Pages

SIGNIFIAKNSI PERAN UNCCC DALAM MENANGANI PERUBAHAN IKLIM

Thursday, May 19, 2011 | at 10:21 AM

Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali sampai saat ini belum mampu mejelaskan akar permasalahan ekologis yang melanda dunia, apalagi memberikan penyelesaian yang solutif. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa wacana perubahan iklim menjadi perhatian utama masyarakat dunia dalam dua tahun terakhir. Perhatian masyarakat dunia muncul akibat hadirnya berbagai gejala atau fenomena alam yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai reaksi atau adaptasi alam terhadap kerusakan yang menimpanya akibat ulah dan perbuatan manusia. Terlebih lagi, berbagai gejala atau fenomena alam tersebut umumnya baru terjadi sekali dan dominan melanda Eropa, seperti meningkatnya suhu udara pada musim panas di Eropa, kebakaran hutan di beberapa negara Eropa, peralihan musim yang tidak menentu, dan mewabahnya berbagai macam penyakit – penyakit aneh seperti Flu Burung, Penyakit Kuku dan Mulut, dan sebagainya.

Berdasarkan berbagai fakta tersebut, PBB melalui lembaga yang dibawahinya, yaitu United Nation Climate Change Conference (UNCCC) mencoba untuk melihat dan memperhatikan lebih serius masalah ekologis global. Berbagai upaya coba untuk dilakukan, misalnya mencari alternatif energi pengganti bahan bakar fosil yang disinyalir berperan dalam meningkatnya suhu permukaan bumi akibat emisi gas yang ditimbulkannya, mengadakan berbagai konferensi terkait masalah perubahan iklim, kampanye dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat global, dan sebagainya.

Akan tetapi, berbagai upaya tersebut ternyata tidak mampu memberikan hasil yang maksimal, apalagi berbagai upaya tersebut belum mampu melacak permasalahan utama hingga ke akarnya. Berbagai konferensi yang diadakan oleh PBB seperti UNCCC di Bali misalnya melihat bahwa permasalahan yang ada sekarang itu adalah perubahan iklim itu sendiri, sehingga yang harus dicarikan solusinya adalah bagaimana mengatasi perubahan iklim tersebut dengan pemecahan yang parsial hanya menyangkut masalah itu saja. Maka muncullah saran alih teknologi sebagai pemecahan masalahnya, khususnya bagi negara – negara berkembang. Pertanyaan kemudian, seefektif apa peralihan teknologi mampu mengatasi perubahan iklim, mengurangi kadar polusi, dan mengurangi kadar emisi gas buangan pabrik – pabrik industri di negara – negara maju? Bagaimana dengan negara – negara berkembang? Mengapa mereka yang lebih didesak untuk mengalihkan teknolginya? Mereka ternuyata akan tetap mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena mereka tetap saja menjadi korban kerakusan negara – negara kaya dengan tetap setia menjadi konsumen saja.

Coba kita lacak sama – sama, sejak kapan awal mula keterlibatan manusia dalam kerusakan ekologis dunia. Di awal Revolusi Industri pada abad ke-18 di Inggris, berbagai kota seperti Manchester, Liverpool, dan Bristol menjelma menjadi kawasan – kawasan industri yang menyuplai berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa dan dunia. Kerajaan Inggris kemudian mengalami kemajuan ekonomi yang sangat drastis, khusunya di bidang industri yang memicu munculnya orang – orang yang membuka berbagai usaha dan pabrik baru yang beroperasi dengan volume output yang tentunya lebih besar, apalagi dengan dukungan penuh pihak kerajaan. Inilah awal mula industrialisasi masyarakat Eropa yang kemudian menjadi spirit bagi berkembangnya liberalisme. Meningkatnya standar kesejahteraan masyarakat Eropa kemudian memancing mereka untuk berharap lebih pada kebebasan dalam bidang ekonomi. Pengekangan bagi kaum non-bangsawan di Inggris dan seluruh Eropa dalam hal ekonomi memicu imigrasi besar – besaran ke Amerika dan mulailah berkembang sebuah kawasan yang selanjutnya menjadi negara pengusung utama liberalisme sampai saat ini.

