Judul Buku : Hidup di Atas Patahan
Penulis : Anwar Jimpe Rahman
Penerbit : Insist Press
Bulan/Tahun : November 2012
ISBN/BAN : 978-602-8384-55-1
Tebal Buku : cover + iv + 110 Halaman
Merubah dari Bawah; cerita yang
diulang[1]
Oleh
: S. Idris[2]
Tulisan ini sebenarnya jauh dari “layak”
untuk disebut sebagai resensi buku. Alasannya sederhana, saya sama sekali telah
melupakan pelajaran sekolah dulu mengenai syarat-syarat sebuah resensi buku.
Ketika tulisan ini dibuat, saya memutuskan untuk tidak mencoba mengingat lagi
atau sekedar mencari tahu lebih jauh persoalan syarat-syarat tersebut dan
memilih melanjutkan saja tulisan singkat ini. Misinya: melanjutkan niat
sederhana penulisan buku yang sedang dibahas ini, semoga kita bisa saling
belajar.[3]
Adalah sebuah kehormatan
besar bagi saya secara pribadi mendapat kesempatan untuk menuliskan sebuah
resensi (kalau bisa disebut begitu) bagi buku pertama Anwar Jimpe Rahman (Kami
terbiasa memanggil dengan sapaan akrab, Kak Jimpe). Sms Kak Jimp Selasa siang,
30 Oktober 2012, “Bisako bikin
resensi Hidup di Atas Patahan? Mau ditayangkan di http://makassarnolkm.com..:-)”.
tanpa pikir panjang langsung kubalas, “Iye’,
kak.. Sy usahakan”. Beberapa saat kemudian barulah saya dipusingkan saling
sambungnya tulisan Kak Jimpe ini dengan kajian dan bacaanku di mana? Paradigma
Ilmu Hubungan Internasional mainstream
yang kugeluti, biasanya menempatkan para tokohnya di sebuah tahta di awan untuk
mengamati dan menjelaskan berbagaai peristiwa dan kejadian besar di muka bumi
(itupun dengan syarat harus lintas batas negara) kemudian dihadapkan pada
sebuah cerita berparadigma grassroot yang
jarang diperhatikannya padahal secara langsung maupun tidak langsung menjadi
implikasi dari aksi dan kebijakan yang lahir dari penjelasannya.
***
Buku ini dengan bahasa ringan
menarasikan mengenai pengalaman dan perjuangan penanganan (pencegahan) bencana
di tiga lokasi, Bengkulu Utara, Sinjai, dan Maluku Tenggara. Tulisan ini tentu
tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai bencana yang disebabkan oleh
paradigma, struktur dan mekanisme kerja dunia dan institusinya yang memang
kacau balau. Hal itu memang tidak dibahas di buku ini. Buku ini menceritakan
heroisme dan perjuangan inspiratif dari orang-orang dan lembaga-lembaga akar
rumput yang “bergerilya” tak kenal lelah menemukan solusi pencegahan bencana di
daerah basis kegiatan mereka.
Tiga hal menarik (dari
perspektif ku) yang wajib untuk dikabarkan dari buku ini adalah heroisme para
penggiat basis ini, peran negara dan birokrasinya yang rumit, dan gerakan atau
inisiatif rakyat itu sendiri. Pertama, saya ingin memberikan klaim
bahwa aktivitas para penggiat dan pemerhati masalah akar rumput ini adalah
sebuah bentuk heroisme yang langka. Tidak banyak orang yang mau menghabiskan
waktu dan energinya untuk bahkan sekedar besaling-sapa dan mendengar keresahan
orang kecil. Tapi mereka, nama-nama yang banyak disebut di buku ini, bersama
dengan masyarakat dan tokoh-tokoh pemerintahan yang peduli mau mengambil
tanggung jawab besar dengan merancang sebuah formula bagi pencegahan bencana di
lokasi-lokasi basis aktivitas mereka.
Lihat saja apa yang
dilakukan Nurkholis Sastro dan Hambali di Bengkulu Utara, salah satu daerah
yang paling rentan gampa dan tsunami di Indonesia. Sastro, dalam naungan Warsi
–sebuah lembaga pemerhati lingkungan— telah beraktivitas selama tiga tahun
dalam mendampingi Desa Pondok Kelapa dan Kecamatan Lais untuk upaya-upaya
pencegahan bencana. Bersama dengan Sastro, Hambali dan lembaga Mitra Aksi yang
dibentuknya berjuang memasukkan materi kebencanaan sebagai mata ajar muatan
lokal di dalam kurikulum pendidikan di Bengkulu Utara.
