Pages

TANTANGAN DAN PROSPEK REPUBLIK AUSTRALIA

Thursday, May 19, 2011 | at 10:31 AM

Selama kurang lebih tiga abad, Australia berada di bawah kekuasaan Inggris dalam negara - negara persemakmuran (commonwealth), tidak pernah terdengar masalah atau polemik yang mengindikasikan keinginan untuk memisahklan diri dan merdeka penuh dari Kerajaan Inggris. Sampai kemudian pada munculnya kasus pada tahun 1975 di mana Gubernur Jenderal sebagai representasi Ratu Inggris dan Perdana Menteri yang dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat Australia saling memecat. Keduanya menggunakan alasan kekuasaan konstitusional yang menganggap negara berada dalam ancaman parpecahan. Kasus saling memecat yang kemudian dimenangkan oleh Gubernur Jenderal ini kemudian menjadi pemicu bagi lahirnya ide negara Republik di Australia. Sebuah polemik yang sangat menentukan percaturan politik di Australia.

Polemik yang terjadi dalalm sistem pemerintahan Australia pada pertengahan dekade 1970-an ini memperumit keadaan atau percaturan politik negara tersebut. Masalah awal muncul ketika Parlemen Australia tidak berhasil mencapai sebuah kesepakatan mengenai Rancangan Undang – Undang (RUU) Perbekalan, yang kemudian lebih dikenal sebagai RUU Supply yang diajukan oleh Pemerintah Australia yang saat itu dipimpin oleh tokoh dari Partai Buruh (Australian Labour Party) Perdana Menteri Gaugh Whitlam. Kondisi yang muncul di Parlemen adalah perdebatan alot, khususnya antara House Of Representative (HoR) dengan Senat. Kenyataannya adalah bahwa pada masa itu pihak oposisi (koalisi Liberal-Nasional) memiliki suara mayoritas dan sangat dominan di Senat, sehinnga mereka mempunyai posisi yang sangat memungkinkan untuk menjatuhkan pemerintah dengan menolak berbagai rancangan undang – undang yang diajukan oleh Pemerintah berkuasa. Dalam usahanya menjatuhkan Whitlam, pihak oposisi menggunakan kekuasaan mayoritasnya di Senat, dengan cara mengancam akan menolak RUU Perbekalan (Supply) yang diajukan pemerintah, kecuali jika pemerintah mengadakan pemilu lebih awal bagi anggota HoR.1

Sebagai langkah reaktif pemerintah, maka PM Whitlam kemudian menciptakan rekayasa untuk diadakannya pembubaran ganda (double dissolution) kedua majelis, baik HoR maupun Senat. Caranya dengan mengajukan beberapa draft RUU yang sudah pasti ditolak oleh pihak oposisi yang mendominasi Senat. Deadlock yang terjadi suadah dapat menghasilkan pembubaran kedua majelis. Ditambah lagi, asumsi pemerintah bahwa pembubaran ganda juga dapat terjadi jika Senat telah tiga kali menolak meloloskan RUU penting bagi pemerintah dalam jangka waktu tertentu setelah penolakan yang pertama.2 PM Whitlam kemudian berhasil dalam upayanya menciptakan pembubaran ganda kedua majelis dan mengadakan Pemilu 1974. hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil Pemilu 1972, di mana Partai Buruh (ALP) berhasil dominan di HoR, sedangkan di Senat kedua partai utama berbagi kursi yang seimbang. Hal ini ternyata tidak menyelesaikan permasalahan, khususnya antara pemerintah dan Senat, sehingga kemudian Gubernur Jenderal Australia pada masa itu Sir John Kerr dengan kekuasaan konstitusionalnya memecat PM Whitlam pada November 1975 karena dianggap tidak mengatasi krisis politik negara tersebut. Segera setelah itu, Gubernur Jenderal kemudian mengangkat pemimpin partai oposisi Malcolm Fraser sebagai Perdana Menteri baru.