Perkembangan industri kemudian juga terjadi di negara baru tersebut di mana perusahaan – perusahaan dengan industri raksasa muncul dan implikasinya adalah perkembangan negara tersebut menjadi superpower. Akan tetapi, industrialisasi tersebut yang sedari awalnya mengabaikan lingkungan kemudia berdampak pada kerusakan – kerusakan ekosistem seperti istilah “Black Country” bagi Bristol akibat tidak ditemukannya lagi dedaunan hijau akibat asap pabrik, walaupun pada saat itu masih dalam skala kecil dan dianggap tidak terlalu signifikan pengaruhnya terhadap kondisi masyarakat dibanding apa yang telah dihasilkan oleh industrialisasi. Logika ini terus berlanjut, dan seiring dengan modernisasi dunia semakin majunya industri negara – negara Eropa dan Amerika, maka volume kerusakan ekologispun semakin parah dan meluas. Seluruh duniapun, termasuk negara – negara yang bukan negara industri kemudian ikut merasakan imbasnya dan baru disadari oleh masyarakat global dalam dua tahun terakhir. Lebih parahnya lagi, kerusakan tersebut telah merambah dan meningkat ke berbagai aspek dalam bentuk pencemaran atau polusi baik itu udara, air, dan tanah.

Dari penelusuran tersebut di atas, dapat kita tarik kesimpulan akar permasalahan sebenarnya, yaitu negara – negara industri dengan segala proyek modernisasinya, baik itu pembangunan “hutan beton” gedung pencakar langit, ekksploitasi sumber – sumber kekayaan alam negara – negara dunia ketiga, pembuangan limbah industri yang berat, masalah sampah yang tidak diolah, dan sebagainya. Makanya, jika kemudian solusi yang ditawarkan dalam konferensi PBB di Bali adalah peralihan ke teknologi ramah lingkungan, saya kira sangat tidak adil. Terlebih jika hal tersebut hanya dipaksakan bagi negara – negara berkembang tanpa komitmen dari negara – negara maju untuk ikut serta dan memenuhi berbagai kewajiban dan tanggung jawab globalnya, khususnya mengenai ratifikasi Protokol Kyoto.

Seharusnya apa yang dilakukan oleh organisasi seperti PBB dalam UNCCC adalah mendesak negara – negara maju terlebih dahulu untuk meratifikasi Protokol Kyoto, jika tidak memiliki power yang kuat untuk mengintervensi negara – negara tersebut dalam menekan atau menutup langsung industri yang mencemari dan merusak lingkungan. Dengan ratifikasi Protokol Kyoto bagi negara – negara maju, khususnya Amerika Serikat maka jelaslah kewajiban – kewajiban yang harus dibayar dan dilakukan oleh negara – negara maju tersebut, begitupula sanksi akan pelanggarannya. Dengan demikian negara – negara berkembang, khusunya bagi mereka yang memiliki hutan juga dapat memperoleh kompensasi dan menjadi motivasi tersendiri dalam menjaga kelestrian hutan mereka.

Mengenai peralihan teknologi yang dinilai tidak adil, karena bagaimanapun juga hal tersebut hanya menguntungkan negara – nagara industri maju saja, padahal seperti yang telah dibahas tadi, mereka adalah sumber masalah utamanya. Pertama adalah siapa yang bisa menjamin bahwa industri yang memproduksi teknologi ramah lingkungan tersebut tidak akan menghasilkan limbah yang lebih polutif dibandingkan dengan industri biasa. Kedua bahwa negara – negara maju akan memperoleh keuntungan finansial dengan memasarkan produk mereka ke negara – negara berkembang. Ketiga adalah negara – negara berkembang pasti mengalami kendala pendanaan untuk membeli teknologi baru tersebut. Dan terakhir adalah bahan baku yang digunakan untuk industri tersebut tetaplah hasil eksploitasi kekayaan alam negara – negara dunia ketiga.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa peralihan ke teknologi ramah lingkungan yang ditawarkan di dalam konferensi perubahan iklim PBB di Bali tidak solutif dalam memecahkan permasalahan kerusakan ekologi. Forum tersebut pada kenyataannya hanya dijadikan sebagai tempat untuk mempromosikan teknologi terbaru yang sekali lagi hanya memberikan keuntungan bagi beberapa pihak tertentu, yaitu negara – negara maju dan menjadikan negara – negara berkembang lagi – lagi sebagai korban yang harus membeli teknologi tersebut. Padahal negara – negara berkembang, seperti yang kita ketahui bersama tidak punya andil yang lebih besar dari negara – negara maju dalam kerusakan ekologis global. Kerusakan ini jika kita tilik lebih jauh justru merupakan wujud kegagalan negara – negara maju dalam merumuskan model ekonomi dunia.

0 comments: