Kehutanan No. 41 tahun 1991 tentang sempadan pantai. Pembangunan gudang logistik di tepi pantai daerah yang rentan gempa dan tsunami benar-benar lelucon pemerintah dan hanya menampakkan ketidak-seriusan negara dalam pencegahan bencana.
Kedua catatan tersebut menjadi semakin rumit jika dihadapkan pada persoalan birokrasi yang berbelit. Persoalan mutasi sebagai wajah baru birokrasi di Indonesia akibat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)berimbas kepada start baru dan pendekatan dari nol lagi kepada aparat pemangku ebijakan sebagaimana dikeluhkan oleh Fritz Elmas, Uly, dan Pak Nor di Maluku Tenggara. Pak Nor, aparat BPBD Maluku Tenggara, bahkan galau akan “menguap begitu saja”-nya ilmu penanganan dan pencegahan bencana yang selama ini diperolehnya akibat mutasi jabatan yang diperolehnya.
Kegelisahan yang sama mungkin dirasakan juga oleh tim PRB Payo-Payo di Sinjai. Betapa tidak, berbagai kegiatan yang mereka lakukan haruslah mendapat izin atau paling tidak sepengetahuan pihak pengambil kebijakan di lngkungan Pemerintah Kabupaten Sinjai. Persoalannya adalah kesepahaman yang tidak pernah terjadi di antara mereka dikarenakan dua hal. Pertama, jarang hadirnya pihak pengambil kebijakan dalam setiap rangkaian kegiatan ataupun pertemuan PRB. Kedua, arogansi dan mentalitas feodal pihak pengambil kebijakan tersebut yang menolak mendapatkan wawasan dan ide segar dari generasi yang lebih muda. Buku ini mengutip kalimat ketus petinggi Pemda Sinjai bahwa “dalam adat kita, seorang anak tidak pantas mengajari orangtuanya!”.[5] Kita tidak lagi hidup di jaman seperti itu, bukan?
Meski demikian, secara fair harus diakui tetap saja ada orang-orang yang memiliki kepedulian di dalam lingkaran pemerintah dan birokrasinya yang serba rumit dan berbelit itu. Kita tentu tidak melupakan sosok Pak Nor, aparatur BPBD Maluku Tenggara, mantan staf Dinas Pekerjaan Umum, dan mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, yang sudah dibicarakan dari tadi. Di tanah yang sama, ada Pieter Elmas dan Edo Rahail yang mendukung penuh kegiatan dan usaha pencegahan dan penanganan bencana di Maluku Tenggara. Di Bengkulu Utara, ada Kardo Manurung, Kepala SMA 1 Lais, bersama guru-guru yang dinaunginya yang berjuang memsukkan unsur kebencanaan sebagai materi ajar muatan lokal di dalam kurikulum pendidikan sekolah di Bengkulu Utara. Kita tentu tidak melupakan kerja keras Pak Daming, Ibu Guru Anti, Pak Bahar, Kasim, dan yang lainnya di Sinjai.
Ketiga, hal terakhir yang ingin saya catatkan di sini adalah penegasan bahwa gerakan dan inisiatif dari bawah masih merupakan metode paling efektif untuk menggerakkan perubahan, dalam bentuk apapun. Hal ini tentu saja berdasarkan pada gagasan sederhana bahwa mereka yang bekerja lebih dekat dengan objek lebih memahami dan mengerti kebutuhan mereka untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Dengan sendirinya, akan terbentuk kearifan-kearifan berikut nilai-nilai dan pranata untuk menjamin kelangsungan kehidupan tersebut dan melindunginya dari ancaman.
Namun, tentu saja ada keserakahan manusia lain yang senantiasa mengincarnya. Apalagi yang melatarinya kalau bukan motivasi ekonomi. keserakahan yang terkadang berselingkuh dengan keangkuhan negara dan kebebalan aparatnya. Dengan restu kekuasaan, maka atas nama perubahan, kemajuan, dan modernisasi, kearifan berikut sistem nilai dan pranatanya tersebut menjadi target untuk dimusnahkan. Maka perubahan dan kemajuan apakah yang dicita-citakan negara dengan merusak struktur sosial secara paksa yang telah berjalan sekian lama? Bukankah mereka yang merasakannya lebih mengerti kebutuhan mereka?
Maka, apa yang dibutuhkan oleh negara –jika memang negara itu ada, dan bukan merupakan agensi dari kepentingan bermotif ekonomi yang mengendalikan dunia—adalah meninggalkan keangkuhannya dan belajar bersama rakyatnya untuk memahami kebutuhan paling riil dalam mewujudkan perubahan dan kemajuan. Memaksakan perubahan yang tidak diinginkan masyarakat hanya akan menggoreskan luka dan lama-kelamaan akan membangun sebuah neraka yang menyengsarakan rakyat.
Sebuah kritikan tentu saja bahwa perubahan sejatinya lahir dari gerakan dan inisiatif sederhana berbasis kebutuhan riil masyarakat ketimbang usaha penyeragaman dunia dalam sebuah kebijakan setelah menatapnya dari sebuah tahta di atas langit. Bukankah dunia yang lebih berwarna itu indah? Mari sama-sama belajar.