Inilah yang menjadi awal munculnya kembali ide republik yang berarti kemerdekaan penuh bagi Australa tanpa harus terikat lagi dengan berbagai ketentuan – ketentuan yang mengaitkannya dengan Kerajaan Inggris. Pendukung Whitlam yang tidak sepakat dengan langkah yang diambil oleh Gubernur Jenderal Kerr pada masa itu, kemudian mempertanyakan tindakan tersebut sebagai pelanggaran kedaulatan bangsa dan negara Australia sebagai sebuah negara demokratis yang merdeka dan berdaulat penuh. Selanjutnya adalah semakin tumbuhnya kesadaran bahwa Australia belumlah menjadi sebuah negara yang merdeka penuh karena belum mendapatkan kebebasan sepenuhnya dalam menentukan nasibnya sendiri. Kondisi ini berujung pada keinginan suatu kelompok yang kemudian dikenal dengan nama kaum republiken untuk melepaskan semua keterkaitan dengan Kerajaan Inggris, baik itu keterkaitan hukum maupun ketyerkaitan konstitusional. Artinya, berdirinya negara Australia sebagai sebuah negara Republik yang dipimpin oleh seorang presiden dengan regulasi dan konstitusi sendiri yang didasarkan pada keinginan rakyat Australia.

Jika di atas dibahas bahwa hal tersebut menjadi awal munculnya kembali ide republik di Australia, maka selanjutnya kita akan membahas bagaimana awal mula ide tersebut muncul. Di tahun – tahun awal terbentuknya federasi, Australia telah mampu memperlihatkan dirinya sebagai suatu pemeritahan yang merdeka. Seiring dengan itu, ikatan antara Australia dengan Kerajaan Inggris juga semakin melemah. Apalagi di akhir The Big War, kemudian terjadi depresi ekonomi yang melanda hampir seluruh negara di dunia. Keadaan yang dikenal sebagai Great Depression atau malaise itu kemudian mengubah kebijakan politik Inggris terhadap Australia, sama dengan negara jajahannya yang lain. Australia termasuk salah satu negara yang mengalami krisis dalam depresi ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1929 hingga 1930-an tersebut, sehingga penjualan produk primernya terpuruk di pasar dunia, dan dengan utang luar negeri yang semakin menumpuk disertai tingginya tingkat pengangguran yang terjadi pada masa itu. Inggris, sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perang harus ikut menanggung resiko dan kerugian dampak dari depresi ekonomi ini. Hal inilah yang menjadi awal berubahnya garis kebijakan politik Inggris terhadap negara – negara jajahannya. Inggris yang pada saat itu juga sedang mengalami keterpurukan ekonomi kemudian lebih fokus memikirkan untuk menata kembali perekonomian dalam negerinya yang sedang hancur akibat krisis tersebut, daripada mengurusi kepentingan dan kebutuhan wilayah jajahan dan koloni – koloninya. Pada saat itu, kebijakan Inggris terhadap wilayah jajahannya adalah memberikan kebebasa dalam mengelola urusan dalam negerinya, tetapi masih dalam kerangka pengawalan Pemerintah Inggris. Inilah yang kemudian melahirkan Statute of Westminster pada tahun 1931 yang memberikan kewenangan kepada semua parlemen di setiap koloni Inggris, termasuk Australia untuk membuat perundang – undangannya sendiri yang tidak selaras dengan perundang – undangan Inggris. Langkah dan kebijakan Inggris ini yang kemudian membuat sebagian masyarakat Australia merasa bahwa sikap ini sebagai bentuk acuh dan pengabaian bagi negara mereka.

Selanjutnya adalah selama pecahnya Perang Dunia II. Angkatan Bersenjata Inggris yang seharusnya mampu memposiskan diri sebagai pelindung bagi pertahanan Australia ternyata tidak mampu menahan serangan dan invasi Jepang di wilayah Pasifik. Invasi Jepang di kepulauan Pasifik membuat banyak warga Australia dan pemerintah Australia merasa tidak aman akan keadaan tersebut. Ini kemudian terbukti dengan berhasilnya tentara Jepang memasuki wilayah Australia. Rasa tidak aman dengan sendirinya memicu Australia untuk mencari kekuatan baru yang bisa melindungi dan membuat mereka merasa aman yang mana selama ini tidak mampu dilaksanakan oleh Inggris. Oleh karena itu Australia mencari perlindungan yang baru berupa kekuatan atau kekuasaan dari Amerika Serikat. Bersama dengan Amerika Serikat dan Selandia Baru, Australia membentuk pakta pertahanan yang diberi nama Security Treaty Between Australia, New Zealand, and the United States (ANZUS) pada tahun 1951.