Cerita dari Sinjai
kurang lebih senada. Ada sosok Pak Daming, pembiak tanaman organic dan pengajar
di SMP Satap Tassoso, yang menjadi “rekan” lokal tim Pengurangan Resiko Bencana
(PRB) Payo-Payo yaitu Agung, Dedy, dan Imran. Tim tersebut berbasis di Makassar
dan butuh waktu tempuh lebih kurang lima jam dan jarak 200-an kilometer untuk
mencapai Sinjai, lokasi aktivitas mereka setiap pekannya. Selain soal jarak dan
waktu tempuh, persoalan birokrasi juga menjadi tantangan lain bagi usaha tim
PRB Payo-Payo ini bersama dengan kepentingan politik yang sangat acak dan
momentum Pilgub Sulsel.
Sedangkan di Maluku
Tenggara, ada cerita perjuangan Fritz Elmas dan Uly dari Yayasan Nen Mas Il
(YNMI), bersama Pak Nor, Edo Rahail, dan Pieter Elmas untuk menjamin
kelangsungan bagi tersedianya sumber air pulau-pulau atol (karang) provinsi itu.
Kisah suksesnya adalah mereka berhasil menarik simpati lembaga legislatif, DPRD
Maluku Tenggara hingga mampu terus mendesak pemerintah daerah untuk
memperhitungkan aspek kearifan lokal dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat
maupun pemerintah. Meski tetap saja mereka mendapat tantangan dari paradigma
proyek pemerintah dan seringnya tidak nyambung
dengan kebijakan pemerintah pusat.
Semua cerita-cerita
tersebut menjelaskan bahwa ada sekelompok manusia yang memang memiliki niat
untuk bekerja dan belajar bersama orang kecil dan membuat perubahan-perubahan
sederhana namun bermakna. Kisahnya sangat kecil kemungkinan untuk dikabarkan
jika mengharapkan media massa untuk melakukannya. Media cenderung mengangkat
berita tentang bencana ketika dia telah terjadi dan membawa korban –istilah
buku ini “paradigma keperistiwaan”, bukan menyorot cerita sukses pencegahan dan
pembangunan pola pikir baru berdasarkan kearifan masyarakat setempat.
Kedua,
mengenai persoalan peran negara dan birokrasinya yang sangat rumit menjadi
kendala dan tantangan tersendiri bagi para hero
dalam buku ini. Menyoroti peran negara, tiga hal penting yang bisa dicatat
dalam buku ini yaitu : kapasitas negara (pemerintah) yang tidak mengenal dan
memahami daerah dan wilayahnya bergelut dengan keangkuhan pemerintah pusat,
paradigma proyek pemerintah dalam menjaankan tugas kenegaraan dan kesan lepas
tangan dari masalah bencana pasca-proyek, dan tentu saja birokrasi yang rumit
dan berbelit.
Cerita di Sinjai dan
Maluku Tenggara mungkin bisa mewakili catatan pertama. Tahun 1980-an,
pemerintah mencanangkan program berlabel “Sejuta Pinus” di daerah Kompang,
Sinjai yang memiliki tingkat kemiringan tinggi. Bagi pemerintah, program
tersebut bisa berarti sebagai upaya pemberdayaan lahan yang ditinggalkan warga
akibat pemindahan paksa pemukiman ke tepi jalan untuk kepentingan strategis
pengawasan militer lebih kurang 20 tahun sebelumnya. Selain itu, tentu saja
getah pinus merupakan komoditas berharga bagi pengusaha karet nasional kroni
Orde Baru masa itu. Namun demikian, dampaknya baru terasa sejalan 20 tahun
program tersebut ketika daerah Kompang yang tingkat kemiringannya tinggi
tersebut menjadi neraka akibat longsor pada tahun 2006 silam.
