Pages

DEVELOPMENTALISME; Konsep Gagal Neoliberalisme (Studi kasus: Indonesia)

Tuesday, June 7, 2011 | at 12:48 AM

Setelah Perang Dunia kedua, menjadi era baru dalam tatanan interaksi transnasional khususnya bagi negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Masa tersebut merupakan masa dekolonisasi bagi penjajahan bangsa-bangsa Barat untuk kemudian menciptakan tatanan dunia yang dihuni oleh orang-orang yang sama dan sederajat menurut harkat dan martabat kemanusiaan. Banyak negara di Afrika, Asia, maupun Amerika yang memperoleh kemerdekaannya begitu saja sebagai sebuah hadiah pemberian pemerintah negara penjajahnya. Akan tetapi, sebagian yang lainnya memperolehnya melalui jalan perjuangan panjang yang memakan banyak biaya, materi, dan moral.
Bagi negara-negara yang baru merdeka tersebut, tentunya berada dalam kondisi sedang mencari konsep atau sistem yang ideal untuk diterapkan dalam sistem politik dan pemerintahan negaranya kelak. Beberapa negara mungkin memiliki konsep sistem ideal yang akan diterapkannya, apalagi bagi mereka yang memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan panjang dan melelahkan. Akan tetapi, konsep yang dikembangkannya umumnya berideologi sosialis yang berakar dari bacaan-bacaan para founding father-nya mengenai anti penindasan, konsep kebebasan menentukan nasib sendiri sebagai sebuah nation-state, dan penolakan terhadap eksploitasi imperialisme. Hal ini kemudian akan membenturkannya pada sebuah tembok negara-negara maju penentu arah pertumbuhan dunia yang tidak menyepakatinya karena perbedaan ideologisehingga dengan mudahnya memicu konflik internal di dalam negara tersebut. Sementara sebagian besar yang lainnya sangat kabur dan tidak mempunyai visi dan konsep yang ideal akan dibawa ke mana negara baru yang dinaunginya, yang diperolehnya secara tiba-tiba sebagai pemberian penjajah barat pasca dekolonisasi.
Konsep Developmentalisme
Negara-negara maju kemudian menawarkan sebuah konsep yang dianggap baik untuk diterapkan dalam sistem pemerintahan di negara-negara yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. Sebuah konsep pembangunan (developmentalisme) yang dianggap mampu untuk memperbaiki kehidupan sosial masyarakat negara-negara dunia ketiga. Pembangunan ini dianggap sebagai upaya-upaya untuk memperoleh kesejahteraan atau taraf hidup yang lebih baik. Dengan bantuan melimpah dari Amerika Serikat dan organisasi swasta, satu generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi, psikologi, antropologi, serta ahli kependudukan menghasilkan karya-karya disertasi dan monograf tentang Dunia Ketiga. Negara-negara maju kemudian merekomendasikan pilihan untuk beralih dan menerapkan konsep pembangunan kepada negara-negara berkembang guna mewujudkan tujuan negaranya dalam menciptakan kesejahteraan bagi penduduknya.
Para penganut teori ini percaya bahwa segala sesuatu menuju perubahan dapat dicapai dengan pembangunan (developmentalisme). Mereka juga meyakini bahwa tradisionalisme dianggap sebagai masalah dan harus disingkirkan segera (Mansour Fakih). Pemahaman akan pembangunan ini kemudian diasumsikan dapat menjadi solusi dari berbagai macam persoalan sosial di negara-negara berkembang seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan berbagai masalah ekonomi lainnya.
Pembangunan atau developmentalisme sebagai sebuah ideologi mulai dicanangnkan di akhir Perang Dunia Kedua sebagai agenda untuk menyelamatkan Eropa dan seluruh dunia dari pengaruh sosialisme dan komunisme yang didegungkan oleh Uni Soviet. Amerika Serikat kemudian tampil di depan sebagai penyokong utama agenda developmentalisme ini. Pada tahun 1950-an Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua.
Sementara itu, Uni Soviet juga telah melakukan perluasan komunisme di seantero jagad. Uni Soviet memperluas pengaruh politiknya sampai di Eropa Timur dan Asia, antara lain di Cina dan Korea. Hal ini mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya selain Eropa Barat, sebagai salah satu usaha membendung penyuburan ideologi komunisme.sementara itu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin sedang bertumbuh banyak negara-negara baru yang sedang berusaha mencari model-model pembangunan yang bisa digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan mencapai kemerdekaan politiknya. Dalam situasi dunia seperti ini bisa dipahami jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Kebijakan ini diperlukan sebagai langkah awal untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik Dunia Ketiga, seraya untuk menghindari kemungkinan jatuhnya negara baru tersebut ke pangkuan Uni Soviet (Arief Budiman).