Permasalahan kemudian berlanjut ketika Inggris memutuskan untuk masuk dan bergabung ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Langkah atau kebijakan Inggris ini kemudian membuat hubungan Australia – Inggris semakin renggang. Keikutsertaan Inggris ke dalam MEE akan mempengaruhi volume perdagangan kedua negara, khususnya Australia yang menjadikan pasar domestik Inggris sebagai pangsa pasar terbesar Australia. Dengan masuk dan bergabungnya Inggris sebagai anggota Masyarakat Ekonomi Eropa, berarti Inggris harus membuka pasarnya terhadap negara – negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa lainnya. Artinya, Inggris mau tidak mau harus mengurangi sebagian besar jatah impornya dari negara – negara commonwealthnya, termasuk Australia. Dampaknya bagi Australia adalah volume ekspornya menurun dan sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara tersebut. Hal inilah yang semakin menyadarkan bangsa Australia untuk memikirkan ulang sikap teus bergantung pada Inggris, baik itu dalam hal pertahanan, ekonomi, maupun politik. Dan krisis politik pada pertengahan dekade 1970-an semakin mempertegas pernyataan tersebut di atas.

Langkah Serius yang Ditempuh Menuju Negara Republik

Keinginan untuk merdeka penuh dan berdaulat kemudian memperoleh tanggapan serius dari kaum Republikan dengan mendirikan suatu gerakan perlawanan yang mewadahi masyarakat Australia yang pro-negara republik, yaitu Australian Republican Movement (ARM), dengan prakarsa dari Malcolm Turnbull, seorang pengacara, pengusaha dan bankir di Australia, bersama beberapa tokoh lain seperti Ian Chappel, Thomas Keneally, dan Fred Schepisi. ARM inilah yang kemudian gencar melontarkan pernyataan-pernyataan dan melakukan gerakan – gerakan yang berusaha dan bertujuan mempopulerkan wacana Republik Australia. Pergerakan ARM semakin lama senakin meningkat seiring dengan kemenangan Partai Buruh Australia dalam Pemilu Australia pada tahun 1984. Mayoritas pendukung ARM adalah sekaligus simpatisan Partai Buruh yang menolak sistem monarki dikarenakan kasus 1975 ketika Gubernur Jenderal Kerr memecat PM Whitlam dari Patrai Buruh. Sementara itu, kelompok yang mendukung eksistensi sistem monarki juga memiliki organisasi atau gerakan perlawanan yang dibentuk sebagai reaksi untuk mengimbangi pergerakan kelompok pro-republik (ARM), yaitu Australian for Constitutional Monarchy (ACM), yang didukung penuh oleh Partai Liberal.

Perdebatan dan pertentangan selanjutnya mengenai status atau sistem kenegaraan Australia merambah wilayah politik domestik antara Partai Buruh (ALP) dan Partai Koalisi Liberal – Nasional. Seperti yang kita ketahui bersama tentang arah atau fokus kebijakan luar negeri kedua partai ketika memegang tampuk kekuasaan di Australia sangat bertolak belakang. Partai Koalisi Liberal – Nasional berkiblat ke Barat (Eropa dan Amerika Serikat), sementara itu Partai Buruh telah lebih siap untuk tidak tergantung kepada Eropa dan Amerika semata dengan berusaha membangun hubngan yang lebih akrab dengan negara – negara di Asia, khusunya negara – negara tetangganya seperti Indonesia, Malaysia, dan Filiphina. Dalam beberapa Pemilu terakhir, wacana negara Republik selalu menjadi wacana perdebatan panas di antara kedua kubu yang saling beroposisi ini. Cita – cita negara republik hampir saja mendapatkan hasilnya setelah selama kurang lebih 11 tahun (1984 - 1996)Partai Buruh menjadi dominan dalam sistem politik Australia, dengan dua tokohnya yaitu Bob Hawke dan Paul Keating. Masa ini seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh Partai Buruh dan ARM untuk melakukan referendum mengenai masa depan Australia sebagai suatu negara republik yang terlepas dari Kerajaan Inggris. Akan tetapi, ketidakpercadirian pemerintahan Buruh pada waktu itu menjadikan mereka terpaksa harus “gigt jari” ketika pada Pemilu 1996, Partai Buruh pimpinan PM Keating secara mengejutkan mengalami kekalahan dari Partai Koalisi yang saat itu dipimpin oleh John Howard. PM Keating hanya menyiapkan kondisi dengan terus menyuarakan negara republik, sekaligus menekankan komitmennya untuk mengesahkan Australia sebagai sebuah negara republik. Salah satu pernyataan dikutip dari pidato Paul Keating yang dibawakan di hadapan House of Representative (HoR) ketika ia mengumumkan komitmen Pemerintahnnya pada saat itu untuk mengesahkan Australia sebagai sebuah negara Republik, pidato yang membuatnya dijuluki sebagai Father of Modern Republicanism itu berbunyi :
“...Australia occupies a unique place in the world and makes a unique contribution to it. Our destiny is in no-one else's hands but our own: we alone bear the responsibility for deciding what the nature of our government and society will be, what advantage we will take of our human and material resources, what kind of place our children will inherit...”3