#Tulisan ini, dengan versi yang lebih pendek, juga dimuat di makassarnolkm.com 


[1] Judul ini diangkat untuk mengingatkan bahwa telah ada begitu banyak cerita tentang keberhasilan perubahan yang dilahirkan gerakan atau inisiatif dari bawah dan betapa seringnya cerita-cerita itu diulang. Namun, elit bahkan negara berikut para petingginya tetap saja pada keangkuhan dan kebebalannya untuk menerima kenyataan tersebut. Mereka masih saja merasa paling mengerti seluruh dunia beserta isinya daripada orang-orang yang mereka anggap kerdil.
[2] Sering main di Tamalanrea School, Pusat Studi Globalisasi dan Hubungan Internasional.
[3] Pesan sederhana namun penuh makna ini adalah kalimat terakhir yang ditegaskan oleh penulis buku, Anwar Jimpe Rahman di bagian synopsis, halaman sampul belakang buku Hidup di Atas Patahan.
[4] Anwar Jimpe Rahman, 2012, Hidup di Atas Patahan, Yogyakarta: Insist Press. Hal. 66.
[5] Ibid. Hal. 54.

CERITA DARI KULONPROGO; (Refleksi Perjuangan Melawan Penambangan Pasir Besi, 1 April 2012)

Tuesday, January 8, 2013 | at 3:42 PM


Lautan massa tumpah ruah di jalanan sempit sepanjang jalan menuju pantai Glagah, Kulonprogo pagi itu. Pawai manusia dan konvoi kendaraan tak teratur tapi saling mengiringi menuju satu titik acara di sebuah lahan kososng tepat di tepi jalan raya. Teriakan-teriakan saling bersahutan dengan deru suara knalpot mobil dan sepeda motor yang digas kencang. Orang-orang ini tampak sangat antusias dan bersemangat mengikuti acara itu.
Semakin dekat dengan titik lokasi acara, sayup-sayup terdengar salawatan, ganti-gantian dengan lantunan ayat-ayat Al Qur’an yang dilagukan di sebuah panggung sederhana. Semakin dekat dengan titik acara, nampak lautan manusia yang semakin ramai pula. Ribuan orang melibatkan diri dalam acara besar di hari itu, menurut seorang tokoh pemuda. Sebuah perayaan, pesta rakyat, hari ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, Yogyakarta.
Keriuh-ramaian itu seperti pesta rakyat biasa saja, jika melihat tampakannya. Tenda terpal yang luas mengatapi hamparan tikar pandan dan karpet-karpet pinjaman dari mesjid desa sebagai stage untuk peserta acara. Sebuah panggung kecil dan sederhana dengan latar spanduk kain bertulis huruf dari guntingan kertas.
Tapi, bagi masyarakat pesisir Kulon Progo, acara itu jauh lebih istimewa daripada sekedar pesta rakyat dan perayaan ulang tahun paguyuban biasa. Acara adalah panggung teriakan dan pekikan perjuangan masyarakat pasisir Kulon Progo yang terancam oleh penambangan pasir besi di sepanjang pesisir selatan Kulon Progo. Acara itu adalah panggung bagi tuntutan-tuntutan dan penolakan bagi beroperasinya perusahaan penambang pasir besi di daerah mereka.
Hari itu, 1 April 2012, enam tahun telah berjalan sejak pertama kali didirikannya Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Di tanggal yang sama pada tahun 2006, masyarakat di 4 kecamatan dan 10 desa di Kabupaten Kulon Progo menginisiasi dan membentuk organisasi perjuangan yang bersifat independen. Organisasi ini bertujuan dan berkepentingan untuk menjaga dan mempertahankan fungsi ekosistem dan mata pencaharian warga sebagai petani lahan pantai. Artinya, penolakan bagi aktivitas penambangan pasir besi di daerah mereka.