Para ahli, dengan pandangannya masing-masing, secara umum memaparkan tentang konsep pembangunan negara seperti yang pernah dialami oleh maysarakat di negara-negara Eropa, khusunya Eropa Barat. Mereka pada umumnya berasumsi bahwa negara-negara berkembang pada hari ini sedang berada pada level yang pernah pula dialami oleh negara-negara Eropa beberapa abad sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk berdiri sejajar dengan masyarakat dan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara, dibutuhkan sebuah pengelolaan sistem politik dan pemerintahan yang sistematis dan berkelanjutan bagi negara-negara dunia ketiga tersebut. Hal ini sekaligus membicarakan dan merumuskan strategi dan perencanaan pembangunan, perdagangan internasional, transfer teknologi, investasi, yang kesemuanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Beberapa ilmuwan seperti WW Rostow, Micahel Todaro, Arthur Lewis, Hollis Chenery, Everett Hagen dan sebagainya memberikan argument-argumen tersendiri mengenai hal tersebut.
Pada tahun 1960-an, ahli sejarah perekonomian dari Amerika Serikat WW Rostow menyarankan bagi negara-negara Dunia Ketiga untuk mengikuti tahap pertumbuhan ekonomi (the stages of economic development), yaitu :
1.   Tahap Masyarakat Tradisional (Traditional Society)
2.   Tahap Masyarakat Transisi (Transitional Stage) dan Persiapan untuk Tinggal Landas
3.   Tahap Tinggal Landas (Take Off)
4.   Tahap Gerakan Menuju Pematangan (Drive to Maturity)
5.   Tahap Komsumsi Massa Tingkat Tinggi (High Mass Consumption)
Tahapan seperti disebutkan di atas pernah dialami oleh sebagian besar negara-negara Eropa dalam perkembangannya hingga menjadi seperti sekarang ini. Hal ini pulalah yang diharapkan untuk dapat diikuti oleh negara-negara Dunia Ketiga agar dapat mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa hal inilah yang kemudian menjadi titik kritik dari teori dan ideologi developmentalisme ini. Overgeneralisasi yang terjadi dan keyakinan buta akan mampu diterapkannya model pembangunan seperti ini ke semua negara di seluruh dunia menjadikannya gagal dalam mengatasi permasalahan yang kemudian terjadi dan semakin membesar. Begitupula bahwa konsep pembangunan tersebut harus mengabaikan analisa mengenai potensi alam, karakter, perilaku dan watak masyarakat serta lingkungan di mana teori tersebut akan diterapkan. Setiap negara diajak untuk bermimpi menjadi negara industry maju dengan standarisasi dan visualisasi seperti yang ada di Eropa dan Amerika Utara. Maka wajar saja jika setiap negara hendak menjadi seperti Amerika dan Jerman yang maju dalam industry berat seperti elektronik dan mesin-mesin, dan kendaraan dengan mulai meninggalkan cara hidup tradisional seperti bertani dan berkebun, walaupun negara-negara tersebut memiliki potensi dalam bidang tersebut.
PembangunanIsme Indonesia
Pembangunan dalam arti di atas di mulai di Indonesia sejak awal 1970-an di masa-masa awal berkuasanya rezim Orde Baru. Ketika dalam sebuah kunjungannya ke Indonesia, WW Rostow merekomendasikan teorinya untuk diterapkan di Indonesia. Penguasa Indonesia pada masa itu, Soeharto, menyambut baik usulan Rostow, maka jadilah kebijakan-kebijakan ekonomi politik Orde Baru selanjutnya mengikuti arus aliran developmentalisme. Pemerintah Indonesia pada masa itu kemudian meminta saran dan usulan dari beberapa pakar (teknokrat), yang dikemudian hari begitu dominan dalam menentukan arah dan kebijakan politik Orde Baru. Mereka yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley” seperti Ali Murtopo, Sudjono Humardhani, dan sebagainya tersebut merumuskan berbagai kebijakan pembangunan yang akan diaplikasikan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia. Gagasan mereka dianggap akan mampu menyelamatkan Indonesia dari “sakitnya” akibat keterlibatannya dengan pengaruh ideologi komunisme semasa Orde Lama.
Gagasan dan teori pembangunan ini kemudian bahkan telah dianggap sebagai “agama baru” karena mampu menjanjikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Indonesia. Istilah pembangunan atau development tersebut telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya oleh masyarakat secara luas. Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang berbeda tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour Fakih).