Setelah itu, perjuangan untuk meloloskan sistem baru negara Australia praktis terhambat, apalagi kursi kekuasaan yang menjamin power politics kaum republikan telah beralih dari Partai Buruh ke Partai Koalisi. Upaya yang bisa dilakukan hanya dengan pergerakan ARM yang berusaha membangun semangat nasionalisme masyarakat Australia akan pentingnya negara republik. Upaya ini dilakukan dalam bentuk lobi untuk menggerakkan kelompok – kelompok mahasiswa, kaum aborigin, seniman, budayawan, dan berbagai kelomopk profesi lainnya.

Gencarnya gerakan yang dilancarkan kaum republiken ini, telah memaksa PM Liberal, John Howard, yang sesungguhnya termasuk kelompok monark, untuk mengadakan suatu Konvensi Konstitusi Puncak pada Februari 1998. konvensi itu secara khusus dirancang untuk mendapatkan suatu model pemerintahan yang paling diinginkan oleh rakyat Australia. Oleh karena itu, di akhir 1997 lalu, PM Howard memberikan kesempatan yang seluas – luasnya kepada rakyat Australia di negara – negara bagian dan dan teritori untuk memilih 152 delegasi yang akan mewakili mereka dalam Konvensi tersebut. Bagi para delegasi, keikutsertaan mereka dalam Konvensi tersebut adalah tugas yang mahaberat, karena mereka harus mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Setelah diwarnai oleh perdebatan sengit selama dua minggu berturut – turut, Konvensi diakhiri dengan pemungutan suara, yang hasilnya dimenangkan oleh kubu kaum republiken. Sebanyak 73 delegasi setuju Australia berbentuk republik dengan seorang presiden yang dipilih, sedangkan 53 utusan tetap menginginkan sistem monarki konstitusional dengan Ratu Inggris sebagai kepala negara. Hasil Konvensi yang dipandang sebagai pencerminan dari keinginan umum rakyat Australia ini, harus disetujui melalui suatu referendum, yang diadakan pada 1999.4

Hasil Konvensi tersebut tentunya mencuatkan harapan dan keyakinan bagi kaum republiken bahwa sebagian besar rakyat Australia telah siap untuk berdiri sendiri, merdeka dan lepas dari bayang – bayang Pemerintahan Monarki Kerajaan Inggris. Referendum kemudian terwujud pada bulan November 1999, dengan keyakinan kaum Republikan pada dukungan masyarakat Australia. Referendum yang dilaksanakan tersebut memuat dua isi pokok, yaitu : pertama, apakah masyarakat Australia setuju apabila Australia menjadi sebuah negara republik? Kedua, bagaimanakah pola penunjukan / pengangkatan Presiden nantinya? Apakah dipilih melalui pemilu ataukah penunjukan / pengangkatan oleh Parlemen Australia?

Hasil Referendum kemudian ternyata diluar dugaan dan berbanding terbalik dengan hasil Konvensi Konstitusi Puncak lalu, bahwa sebanyak 54.4 persen warga Australia menolak mengganti Ratu Inggris, Ratu Elizabeth II, dengan seorang Presiden sebagai kepala negara yang dipilih langsug secara demokratis oleh masyarakat Australia sendiri. Ini tentu menjadi pukulan telak bagi kaum republiken yang telah lama memperjuangkan sistem republik di Australia, apalagi persiapan yang dilakukan kaum republiken (ARM) pada saat itu sudah sangat matangnya sampai pada persiapan Rancangan Undang – Undang (RUU) dan Konstitusi yang akan mereka gunakan jika saja pada saat itu rakyat Australia telah menentukan pilihan untuk menjadi negara republik.

Tantangan dan Hambatan Menuju Republik Australia

Kegagalan dalam referendum yang dilakukan oleh Pemerintah australia itu, antara lain disebabkan oleh waktu pelaksanaan referendum, kesalahan prediksi pasca Konvensi, dan besarnya pengaruh kaum konservatif dan pro-monarki pada saat itu. Seperti yang kita ketahui bahwa referendum dilaksanakan pada bulan November 1999, saat atau periode di mana partai yang berkuasa adalah Partai Koalisi Liberal – Nasional yang dipimpin oleh PM Howard yang sedang berada pada masa puncak popularitasnya karena kebijakan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Ketokohan PM Howard pada masa itu sangat mengundang simpati masyarakat Australia, sehingga masyarakat Australia lebih cenderung mendukung kelompok anti-republik atau pro-monarki, yang juga diisi oleh Howard sendiri sebagai salah satu tokoh kuncinya. Selanjutnya adalah mengenai kesalahan prediksi pasca hasil Konvensi Konstitusi Puncak. 152 delegasi yang dikirim untuk menghadiri konvensi kemudian dinilai sebagai representasi riil masyarakat Australia. Apalagi hasil yang diperoleh pasca Konvensi sangat menguntungkan kaum republikan. Inilah yang kemudian menjadi ‘bumerang” bagi kaum republikan sendiri karena merasa telah mengantongi kemenangan 73 delegasi (lebih dari separuh) dari hasil Konvensi. Akhirnya berbagai faktor yang bisa saja merusak hasil seperti faktor pertama kemudian menjadi terabaikan. Terakhir adalah masih besarnya pengaruh kaum konservatif dan pro-monarki di Australia pada saat itu. Kaum konservatif pada umumnya menduduki status yang cukup terpandang dalam stratifikasi sosial masyarakat Australia. Tokoh – tokoh konservatif inilah yang termasuk pendukung loyal monarki di Australia. Mereka secara emosional memiliki hubungan yang dekat dengan Kerajaan Inggris, karena dedikasi dan loyalitasnya kepada Ratu. Tidak sedikit dari mereka malah yang diberi gelar kehormatan kebangsawanan Inggris yang prestisius oleh Ratu. Mereka tentu tidak menginginkan gelar tersebut menjadi tidak bermakna apa – apa dengan membiarkan Australia berdiri sendiri sebagai sebuah negara merdeka. Begitupula dengan berkuasanya Partai Koalisi, kemudian memberikan peran dan posisi – posisi sentral dan strategis kepada tokoh – tokoh konservatif dan pro-monarki di dalam birokrasi dan pemerintahan Australia. Hal ini berdampak luas karena karakter dan faktor ketokohan (popularitas) mereka yang kemudian menanjak.

Faktor – faktor kegagalan kaum republikan seperti yang tersebut di atas kemudian menjadi bukti akan masih banyaknya masalah yang harus dibenahi sebelum benar – benar terwujudnya negara Republik Australia. Bahkan pada penerjemahan wilayah konseptual sendiri, masih ada perbedaan di antara para pendukung republik. Inilah yang kemudian menghambatprosenya. Bahkan di kalangan kaum republikan sendiri sebagaimana telah dijelaskan mendesak pemerintah Liberal untuk dilaksankannya Konvensi. Akan tetapi, dalam Konvensi itu sendiri, kaum republiken ternyata belum mempunyai gambaran yang jelas mengenai hal atau konsep kepresidenan yang akan diterapkan di Australia. Hal yang seharusnya sudah matang pada tingkatan mereka sendiri yang tinggal dipaparkan di forum atau Konvensi tersebut. Akan tetapi, barulah di dalam konvensi itu muncul berbagai macam model pemilihan presiden yang ditawarkan. Dari pihak Turnbull misalnya, mengusulkan agar pada awal mulanya rakyatlah yang mengusulkan untuk mengajukan sejumlah nama – nama yang cocok dan pantas untuk dicalonkan menjadi kepala negara. Setelah itu, dibentuk suatu dewan yang anggota anggotanya terdiri atas orang – orang atau tokoh – tokoh terkemuka yang akan menyeleksi nama – nama tersebut yang selanjutnya diajukan ke parlemen. Calon yang memeperoleh suara mayoritas dua pertiga, baik itu di House of Representative maupun di Senat, akan menjadi presiden atau kepala negara yang terpilih. Alternatif lain adalah calon dipilih langsung oleh rakyat australia dalam sebuah mekanisme Pemilihan Kepala Negara. Belum lagi perdebatan mengenai calon diajukan untuk dicalonkan atau menggajukan diri.