Baliho peringatan HUT ke-6 PPLP Kulon Progo
Simbol dalam Coretan
Penolakan mereka tergambar dalam dari spanduk-spanduk yang terpajang di lokasi acara. Di Spanduk penyambutan, tertulis “Tolak Tambang Pasir Besi Kulon Progo Tanpa Kekerasan”. Masuk di pintu penyambutan terpamapang sebuah lukisan yang berisi kritikan terhadap feodalisme dan kekuasaan di D.I. Yogyakarta yang tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat dan menjadi pintu masuk modal dan investasi untuk aktivitas penambangan.
Di panggung sederhana itu sendiri, selain ucapan selamat hari ulang tahun bagi PPLP Kulon Progo, sebuah tulisan yang mengukuhkan sikap mereka terhadap aktivitas penambangan mengikuti sebagai tema. Tulisan “Diam Menakutkan, Bergerak Mematikan; Bertani atau Mati” menegaskan pilihan mereka untuk bertani dan merdeka di atas tanah mereka sendiri daripada mati perlahan sebagai buruh pertambangan. Atau mati sekalian di ujung peluru aparat dan preman penjaga tambang itu.
Di sisi kanan panggung, satu lagi karya seni menggambarkan berbagai dampak aktivitas penambangan jika terus dilanjutkan. Rusaknya ekosistem di laut dan darat, memudarnya relasi sosial masyarakat, dan hilangnya kedaulatan mereka atas pangan. Di bagian atas karya itu tertulis kalimat “Berdiri Di Atas Kekuatan Pangan Sendiri” sebagai penegasan bahwa mereka tidak butuh pertambangan dan janji-janjinya akan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Hidup mereka telah terjamin dari lahan-lahan gersang yang mereka sulap menjadi produktif dan olah dengan kekuatan mereka sendiri. Kebutuhan hidup mereka telah lebih dari tercukupi.

Who Needs Mining???
Acara berjalan dengan susunan acara yang dipenuhi sambutan dan orasi-orasi yang bernada sama. Kepala Desa, Mahasiswa, Ustadz, Tokoh-Tokoh Masyarakat, dan Pemuda menyampaikan tuntutan yang sama. Mereka menolak dan melawan penambangan pasir besi tentu saja. Mereka menuntut pembebasan Tukijo, seorang tokoh masyarakat yang ditangkap dan dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik, yang bersama mereka memimpin penolakan tambang pasir besi. Bahwa mereka akan mempertaruhkan nyawa untuk bertahan dan dari penggusuran. Bahwa mereka adalah pemilik sah dari tanah-tanah yang diklaim penguasa feodal sebagai miliknya.
Mereka meneriakkan bahwa mereka hanya ingin hidup sederhana dan tidak terusik oleh apapun. Mereka sangat nyaman hidup seperti adanya, sebagai petani. Kebutuhan mereka terpenuhi, bahkan lebih dari cukup. Relasi sosial terjalin solid, kuat, dan semua orang nyaman berada di dalamnya. “Kami baik-baik saja dengan keadaan kami!!!” teriak seorang tokoh pemuda di atas panggung. So, who needs mining??

Kapitalisme Lagi
long life rebellions!!!
Secara pribadi, yang menarik minatku adalah seorang ibu rumah tangga yang berteriak dan membicarakan kapitalisme dan neoliberalisme di atas panggung. Dia meneriakkan bahwa kondisi yang terjadi adalah akibat keserakahan kapitalisme dan pandangannya terhadap manusia yang hanya sebagai bagian dari factor produksi. Tidak berbeda dari mesin-mesin, modal, dan objek tambang itu sendiri.
Yaa.. semoga kita tidak melupakannya. Bahwa perlawanan ini terjadi secara esensial terhadap kapitalisme. Sejarah telah merekam tumpukan peristiwa di mana kapitalisme bisa melindas apa saja yang menghalanginya, tak terkecuali manusia dan peradaban. Sejarah juga telah merekam bahwa manusia telah melawan kapitalisme sejak masa-masa awal kelahirannya. Kapitalisme dilahirkan dengan perlawanan dan penolakan atas dirinya sendiri.
Cerita perlawanan penambangan pasir besi Kulon Progo sekali lagi menjadi bukti bahwa telah immanent di dalam tubuh kapitalisme, perlawanan itu pasti dan harus ada.

  
Kosan Pak Slamet, 16 April 2012
#Tulisan ini adalah tulisan lama yang pernah dipublikasikan di kahaba.info