Ada beberapa program pembangunan yang kemudian direncanakan oleh Pemerintah pada waktu itu, seperti Pembangunan Lima Tahun (PELITA), dan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) setelah 25 tahun sejak PELITA pertama. Beberapa agenda kemudian diprogramkan, yang menurut subjektivitas penulis adalah agenda-agenda positivistic semata dan merupakan agenda untuk melanggengkan kekuasaan. Perencanaan selama 25 tahun tentunya mustahil untuk terwujud dalam beberapa pucuk kepemimpinan yang berbeda, walaupun mempunyai visi yang sama, karena masing-masing kepala mempunyai penafsiran dan rumusan metodologinya sendiri dalam upaya mewujudkan visinya tersebut. Bahkan Penjelasan kemajuan ekonomi Orde Baru melalui penjelasan statistik, layak untuk dipertanyakan. Sebab statistik bisa saja digunakan sebagai manipulasi semata bahkan digunakan sebagai pembenaran guna menutupi kesenjangan yang terjadi antar masyarakat. Apalagi ini terjadi dalam suatu sistem negara otoritarian yang sangat tertutup dan menentang kebebasan erargumen yang dapat mengancam stabilitas politik. Pada kenyataannya, premis angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi berarti kondisi ekonomi yang baik hanya bualan (Anis Ananta). Hal ini karena ternyata masih banyak saja jumlah orang miskin, pengangguran, dan kelaparan di negeri ini.
Pembangunan di Indonesia pada masa itu dicitrakan identik dengan pertumbuhan ekonomi, dengan indikator bahwa sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi, ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Suatu hal yang sangat tidak adil, mengingat banyak orang yang pada dasarnya tidak tersentuh manfaat dari sistem pembangunan ini. Beberapa orang kaya mungkin mendapatkan keuntungan berpuluh kali lipat dari pendapatan seratus penduduk yang menjadi buruh di pabriknya. Pendapatan besar tersebut tentunya akan mampu menutupi penghasilan kecil buruhnya, jika dikumulasikan dan kemudian dibagi rata sebesar jumlah penduduk Indonesia. Dalam angka, kita akan mendapatkan nilai yang bisa saja menunjukkan indikasi keberhasilan pembangunan di Indonesia.
Sebuah negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, sebenarnya bisa saja berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut (Arief Budiman). Pembangunan yang terjadi di Indonesia adalah bagaimana menjual asset-aset negara dan kekayaan alam rakyat Indonesia untuk diolah dan diatur sendiri oleh pihak asing, tanpa kontribusi sebesar keuntungan yang diperoleh perusahaan, investor, dan negara basis perusahaan tersebut.
Selanjutnya, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan (Arief Budiman). Ideologi ini benar-benar telah dijadikan alat untuk memberangus protes rakyat. Kita bisa melihat cotoh kecil bagaimana semua kata yang dicurigai akan mengingatkan memory kolektif rakyat akan masa lalu diburamkan. kata "buruh" misalnya, dirubah menjadi "karyawan" melalui Pembinaan Pusat Bahasa. Bahkan ilmu-ilmu sosial di bawah kungkungan developmentalisme atau pembangunanIsme Indonesia sekedar berfungsi sebagai "pertukangan, punya daya besar tetapi membudak, seperti serdadu" (Ariel Heryanto). Pengembangan ilmu-ilmu sosial semua termanifestasikan dalam wujud rekayasa pengetahuan guna menunjang kebijakan rezim yang ada (Soeharto). Sebab, ilmu sosial di Indonesia, pinjam bahasa Soedjatmoko, sekedar "studi pesanan untuk memoles citra kebijakan dan diarahkan untuk menciptakan proyek". Artinya, ilmu sosial dibajak dan ilmuwannya hanya menjadi makelar rezim kekuasaan, seperti kelompok Mafia Barkeley tersebut.
Begitulah gambaran bagaimana pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Sebuah agenda yang benar-benar rapi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Lantas mengapa tidak ada yang berani mengusiknya? Bukankah agenda tersebut malah membelenggu kebebasan rakyat? Mengapa negara-negara maju tidak melakukan intervensi lagi?sejumlah pertanyaan yang bisa kita jawab dengan singkat. Karena agenda developmentalisme merupakan agenda global yang dikomandoi oleh negara-negara maju sebagai proyek neoliberalisme guna memudahkan jalannya untuk menancapkan kukunya di negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini sekaligus untuk membendung upaya Uni Soviet untuk memperluas pengaruhnya. Untuk itu, mereka membutuhkan kekuatan yang besar untuk bisa dikendalikan dalam mengatur rakyat di negara-negara tersebut. Umumnya, mereka menggunakan tangan militer dalam hal seperti ini.
Akan tetapi terlepas dari semua agenda yang menyangkut kepentingan negara-negara maju tersebut, teori dan paham developmentalisme ini telah gagal dalam membangun negara-negara Dunia Ketiga dan melepaskan mereka dari belenggu permasalahan sosial yang dihadapinya.

2 comments:

inaya said...

bagus, tp lebih bagus lagi kalo ada rujukannya.

sandaljpit said...

Hahaha
Ini tulisan waktu S1. Memang mengada-ada kayaknya.. :-D

kerjanya semalam sebelum dikumpul soalnya..