Membandingkan ide
“Sejuta Pinus” pemerintah dan argumen orang kecil seperti Pak Asikin Pella,
nampak tidak fair. Meski demikian,
ada logika lain yang terbangun dalam ucapan Pak Asikin, bahwa sesungguhnya
pohon pinus merupakan tumbuhan yang bisa merubah siklus air dikarenakan
struktur akar tunggangnya yang menancap dalam ke tanah. “Dengan begitu, tanah
menyerap air, yang dengan demikian sewaktu-waktu air tertampung banyak sehingga
menyebabkan retak/pecahnya tanah” kata Pak Asikin.[4]
Kurang lebih senada,
Kepulauan Kei di Maluku Tenggara yang terbentuk dari pulau-pulau atol kini harus menghadapi ancaman
kekurangan air bersih akibat pertumbuhan populasi dan pemukiman berikut semakin
dibukanya lahan hutan. Sementara itu, pemerintah meresponnya dengan mengirimkan
bibit jati putih yang merupakan tanaman penyerap air yang banyak. Padahal,
sudah sejak lama Kei dikenal sebagai penghasil kayu besi terbaik. Blunder
pemerintah ini bisa saja menspekulasikan berbagai motif, namun tetap perlu
pembuktian lebih. Hal terpenting yang bisa dipetik dari cerita ini bahwa
pemerintah masih saja angkuh dan merasa lebih mengerti seluruh dunia daripada
orang-orang kecil yang bergulat dengan praktik kearifan lokal berbasis
pengalaman puluhan hingga ratusan tahun di kesehariannya.
Kedua cerita di atas
juga sekaligus ingin menunjukkan paradigma dan pendekatan penyelesaian masalah
pemerintah dalam kebencanaan yang berpola proyek. Ketimbang memberdayakan
masyarakat lokal dan memberikan dukungan bagi rencananya, pemerintah memilih
menjalankan sendiri programnya dengan angkuh. Lelucon lebih parah terjadi di
Bengkulu Utara ketika pada tahun 2011, pemerintah daerah Bengkulu membangun
sebuah gudang logistik yang kemudian ditolak oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerh (BPBD). Penolakan itu didasarkan pada lokasi bangunan yang hanya berjarak
seratus meter dari bibir pantai, pembangunan yang melanggar UU Pokok Kehutanan
No. 41 tahun 1991 tentang sempadan pantai. Pembangunan gudang logistik di tepi
pantai daerah yang rentan gempa dan tsunami benar-benar lelucon pemerintah dan
hanya menampakkan ketidak-seriusan negara dalam pencegahan bencana.
Kedua catatan tersebut
menjadi semakin rumit jika dihadapkan pada persoalan birokrasi yang berbelit.
Persoalan mutasi sebagai wajah baru birokrasi di Indonesia akibat Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada)berimbas kepada start baru dan pendekatan dari nol lagi
kepada aparat pemangku ebijakan sebagaimana dikeluhkan oleh Fritz Elmas, Uly,
dan Pak Nor di Maluku Tenggara. Pak Nor, aparat BPBD Maluku Tenggara, bahkan
galau akan “menguap begitu saja”-nya ilmu penanganan dan pencegahan bencana
yang selama ini diperolehnya akibat mutasi jabatan yang diperolehnya.
Kegelisahan yang sama
mungkin dirasakan juga oleh tim PRB Payo-Payo di Sinjai. Betapa tidak, berbagai
kegiatan yang mereka lakukan haruslah mendapat izin atau paling tidak
sepengetahuan pihak pengambil kebijakan di lngkungan Pemerintah Kabupaten
Sinjai. Persoalannya adalah kesepahaman yang tidak pernah terjadi di antara
mereka dikarenakan dua hal. Pertama, jarang hadirnya pihak pengambil kebijakan
dalam setiap rangkaian kegiatan ataupun pertemuan PRB. Kedua, arogansi dan
mentalitas feodal pihak pengambil kebijakan tersebut yang menolak mendapatkan
wawasan dan ide segar dari generasi yang lebih muda. Buku ini mengutip kalimat
ketus petinggi Pemda Sinjai bahwa “dalam adat kita, seorang anak tidak pantas mengajari
orangtuanya!”.[5]
Kita tidak lagi hidup di jaman seperti itu, bukan?