Faktor ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah berkuasa pimpinan Perdana Menteri John Howard dengan “memanipulasi” tujuan referendum yang awalnya hanya ditargetkan untuk mengetahui keinginan masyarakat Australia terhadap negara republik, kemudian meluas dengan dimasukkannya daftar pertanyaan mengenai model pemilihan kepala negara yang pada dasarnya belum disepakati dalam Konvensi, kemudian dimasukkan dalam referendum. Hal ini kemudian menyebabkan beralihnya simpati masyarakat yang sebelumnya pro republik, karena dinilai belum matang secara konseptual.

Prospek Republik Australia

Pemilihan Umum Australia yang berlangsung pada 24 november lalu memberikan harapan baru bagi kaum republiken dengan kemenangan Partai Buruh dan naiknya Perdana Menteri yang baru. Kevin Rudd yang merupakan ketua Partai Buruh kemudian terpilih sebagai Perdana Menteri yang baru untuk Australia. Kevin Rudd sendiri sejak awal sudah mengusung dan sangat mendukung prospek australia menjadi sebuah negara republik, sehingga harapan masyarakat Australia yang sangat nasionalis dapat terwujud untuk merdeka, berdaulat, lepas dari bayang – bayang, dan tanpa ketergantungan dari Kerajaan Inggris.

Sejak awal, agenda utama kampanye Kevin Rudd sebelum Pemilu adalah mengenai wacana Republik Australia, yang disertai dengan komitmen untuk merealisasikan ucapannya tersebut. Partai buruh sejak kasus Whitlam selalu menyuarakan kemerdekaan penuh, lepas dari bayang – bayang Kerajaan Inggris, dan tidak tergantung secara hukum dan konstitusi dengan Inggris. Oleh karena itu, wajar saja jika setelah kemenangan Partai Buruh dalam Pemilu, maka keinginan membentuk negara Republik Australia semakin dekat. Australia. Akan tetapi tentu saja dengan suara mayoritas masyarakat Australia. Maka dari itu, referendum kembali teras perlu untuk diadakan demi menentukan masa depan Australia sebagai negara republik. Dengan naiknya Kevin Rudd sebagai Perdana Menteri Australia yang baru, referendum lanjutan akan segera dilaksanakan. Apalagi kecenderungan terakhir masyarakat Australia akan pembentukan negara Australia ternyata meningkat dalam hal dukungan. Lebih dari lima puluh persen masyarakat Australia kini menginginkan kebebasan penuh dari kerajaan Inggris.

Kesadaran masyarakat Australia akan pentingnya kebebasan dan kemerdekaan penuh membuat antusiasme mereka semakin meningkat. Hal ini didasarkan pada kesadaran para kaum republiken yang merasa bahwa Australia adalah negara yang sudah cukup kuat dalam hal kekuatan nasional untuk bisa mandiri dan mampu untuk menjalankan pemerintahannya sendiri tanpa terikat dengan negara lain. Akan tetapi, fakta ini masih perlu untuk dipertahankan agar dapat dibuktikan dalam referendum yang direncanakan pada tahun 2010. refrendum tersebut merupakan salah satu kebijakan terpenting yang dikemukakan oleh Kevin Rudd dalam kampanyenya sebelum akhirnya terpilih menjadi Perdana Menteri Australia yang baru.

Melihat kondisi ini, Kevin Rudd tetap masih memiliki tanggung jawab yang besar untuk dapat memberi pemahaman yang jelas mengenai bentuk negara republik ini. Masyarakat Australia perlu mengerti dengan betul konsekuensi yang akan diterima dengan mengubah bentuk negara Australia, agar ke depannya tidak terjadi kesalah pahaman dalam menjalankan pemerintahan. 5

DAFTAR PUSTAKA

Hamid, H., Zulkifli, Drs.1999. Sistem Politik Australia. Bandung : Rosda.
Supriyadi, M. Wahid.dalam KOMPAS, 23 November 2007. “Dampak Pemilu Australia bagi Indonesia”,
KOMPAS, 27 November 2007.Indonesia Diuntungkan”.
www.norepublic.com.au
www.suaramerdeka.com

0 comments: