Lautan massa tumpah
ruah di jalanan sempit sepanjang jalan menuju pantai Glagah, Kulonprogo pagi
itu. Pawai manusia dan konvoi kendaraan tak teratur tapi saling mengiringi
menuju satu titik acara di sebuah lahan kososng tepat di tepi jalan raya. Teriakan-teriakan
saling bersahutan dengan deru suara knalpot mobil dan sepeda motor yang digas
kencang. Orang-orang ini tampak sangat antusias dan bersemangat mengikuti acara
itu.
Semakin dekat dengan
titik lokasi acara, sayup-sayup terdengar salawatan, ganti-gantian dengan
lantunan ayat-ayat Al Qur’an yang dilagukan di sebuah panggung sederhana. Semakin
dekat dengan titik acara, nampak lautan manusia yang semakin ramai pula. Ribuan
orang melibatkan diri dalam acara besar di hari itu, menurut seorang tokoh
pemuda. Sebuah perayaan, pesta rakyat, hari ulang tahun Paguyuban Petani Lahan
Pantai (PPLP) Kulon Progo, Yogyakarta.
Keriuh-ramaian itu
seperti pesta rakyat biasa saja, jika melihat tampakannya. Tenda terpal yang
luas mengatapi hamparan tikar pandan dan karpet-karpet pinjaman dari mesjid
desa sebagai stage untuk peserta
acara. Sebuah panggung kecil dan sederhana dengan latar spanduk kain bertulis
huruf dari guntingan kertas.
Tapi, bagi masyarakat
pesisir Kulon Progo, acara itu jauh lebih istimewa daripada sekedar pesta
rakyat dan perayaan ulang tahun paguyuban biasa. Acara adalah panggung teriakan
dan pekikan perjuangan masyarakat pasisir Kulon Progo yang terancam oleh
penambangan pasir besi di sepanjang pesisir selatan Kulon Progo. Acara itu
adalah panggung bagi tuntutan-tuntutan dan penolakan bagi beroperasinya
perusahaan penambang pasir besi di daerah mereka.
Hari itu, 1 April 2012,
enam tahun telah berjalan sejak pertama kali didirikannya Paguyuban Petani
Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Di tanggal yang sama pada tahun 2006,
masyarakat di 4 kecamatan dan 10 desa di Kabupaten Kulon Progo menginisiasi dan
membentuk organisasi perjuangan yang bersifat independen. Organisasi ini
bertujuan dan berkepentingan untuk menjaga dan mempertahankan fungsi ekosistem
dan mata pencaharian warga sebagai petani lahan pantai. Artinya, penolakan bagi
aktivitas penambangan pasir besi di daerah mereka.
Baliho peringatan HUT ke-6 PPLP Kulon Progo |
Simbol
dalam Coretan
Penolakan mereka
tergambar dalam dari spanduk-spanduk yang terpajang di lokasi acara. Di Spanduk
penyambutan, tertulis “Tolak Tambang Pasir Besi Kulon Progo Tanpa Kekerasan”.
Masuk di pintu penyambutan terpamapang sebuah lukisan yang berisi kritikan
terhadap feodalisme dan kekuasaan di D.I. Yogyakarta yang tidak menunjukkan
keberpihakannya kepada rakyat dan menjadi pintu masuk modal dan investasi untuk
aktivitas penambangan.
Di panggung sederhana
itu sendiri, selain ucapan selamat hari ulang tahun bagi PPLP Kulon Progo,
sebuah tulisan yang mengukuhkan sikap mereka terhadap aktivitas penambangan
mengikuti sebagai tema. Tulisan “Diam Menakutkan, Bergerak Mematikan; Bertani
atau Mati” menegaskan pilihan mereka untuk bertani dan merdeka di atas tanah
mereka sendiri daripada mati perlahan sebagai buruh pertambangan. Atau mati
sekalian di ujung peluru aparat dan preman penjaga tambang itu.
Di sisi kanan panggung,
satu lagi karya seni menggambarkan berbagai dampak aktivitas penambangan jika
terus dilanjutkan. Rusaknya ekosistem di laut dan darat, memudarnya relasi
sosial masyarakat, dan hilangnya kedaulatan mereka atas pangan. Di bagian atas
karya itu tertulis kalimat “Berdiri Di Atas Kekuatan Pangan Sendiri” sebagai
penegasan bahwa mereka tidak butuh pertambangan dan janji-janjinya akan
pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Hidup mereka telah terjamin dari
lahan-lahan gersang yang mereka sulap menjadi produktif dan olah dengan
kekuatan mereka sendiri. Kebutuhan hidup mereka telah lebih dari tercukupi.
Who Needs Mining???
Acara berjalan dengan
susunan acara yang dipenuhi sambutan dan orasi-orasi yang bernada sama. Kepala
Desa, Mahasiswa, Ustadz, Tokoh-Tokoh Masyarakat, dan Pemuda menyampaikan
tuntutan yang sama. Mereka menolak dan melawan penambangan pasir besi tentu
saja. Mereka menuntut pembebasan Tukijo, seorang tokoh masyarakat yang
ditangkap dan dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik, yang bersama
mereka memimpin penolakan tambang pasir besi. Bahwa mereka akan mempertaruhkan
nyawa untuk bertahan dan dari penggusuran. Bahwa mereka adalah pemilik sah dari
tanah-tanah yang diklaim penguasa feodal sebagai miliknya.
Mereka meneriakkan
bahwa mereka hanya ingin hidup sederhana dan tidak terusik oleh apapun. Mereka
sangat nyaman hidup seperti adanya, sebagai petani. Kebutuhan mereka terpenuhi,
bahkan lebih dari cukup. Relasi sosial terjalin solid, kuat, dan semua orang
nyaman berada di dalamnya. “Kami baik-baik saja dengan keadaan kami!!!” teriak
seorang tokoh pemuda di atas panggung. So,
who needs mining??
Kapitalisme
Lagi
![]() |
long life rebellions!!! |
Secara pribadi, yang
menarik minatku adalah seorang ibu rumah tangga yang berteriak dan membicarakan
kapitalisme dan neoliberalisme di atas panggung. Dia meneriakkan bahwa kondisi
yang terjadi adalah akibat keserakahan kapitalisme dan pandangannya terhadap
manusia yang hanya sebagai bagian dari factor produksi. Tidak berbeda dari
mesin-mesin, modal, dan objek tambang itu sendiri.
Yaa.. semoga kita tidak
melupakannya. Bahwa perlawanan ini terjadi secara esensial terhadap
kapitalisme. Sejarah telah merekam tumpukan peristiwa di mana kapitalisme bisa
melindas apa saja yang menghalanginya, tak terkecuali manusia dan peradaban.
Sejarah juga telah merekam bahwa manusia telah melawan kapitalisme sejak
masa-masa awal kelahirannya. Kapitalisme dilahirkan dengan perlawanan dan
penolakan atas dirinya sendiri.
Cerita perlawanan
penambangan pasir besi Kulon Progo sekali lagi menjadi bukti bahwa telah immanent
di dalam tubuh kapitalisme, perlawanan itu pasti dan harus ada.
Kosan
Pak Slamet, 16 April 2012
#Tulisan ini adalah tulisan lama yang pernah dipublikasikan di kahaba.info
0 comments:
Post a Comment