Meski demikian, secara
fair harus diakui tetap saja ada orang-orang yang memiliki kepedulian di dalam
lingkaran pemerintah dan birokrasinya yang serba rumit dan berbelit itu. Kita tentu
tidak melupakan sosok Pak Nor, aparatur BPBD Maluku Tenggara, mantan staf Dinas
Pekerjaan Umum, dan mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, yang sudah
dibicarakan dari tadi. Di tanah yang sama, ada Pieter Elmas dan Edo Rahail yang
mendukung penuh kegiatan dan usaha pencegahan dan penanganan bencana di Maluku
Tenggara. Di Bengkulu Utara, ada Kardo Manurung, Kepala SMA 1 Lais, bersama
guru-guru yang dinaunginya yang berjuang memsukkan unsur kebencanaan sebagai
materi ajar muatan lokal di dalam kurikulum pendidikan sekolah di Bengkulu
Utara. Kita tentu tidak melupakan kerja keras Pak Daming, Ibu Guru Anti, Pak
Bahar, Kasim, dan yang lainnya di Sinjai.
Ketiga,
hal terakhir yang ingin saya catatkan di sini adalah penegasan bahwa gerakan
dan inisiatif dari bawah masih merupakan metode paling efektif untuk
menggerakkan perubahan, dalam bentuk apapun. Hal ini tentu saja berdasarkan
pada gagasan sederhana bahwa mereka yang bekerja lebih dekat dengan objek lebih
memahami dan mengerti kebutuhan mereka untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Dengan sendirinya, akan terbentuk kearifan-kearifan berikut nilai-nilai dan
pranata untuk menjamin kelangsungan kehidupan tersebut dan melindunginya dari
ancaman.
Namun, tentu saja ada
keserakahan manusia lain yang senantiasa mengincarnya. Apalagi yang melatarinya
kalau bukan motivasi ekonomi. keserakahan yang terkadang berselingkuh dengan
keangkuhan negara dan kebebalan aparatnya. Dengan restu kekuasaan, maka atas
nama perubahan, kemajuan, dan modernisasi, kearifan berikut sistem nilai dan
pranatanya tersebut menjadi target untuk dimusnahkan. Maka perubahan dan
kemajuan apakah yang dicita-citakan negara dengan merusak struktur sosial
secara paksa yang telah berjalan sekian lama? Bukankah mereka yang merasakannya
lebih mengerti kebutuhan mereka?
Maka, apa yang
dibutuhkan oleh negara –jika memang negara itu ada, dan bukan merupakan agensi
dari kepentingan bermotif ekonomi yang mengendalikan dunia—adalah meninggalkan
keangkuhannya dan belajar bersama rakyatnya untuk memahami kebutuhan paling
riil dalam mewujudkan perubahan dan kemajuan. Memaksakan perubahan yang tidak
diinginkan masyarakat hanya akan menggoreskan luka dan lama-kelamaan akan
membangun sebuah neraka yang menyengsarakan rakyat.
Sebuah kritikan tentu
saja bahwa perubahan sejatinya lahir dari gerakan dan inisiatif sederhana
berbasis kebutuhan riil masyarakat ketimbang usaha penyeragaman dunia dalam
sebuah kebijakan setelah menatapnya dari sebuah tahta di atas langit. Bukankah
dunia yang lebih berwarna itu indah? Mari sama-sama belajar.
[1] Judul ini
diangkat untuk mengingatkan bahwa telah ada begitu banyak cerita tentang
keberhasilan perubahan yang dilahirkan gerakan atau inisiatif dari bawah dan betapa
seringnya cerita-cerita itu diulang. Namun, elit bahkan negara berikut para
petingginya tetap saja pada keangkuhan dan kebebalannya untuk menerima
kenyataan tersebut. Mereka masih saja merasa paling mengerti seluruh dunia
beserta isinya daripada orang-orang yang mereka anggap kerdil.
[2] Sering main di
Tamalanrea School, Pusat Studi Globalisasi dan Hubungan Internasional.
[3] Pesan sederhana
namun penuh makna ini adalah kalimat terakhir yang ditegaskan oleh penulis
buku, Anwar Jimpe Rahman di bagian synopsis, halaman sampul belakang buku Hidup
di Atas Patahan.
[4] Anwar Jimpe
Rahman, 2012, Hidup di Atas Patahan, Yogyakarta: Insist Press. Hal. 66.
[5] Ibid. Hal. 54.
1 comments:
Terimakasih telah mengulas buku INSISTPress. Rehal buku ikut dilansikan ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/id/arsip/5569
Post a Comment